Sabtu, September 27, 2008

Laskar Pelangi




Tak banyak film-film yang menurutku penting untuk aku tuliskan review nya di blog ini. Biasanya aku baru menulis, kalau film itu benar-benar memberik kesan dalam untukku. Dan hal tersebut berulang lagi kemarin. Hari terakhir sebelum liburan panjang Lebaran, aku menyempatkan diri melihat film yang akhirnya bisa aku kategorikan menjadi ‘movie of the year’. Meski untuk memberikan atribut itu, aku harus bedebat dengan seorang rekan yang begitu mengagung-agungkan Ayat-Ayat Cinta! (??!@#$??).

Laskar Pelangi judulnya. Diadaptasi dari novel yang berjudul sama yang ditulis oleh Andrea Hirata. Ketika pertama kali aku membaca novelnya, aku sudah jatuh cinta. Begitu nyata, begitu sederhana, begitu berkesan. Dan itu pula yang kurasakan usai menonton filmnya.
Riri Riza memvisualisasikan cerita yang indah menjadi gambar-gambar yang indah. Tiap adegan begitu menyentuh. Dan aku bukan membesar-besarkannya, tapi kalau kalian melihatnya, itulah yang sebenarnya. Bagaimana desa itu digambarkan dengan segala pesona alamnya, dengan anak-anak asli Belitong yang menunjukkan kemampuan akting kelas yahud.

Bayangkan saja, anak-anak asli Belitong itu bisa fasih melakonkan 10 tokoh dengan sangat baik, kalah dengan artis cilik cetakan sinetron yang bermodal tampang imut dan rambut keriting saja! Melihat mereka, membangkitkan banyak kenangan masa lalu.

Membuatku bersyukur, aku bisa berkesempatan bersekolah, berkecukupan, memiliki banyak teman. Sementara banyak anak-anak di luar sana yang harus berjuang setengah mati hanya untuk mengais 100-200 rupiah. Laskar Pelangi menghenyakkan aku dan mungkin kalian, betapa pendidikan itu yang terutama. Dan negara ini nampaknya memandangnya dengan sebelah mata. Aku sedih...

Tak banyak sosok Bu Muslimah di negara ini. Meski aku melihatnya dari sosok Mamaku, perempuan yang sudah mengabdikan hampir 25 tahun hidupnya untuk mengajar. Tak banyak yang didapatnya dari sekedar menjadi guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Tapi aku, anaknya, bangga memiliki Mama seorang guru. Meski sewaktu kecil aku suka protes, karena Mama mengaku bekerja bukan untuk uang, tapi karena dia cinta pekerjaannya. Tapi sekarang aku mengerti, karena itu pula yang kulakukan sejak mulai meninggalkan pekerjaan dengan gaji besar untuk bekerja di media. Sedangkan Mama? Bahkan gaji yang didapatnya seringkali dihabiskan untuk membayari uang sekolah anak-anak muridnya yang tidak mampu. Dia, Mamaku. Bu Muslimah-ku.

Ikal dan 9 orang temannya banyak memberiku pelajaran. Aku mengambil quote dari beberapa scene yang berkata “Berikanlah sebanyak-banyaknya, jangan meminta sebanyak-banyaknya”. Dan aku masih belum menjadi sosok pemberi, aku masih lebih banyak meminta. Dan film ini seperti reminder untuk lebih banyak bersyukur. Karena itu pula aku merasa perlu membagikan cerita ini kepada orang banyak.

Daaann...kayaknya aku bakal menonton film itu lagi.:)

0 komentar: