Senin, Desember 16, 2013

I Have Tumors

Sebenarnya, sudah enam bulan belakangan saya menyimpan kegelisahan saya ini. Awalnya, saya tidak mau bercerita ke banyak orang. Alasannya sederhana. Pertama, saya tidak mau dilihat dengan pandangan pilu. Hidup saya berubah 180 derajat sejak kejadian ini, dan saya tidak mau orang melihat saya berbeda. Karena saya tidak berbeda. Saya Yetta yang sama, meski dengan beban hidup berbeda.

Kedua, saya sudah mulai lelah bercerita berulang-ulang mengenai kondisi saya ini. Dan saya tidak mau ada prasangka buruk mengenai kealpaan saya di banyak aspek seperti pekerjaan dan aktivitas sosial sebagai akibat dari kondisi saya ini. Karena itu, lewat tulisan ini saya mau bercerita. Semoga ada yang cukup tertarik untuk menyimak kisah ini hingga akhir. Soalnya, lumayan panjang nih! :)

Jadi, begini ceritanya...

---
                  I Have Tumors.

--12 Juni 2013--

Hari itu tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya. Pagi, saya sudah duduk rapi di ruang tunggu medical check up RS. Siloam, Kebon Jeruk. Hari itu, saya dijadwalkan bertemu dengan dokter umum yang akan membantu saya membaca hasil ultrasonografi (USG) di kedua payudara saya. Ya, tiga hari sebelumnya, saya menjalani pemeriksaan ultrasonografi di tempat yang sama.

Sebelum saya melanjutkan cerita, saya ingin menjawab pertanyaan yang banyak dilontarkan ke saya. "Memangnya kenapa kamu tiba-tiba periksa USG? Emang sakit? Atau bagaimana?". Tidak. Secara fisik saya tidak sakit. Tapi memang selama beberapa tahun belakangan, saya merasa ada yang salah. Kalian tahu kan, ada saat di mana kita merasa ada sesuatu yang salah sedang terjadi di tubuh kita? Sekarang saya menyimpulkan bahwa rasa itu menjalankan fungsinya sebagai "alarm" pengingat untuk saya. Mengingatkan untuk berhenti sejenak dan merasakan lebih dalam.

Alasan lainnya, boleh saja dianggap klise, tapi saya adalah salah satu perempuan yang terkena "Angelina Effect", begitu majalah TIME menyebutnya di edisi dengan tampilan siluet Angelina Jolie di sampulnya. Angelina Effect tertulis sebagai headline utamanya. Sesaat setelah saya membaca surat terbuka dari Angelina Jolie yang diterbitkan oleh New York Times, saya sadar, surat terbuka itu adalah "alarm" saya. Bagi yang belum begitu paham, di pertengahan tahun ini Angelina Jolie mengguncang dunia dengan publikasi surat terbuka yang menceritakan bahwa ia menjalani operasi double mastectomy, pengangkatan kedua payudara demi mengurangi resiko kanker payudara yang secara genetik sangat membahayakan dirinya. Angelina Jolie mengambil keputusan yang tepat dari hasil deteksi dini yang dilakukannya. Dan pesan yang disampaikannya cukup membuat saya untuk mantap memeriksakan diri lebih dini.

--11 Juni 2013, sehari sebelumnya--

Saya sendirian tergeletak di atas tempat tidur ruang medical check up RS. Siloam, Kebon Jeruk, pagi itu. Saya benci rumah sakit. Sungguh. Jadi kenyataan bahwa saya tergeletak di sana menunggu dokter dan dikelilingi peralatan medis, sungguh menciutkan nyali saya.

Untungnya, tak berapa lama, dokter datang dan langsung melakukan ritual USG. Saya tidak berani melihat layar monitor. Saya tidak punya cukup keberanian. Saya tahu, there's something wrong. My gut tells me so, and i never doubted my gut.
Semenit, dua menit, dokter masih sibuk menempelkan alat USG di dada saya. And boom! She stopped at one spot for a few seconds, and there, i just knew it. Something's wrong.

Momen itu adalah 10 menit terlama dalam hidup saya. I'm miserable. Sendiri dengan setengah bagian busana terkuak, dingin dan takut. "Ada benjolan. Dua buah. Saya tidak bisa memutuskan. Mbak harus ketemu dokter lagi untuk penjelasan detailnya," ujar si ibu dokter yang tampangnya sungguh tidak membuat saya lebih tenang.

Dari rumah sakit, saya harus kembali ke kantor. Saya harus bekerja, padahal otak dan badan saya sudah tidak sinkron bekerjasama. Saya bingung. Bingung sekali. Dan kebingungan itu berlangsung sampai sehari setelahnya, sebelum akhirnya saya duduk berhadapan dengan dokter umum lagi di ruang medical check up RS. Siloam, Kebon Jeruk. Hari itu, hari yang tak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya.

--12 Juni 2013--

"Mbak Yetta, ya? Kok mukanya tegang gitu? Tenang aja Mbak, kita coba pelajari sama-sama, ya. Semua penyakit ada obatnya." Begitu dokter cantik yang aku tidak ingat namanya itu mencoba membuka pembicaraan. Aku hanya tersenyum. Itu senyuman terakhir yang kutampilkan sepanjang hari itu karena apa yang dikatakan dokter cantik itu selanjutnya has completely CHANGED me.

"Ada dua benjolan, benar memang. Saya tidak bisa mendiagnosis sekarang, karena ada dokter spesialis yang lebih tahu soal ini. Dokter spesialis onkologi. Kami punya dr. Bernard, dr. ... bla..bla..bla.." Saya sudah tidak ingat dengan sisa kalimat dokter itu karena ingatan saya berhenti di kata "onkologi". Saya tidak terlalu paham istilah medis. Tapi saya penggemar berat serial Grey's Anatomy. Jadi saya tahu, onkologi means tumors and cancers. And at that point, i was falling apart.

Dokter memberi kalimat wejangan penuh pesan positif siang itu. Sayangnya, satu pun tidak ada yang hinggap dan menetap di kepala saya. "Saya bisa pastikan ini tumor. Dua buah. Dan ukurannya masing-masing sudah lumayan besar. Dua-duanya ada di payudara kanan," begitu dokter cantik itu menjelaskan. Saya cuma bisa diam. "Mbak Yetta tenang saja..," lanjut dokter itu lagi. I'm sorry, doc. But even your pretty face didn't seemed to calm me down. How in the world can i be calm?

Saya hanya berbincang sebentar setelah itu. Saya mendapatkan nama dokter spesialis onkologi sebagai referensi. Saya harus kembali lagi beberapa hari setelahnya untuk bisa berkonsultasi dengan dokter itu. "Everything's gonna be alright, Mbak," kata dokter itu. Kujabat tangannya dan setelahnya, yang ingin sekali kulakukan adalah lari sekencang mungkin. Tapi tidak mungkin.

Di taksi dalam perjalanan dari RS kembali ke kantor, saya sudah tidak bisa mendeskripsikan perasaan saya. Berulang kali saya berbisik dalam hati, "Jangan nangis, Yetta..You can do this, you'll survive. Jangan nangis.." Dan setiap kali saya berbisik seperti itu, mungkin hati saya berontak. Jadilah saya menangis tersedu-sedu di taksi. Tanpa suara, meski saya yakin supir taksi bisa dengan jelas melihat wajah saya yang sudah penuh air mata.

Sungguh, saya tidak ingin menangis hari itu. Saya tahu, jarak dari RS ke kantor hanya maksimal 15 menit. I don't have enough time to weep. But i can't help it. Sekuat tenaga saya coba menahan, tapi mata saya sudah seperti Bendungan Katulampa di kala siaga banjir. Tidak bisa menahan luapan air yang akan keluar.

Sampai di kantor, untungnya masih sepi. Saya mencoba menjadi normal. Tapi sekali lagi, entah kenapa, saya tidak bisa. "Benteng pertahanan" saya runtuh hari itu. Diam-diam, saya nangis sejadi-jadinya di meja saya. Untung, tidak ada yang menyadari hal itu. Tapi menangis sejadi-jadinya dalam posisi menahan suara itu sungguh tidak enak. Semua terasa sesak. Air mata saya tidak berhenti.

Semua baru bisa terkendali ketika saya menarik nafas panjang, pergi ke toilet dan membasuh muka. "I need to get myself back together," begitu kata saya dalam hati. Untungnya, beberapa orang sahabat yang memang saya beritahu soal rangkaian pemeriksaan saya hari itu cukup menguatkan saya. Bercerita pada mereka adalah hal terbaik yang pernah saya lakukan karena beban saya terangkat separuhnya. Semua jadi terasa lebih ringan.

--14 Juni 2013--

Sudah satu jam saya menunggu dokter spesialis onkologi, tapi yang bersangkutan belum juga tiba. Padahal saya meninggalkan deadline di kantor demi datang ke sana. Ditambahblagi, saya tidak suka berlama-lama di ruang tunggu praktek dokter itu. Karena ke manapun saya mendengar, pembicaraan semua pasien di sana hanyalah seputar kanker. Saya sendiri hari itu dan saya takut.

Sampai akhirnya tiba giliran saya dipanggil. "Maaf ya Mbak, saya habis operasi jadi bikin lama menunggu. Saya sudah baca hasil USG Mbak Yetta. Benar, itu tumor. Dan saya tidak bisa memberi rekomendasi apapun selain operasi. Tumor itu harus diangkat dengan operasi SEKARANG karena kemungkinan dia mengecil tidak ada. Semakin lama menunggu, semakin besar. Persoalan yang menentukan adalah, apakah Mbak sudah siap?."

Jawaban hati saya saat itu tentu saja tidak siap. Semua terjadi terlalu cepat. Semua proses sejak saya check up sampai hari itu belum genap seminggu. Semua terlalu cepat. I can't think. Saya bingung. Tapi saya salut dengan dokter itu, karena as a normal human being, saya yang mungkin terlalu control freak ini sudah meng-google sendiri penyakit saya. Dan setumpuk kertas saya diskusikan dengan dokter itu dan dia sabar menjawab semua pertanyaan sok tahu saya. Tapi tetap, jawabannya hanya satu, "Harus dioperasi, Mbak. Setelah diangkat nanti kita bisa bawa ke patologi, bisa diobservasi, apalah ada kemungkinan kanker atau tidak." WHAT??!!!?.

Beberapa hari setelahnya pun, saya anxious, cemas, tidak bisa berpikir dengan baik, bingung. What should i do? Dan sampai detik itu pun, saya belum bercerita pada keluarga saya. Tidak satupun. Saya tidak tahu bagaimana menyampaikan berita ini tanpa menangis rasanya. Dan sampai saya bisa mengontrol emosi saya, saya memutuskan untuk menyimpan kondisi saya ini hanya kepada empat orang teman dekat saya.

Sejak dulu saya terbiasa melakukan banyak hal sendiri, termasuk menyimpan dan menyelesaikan masalah. Saya sudah terpisah dari orang tua saya sejak saya merantau di usia 17 tahun. Itu berarti, sudah 13 tahun saya hidup mandiri, terbiasa melakukan banyak hal sendiri. Malah terkadang terlalu mandiri. Saya punya kesulitan untuk curhat sana-sini dengan mudahnya. Jadi, sedikit-sedikit, semua masalah saya hadapi sendiri.

Kembali ke soal dokter, saya tidak puas dengan jawaban dokter itu. Hari berlalu, saya habiskan dengan riset dokter terbaik di Jakarta yang menangani kasus seputar tumor, kanker dan bedah payudara. Dan satu nama dokter akhirnya saya temukan. Untuk mencari waktu pertemuan dengan dokter yang bersangkutan (yang sengaja tidak saya publish namanya), rasanya hampir sama dengan mengatur janji wawancara dengan presiden. Dia praktek di nyaris 6 RS ternama di Jakarta dan semua sudah fully booked. Bahkan ada satu RS yang baru bisa melayani request saya untuk konsultasi dengan beliau minimal 2 bulan ke depan. Tapi dengan segala cara dan upaya memelas, akhirnya saya mendapatkan jadwal di sebuah RS di bilangan Gatot Subroto, Jakarta, dua minggu kemudian.

Lagi-lagi, saya sendiri saat menunggu giliran menemui dokter. Di sebelah saya, ada seorang ibu ditemani anak lelakinya yang sudah remaja. Dia lebih dulu dipanggil. Saat keluar ruangan dokter, ibu itu sudah menangis dan kemudian duduk di samping saya lagi. Anak lelakinya memeluk sambil bertanya, "Gimana, Ma?". Dan si ibu menjawab. "Iya. Harus diangkat." Dan si ibu terus menangis pelan di pelukan anaknya. Makin deg-degan lah saya. Harapan saya cuma satu, bahwa akan ada opini berbeda. Bahwa magically, atau dengan kekuatan bulan ala Sailormoon, tumor ini akan hilang dan semua diagnosis dokter sebelumnya, salah.

Ternyata, saya yang salah. "Benar. Ada dua tumor di payudara kanan Anda. Dengan track record kanker di keluarga Anda, kita harus lebih waspada. Saya tahu semua berjalan terlalu cepat untuk Anda. Tapi memang harus dioperasi. Harus diangkat. Tapi saya mengerti kecemasan Anda. Tapi ingat, Anda masih muda. Jadi saran saya, enam bulan lagi datanglah ke sini dan kita observasi lagi. Sambil Anda mempersiapkan mental," kata dokter tersebut.

Entah kenapa, hari itu saya lebih tenang. Mungkin karena saya sudah siap. Jadi tidak seterkejut waktu pertama kali. Saya bisa berpikir. Dan keputusan saya cuma satu waktu itu. I need to stop for a second and speak to my family about this.

--6 Juli 2013--

Semua anggota keluarga saya yang di Jakarta sudah berkumpul di rumah. Adik lelakiku, si anak nomor dua dan istrinya, ditambah adik lelaki si bungsu, anak nomor tiga. Empat orang kami duduk di ruang tamu dan aku mencoba menjelaskan secara detail dan berurutan mengenai penyakit menyebalkan ini. Dan reaksi pertama mereka adalah diam. Ya, sama saja dengan reaksiku. Lagi pula, what's left to say?

Saat itu, saya pun mengungkapkan rencana saya untuk pulang ke Medan, menjelaskan semua secara langsung ke Mama dan Bapak. Saya sadar, saya tidak bisa menjelaskan kabar seperti ini hanya lewat telepon. Saya harus pulang. Kalau Anda mengenal orang tua saya, Anda akan mengerti. Mendengar salah satu anaknya demam saja, Mama saya bisa histeris. Apalagi ini.

Selain itu, saya juga mengungkapkan rencana untuk melakukan pemeriksaan (lagi) di negeri jiran. Saya mengambil keputusan itu dengan sadar. Secara mental dan emosional, saya lebih siap untuk ditangani dokter di sana. Ditambah lagi, biayanya jauh lebih murah. Jadi rencana saya waktu itu, saya pulang ke Medan, memberitahu orang tua dan keluarga, lantas terbang lagi ke Penang, Malaysia. Dan adik-adik saya sepakat dengan keputusan saya itu.

--Seminggu setelahnya--

Saya pulang. Tapi semua terasa berat. Saya ingat mengupdate status di path saya yang bertuliskan, "Pulang tidak pernah terasa seberat ini..." Dan memang itu yang saya rasakan. Satu jam perjalanan menuju airport, satu jam menunggu di waiting room, dua jam di perjalanan dalam pesawat, satu jam lagi perjalanan dari airport Kualanamu ke rumah, saya sibuk mereka-reka, merangkai kata. What to say? How to say it without making everyone panic?

"Kenapa kau pulang? Cuti? Atau tugas?," begitu pertanyaan yang dilontarkan Mama dan Bapak saat saya tiba di rumah. Saya cuma menjawab, "Ya, pengen pulang saja." Mama masak makan siang hari itu dan saya memutuskan untuk menikmatinya terlebih dahulu. Saya mengirim pesan singkat ke tante yang tinggal hanya 3 rumah dari rumah, untuk datang. Setelah makan siang, saya ajak mereka: Bapak, Mama dan Tante ke ruang tamu. Dan saya pun mulai bercerita sambil membentangkan foto-foto hasil USG.

Sekuat hati saya menahan air mata sambil terus menjelaskan. Tapi suara saya tidak bisa berkompromi. Terputus-putus dan tidak lantang. Pertanda saya menahan emosi dan air mata. Sepanjang penjelasan itu, saya tidak berani menatap mata Mama, karena one single glimpse pasti akan membuat air mata saya banjir.

"Jadi begitulah kondisinya. Secara fisik aku enggak sakit. Enggak terasa sakit sama sekali. Tapi, yah, begitu keadaan di dalam badanku," begitu aku mengakhiri penjelasanku siang itu. Setelah itu kuberanikan diri menatap Mama dan Bapak. Bapak was as though as a solid rock. Dia tidak bereaksi sama sekali. Tapi saya kenal Bapak saya. Karena saya fotokopi Bapak saya. Yang selalu mencoba terlihat tegar, tapi hancur di dalam. Saya melihat itu dengan jelas saat itu. Tidak butuh mata Superman yang bisa melihat menembus tubuh, saya melihatnya di mata Bapak hari itu. Beda dengan Mama. As i predicted, dia langsung menangis. "Dulu kau bilang memang mau periksa, tapi udah pernah kutanya, gimana hasilnya, kau bilang baik-baik saja. Kenapa sekarang begini??," kata Mama sambil terus terisak.

Saya membiarkan Mama tenggelam di tangisnya. Sampai dia tenang, saya akan menjelaskannya. It took a while and then she was able to manage her emotions. Saya menjawab semua pertanyaannya dengan lugas. Apa keputusan dan pilihan yang saya ambil, semua saya bagi pada mereka. Saya juga mendelegasikan tante saya untuk mengabarkan ke empat tante saya yang lain dan satu om.

Tumbuh besar, saya dikelilingi 6 tante (saudara perempuan Mama) dan satu om (saudara lelaki Mama). Kami sangat dekat. Berbeda dengan sisi keluarga Bapak saya. Sepanjang hidup, saya selalu menganggap selain Mama, saya punya 6 "Mama" yang lain. Satu tante saya meninggal dunia pertengahan tahun lalu karena kanker rahim, satu lagi pindah ke Bandung. Jadi saat itu, hanya 4 orang tante yang masih tinggal di Medan. Om saya tinggal di Jogjakarta.

Saat itu saya baru menyadari, apapun dan bagaimanapun keadaannya, bahkan saat kau berada di titik terendah kehidupanmu, keluarga lah yang akan selalu berada di sampingmu. Keluarga. Dan hanya berselang satu jam setelah tanteku mengabarkan berita itu ke tante yang lain, semua sudah berkumpul di ruang tamu rumah. They leave everything behind and went straight to see me. Meski rasanya seperti "terdakwa" dikelilingi pertanyaan tak henti dari mereka, hari itu saya bertekad menjelaskan semua ke semua orang. Jadi semua pertanyaan saya jawab. At least saat itu saya benar-benar tahu rasanya artis kalau lagi konferensi pers. Ha ha ha.

Saya tahu mereka khawatir. Tapi saya tidak tahu caranya meredakan kekhawatiran itu. Saya punya jawaban atas segala pertanyaan mereka berkaitan dengan kondisi medis, tapi jika soal rasa dan emosi, saya sendiri bahkan tidak tahu harus bagaimana. Dibilang tegar, kenyataannya saya bertambah cengeng setelah tahu soal penyakit ini. Tapi saya mencoba selalu tersenyum. Tapi itu hanya bertahan sementara, karena di dalam, saya memang sudah hancur.

Berhadapan dengan orang tua dan keluarga, pikiran saya cuma satu waktu itu. Kenapa saya tidak berhenti membuat mereka khawatir? Seharusnya saya sekarang sudah bisa membahagiakan mereka dan memberikan banyak kabar baik. Instead of, saya membawa kabar buruk! Tapi, saya harus bagaimana lagi? Tidak mungkin, kan, kalau saya menyimpan ini semua lebih lama? Maka hari itu saya mencoba mencerna semua lebih dalam. Saya mencoba sebisa mungkin memilih kata-kata terbaik yang bisa mendamaikan hati saya dan hati mereka semua. Dan saya rasa hari itu berawal buruk dan mengejutkan, tapi berakhir tenang.

Dua hari setelahnya, saya dan Mama terbang ke Penang, Malaysia. Saya ingat sekali pesan Mama waktu menunggu pesawat. "Enggak mungkin kami enggak mikirin. Setiap hari kami mikirin kalian. Bapak itu kelihatannya aja seperti itu. Tapi dalam hatinya juga dia yang paling khawatir." Dan saya hanya diam.

Konyolnya, dalam kondisi "genting" seperti itu pun, pikiran saya tidak bisa lepas dari kantor dan pekerjaan. Saat itu, saya memang memutuskan untuk meninggalkan kantor dalam waktu yang tak bisa ditentukan. Saya butuh berhenti sejenak dari deadline, dari tugas liputan, dari lay out, dari foto, dari semua. Saya harus "bernafas" tenang dan memutuskan hal terbaik. Di satu titik, jujur, saya sempat berpikir bahwa pekerjaan yang gila-gilaan selama enam tahun belakangan lah yang menyebabkan ini semua. Saya mengabaikan kondisi tubuh saya. Saya menghiraukan berbagai "tanda peringatan" dari tubuh saya. Saya membiarkan fisik dan mental saya "dilahap" oleh pekerjaan saya.

Karena itu, saya harus "berhenti" sejenak dan mengutamakan kesehatan saya. Sulit untuk menjelaskan kondisi saya ke banyak teman di kantor yang sudah saya anggap keluarga. Tapi seperti yang saya ungkap di awal tulisan ini, saya tidak mau orang berubah melihat saya. Saya bukannya mau rahasia-rahasiaan, tapi memang saya hanya bercerita pada beberapa sahabat di kantor. Dan kepada mereka pun saya wanti-wanti untuk tidak bercerita lebih banyak. Saya belum siap. Saya belum siap dilihat dengan tatapan nanar penuh iba. Saya tidak mau semua berubah. Saya tetap Yetta yang sama.

Beberapa orang sudah mengetahui kondisi saya ini. Dan beberapa masih mencoba menebak-nebak. Dan itulah tujuan saya menuliskan kisah saya ini. Agar semua bisa jelas dipahami oleh semua orang. Kenapa saya menghilang, kenapa saya mencoba menutupi semua, kenapa saya mencoba tetap menjadi saya. Seorang sahabat kemudian mengingatkan saya untuk berpikir positif. Bahwa ketika orang banyak bertanya, semua tak semata-mata karena keingintahuan mereka, tapi juga karena kepedulian dan rasa sayang mereka terhadap saya. Dan saya melihatnya seperti itu sekarang. Karena alasan itu pula saya menuliskan cerita ini.

--Penang, Pertengahan Juli 2013--

Melihat dari kartu namanya, dokter ini jurusan Irlandia dengan spesialisasi breast and endocrin. Dan itu cukup membuat perasaan saya tenang pagi itu. At least he knows what he's doing. Kalau di Indonesia, cabang spesialisasi dokter yang menangani urusan seperti saya, disertakan di spesialis onkologi. Artinya, semua tumor dan kanker jenis apa saja. Dan dokter ini, benar-benar hanya berkutat di breast and endocrin.

"You have what we called fibro adenoma. It's not severe, but u have two lumps. It's not gonna get smaller. We have to do a surgery to get rid of the tumors. From my observation, i can assure you that it's not cancer. But still, they are tumors," begitu dokter menjelaskan ke saya. Secara spesifik, saya meminta dokter berbicara dan menjelaskan ke saya dalam Bahasa Inggris. Bukan karena apa-apa, tapi saya tidak mau Mama saya yang menemani di ruang periksa menjadi heboh dan panik. Jadi lebih aman kalau dia mengetahui detailnya dari saya saja. Jadi waktu dokter menawarkan, "I can explain this to you and your Mom in Bahasa Melayu," saya langsung menjawab, "No, please doc, in English."

Setengah jam lebih saya ada di ruang dokter itu. Membahas segala kemungkinan baik dan buruk. He can smell my anxieties. "It's not because of the food. Although, when you get older, you need to carefully watch your food. But that's not it. It's all in the mind. You need to rest. This all caused by stress, tensions and pressures. Your body can't handle it. So the tumors grews faster. You need to relax, don't think too much. You need a rest. What's your job anyway?," si dokter bertanya. "I'm an editor and i'm a journalist," begitu aku menjawabnya. Karena memang saat itu aku masih menjadi editor. "Okay, now i know. Deadlines after deadlines, right? You need to stop," kata dokter sedikit bercanda.

But in that moment, i knew, he wasn't kidding. I do need to stop. Saya harus menanggapi "alarm" tubuh saya ini dengan serius, dan saya harus berhenti sejenak. Pekerjaan sudah melumat kondisi tubuh saya. And because of that, a week after that day, i told my boss that i wanted to resign from editor position. Saya meminta mundur dari jabatan itu, jauh sebelum banyak drama kantor terjadi tak lama setelah itu. Tapi sudahlah, itu cerita lain di kisah yang lain nanti..

Dokter lantas mengajukan beberapa opsi. Saya tidak akan bercerita detail tentang kelanjutan diagnosa dan observasi hari itu. Tapi saya tenang. Dengan dokter yang kooperatif, saya bisa berpikir jernih. Jadi hari itu, saya dan dokter memutuskan untuk menunggu. Enam bulan. Dengan catatan, setiap bulannya saya wajib lapor by email mengenai update kondisi saya per bulan supaya tetap bisa diobservasi oleh dokter. Dia memberikan alamat email pribadi dan nomor telepon genggam pribadinya. Di bulan kelima, dia akan memberikan rekomendasi terbarunya.

"I know this all came too fast for you. But you have to thank God because you knew it and you have them checked earlier. That is something that many women didnt have the nerves and courages to. You need to stop and observes. You need to set boundaries for your body. I'll see you on December," begitu kata dokter. And, man, you don't know how relieved i am that day. Tumor masih ada, masih di sana, menggerogoti, tapi semangat saya pun masih belum mengendur. Saya tahu, saya pasti bisa melewati semua ketakutan ini.

--Pertengahan November 2013--

"Okay. You come here on December 17th, and i'll have you rechecked and we're doing the USG again. After that, you'll stay at the hospital and I will scheduled the surgery on December 19th."

Begitu isi pembicaraan terakhir dokter dengan saya di email terakhir yang saya terima di pertengahan November. Memang keadaan tidak lebih baik. Setiap hari selama enam bulan terakhir, saya terbangun di pagi hari berharap tumor ini akan lenyap begitu saja. Tapi setiap pagi saya merabanya, mereka masih di sana. Dan setiap pagi pula saya terbiasa menghela nafas panjang sebelum turun dari tempat tidur.

Keadaan memang tidak menjadi lebih baik. Semakin hari, saya bisa semakin merasakan keberadaan tumor ini semakin mengganggu saya. Saya tidak bisa tidur nyenyak jika bertumpu ke sisi sebelah kanan. Setiap beberapa jam, terutama jika dalam kondisi lelah, saya merasakan denyutan dan nyeri konstan. Artinya, secara fisik, saya mulai terganggu. Dan dari beberapa kali konsultasi via email dengan dokter di Penang, saya tahu, bahwa pada akhirnya, operasi adalah jalan terbaik.

--16 Desember 2013, 3 hari sebelum operasi--

Saya tahu, setiap tindakan operasi, apalagi rencana operasi ini termasuk tidak ringan, pasti memiliki resiko. Saya, yang selalu over think ini pun sudah mempersiapkan berbagai skenario, dari yang baik sampai yang terburuk sekalipun. Sampai detik ini pun saya masih cemas dan diliputi kekhawatiran. Saya tahu saya harus berpikir positif, and i'm trying to, believe me. Tapi banyak pikiran dan kemungkinan terburuk masih menggantung di kepala saya. Dan saya janji, saya akan berusaha keras mengeyahkan semua.

Saya menuliskan ini bukan untuk pamer atau mencari perhatian. Meski banyak yang menganggap saya aneh, tapi menulis adalah terapi terbaik untik saya. Sejak lama saya sudah menyadarinya. Banyak orang memilih untuk belanja, makan, memotret, berolahraga, semua demi terapi jiwa masing-masing. Tapi saya selalu menganggap bahwa menulis menyembuhkan saya. Writing is my ultimate theraphy. Selain traveling, tentu saja. But writing is instant. I can do it anywhere, anytime. And that's what i'm doing right now.

Banyak yang berubah dari diri saya selama 6 bulan terakhir. Saya belajar untuk lebih menikmati hidup. Tertawa lebih keras bahkan untuk gurauan yang tak terlalu lucu. Tertawa sampai mengeluarkan air mata. Menghabiskan lebih banyak waktu bertemu keluarga dan menjalin komunikasi lebih intens dengan Mama dan Bapak dan keluarga lain yang terpisah jarak. Belajar menikmati pekerjaan dan memulai ritme baru yang lebih menyenangkan. Mencoret satu per satu daftar mimpi dalam bucket list (yang terbaru adalah camping dan menjelajah hutan. thanks guys!). Mencoba berhenti beberapa menit dalam satu hari untuk menarik nafas panjang dan bersyukur. Mencoba mengamati semua fenomena keseharian dengan teman-teman, dengan lingkungan sekitar lebih baik dan lebih detail lagi. Saya mengamini satu istilah: YOLO: you only live once. So, enjoy it!

Semua hal itu yang memampukan saya menjalani 6 bulan terakhir. Ketakutan akan selalu ada. Tapi saya yakin, there's a rainbow everytime the storm passes. Tiga hari lagi, saya akan dijadwalkan untuk operasi pengangkatan dua tumor saya. Saya pasrah. Karena saya tahu, apapun yang terjadi, I HAVE LIVE MY LIFE TO THE FULLEST.

And i'm not planning to stop!  :)

So, i guess i'll see you guys around after the morphine runs out..haha!

I love each and everyone one of you..terimakasih sudah menambah cerita baru dalam setiap hari saya. If it wasn't for you guys, i wouldnt have made it untill now.

-Yetta-









Kamis, Oktober 24, 2013

Aku dan Hujan

Hujan selalu mengingatkanku padanya. Selalu. Seperti sore ini, saat hujan turun mendera tanpa ampun membasahi tanah ibukota ini, aku mengingatnya. Mengingat suatu sore serupa di sebelah utara Jogjakarta. Sore itu, aku bersamanya. Tak kuingat persis berapa tahun sudah berlalu sejak sore itu. Mungkin sepuluh tahun lalu. Tapi sore itu istimewa, karena aku bersamanya, lelakiku.

Konyol memang, apa yang dilakukannya padaku sore itu. Tapi entah kenapa, setiap hujan turun, kejadian konyol itu yang selalu kuingat. Sore itu, dia, lelaki yang menghiasi hari dan hatiku bertahun-tahun lalu itu, terjebak hujan lebat. Dan dia pun terjebak denganku dan dengan hujan. Tapi diam-diam, aku berterimakasih pada hujan, sudah menjebakku dan menambahkan atmosfer sempurna sore itu. Bahkan rasanya, settingan sinetron pun kalah indah dengan yang kami alami sore itu.

Hujan deras, tapi kami harus pulang. Belum ada sepeda motor, belum ada mobil. Uang di saku hanya cukup membawa kami pulang dengan becak. Apa boleh buat, daripada terjebak dengan air hujan yang tak kunjung berhenti, ditambah dingin yang semakin menusuk tulang, kami memutuskan untuk menaiki becak. Baru saja berpikir tentang becak, sebuah becak lewat. Dengan baik hati bapak pengemudi becak yang sudah tua renta itu berhenti dan bersedia membawa kami berdua. Aku dan dia.

Tapi kondisi jalan yang basah, jarak pandang yang terbatas, membuat pengendara becak yang sudah renta itu terlihat kesulitan meminggirkan becaknya. Ketika akhirnya dia berhasil menepikan becaknya, kami berdua berusaha menaiki becak dengan susah payah. Saat itulah kejadian konyol itu terjadi. Saat kami berdua serentak menaiki becak, entah bagaimana dan apa yang terjadi, becak itu seketika terbalik!

Sungguh aku tak berbohong. Becak itu terbalik dan menimpa kami berdua! Untung, karena tak seluruh beban becak menimpa tubuh kami. Dan saat itu hujan masih turun dengan lebatnya. Terduduk di sana, di pinggir jalan raya di sudut utara kota Jogja, dengan becak menimpa kami. Kulihat wajahnya yang berada di sampingku yang terlihat panik melihat becak menimpa tubuh kami. Tak hentinya dia berteriak padaku berulang-ulang menanyakan apakah aku baik-baik saja.

Reaksi pertamaku tentu saja malu dan mau marah, tapi kulihat wajahnya, wajah lelakiku itu, tak bisa kupikirkan hal lain yang harus kulakukan selain tertawa. Menertawakan kami, menertawakan becak yang menimpa tubuhku, menertawakan hujan yang tak kunjung reda, menertawakan pengguna jalan lain yang juga terheran-heran melihat kami. Tapi yang terutama, aku ingin menertawakan momen itu, dengannya. Kembali aku memandangnya dengan senyum. Aku tahu saat itu dia bisa membaca pikiranku yang berkata, "Aku enggak apa-apa. Kita lucu sekali". Aku benar, karena dia pun langsung tertawa usai melihat wajahku. Kami puas tertawa sore itu meninggalkan bapak pengendara becak yang kebingungan.

Akhirnya becak itu diangkat dari tubuh kami. Lelakiku memapahku berdiri. Saat benar-benar kakiku menjejak tanah, aku mendongak dan melihat wajahnya sekali lagi yang ada persis di hadapanku. Kuberikan senyum terbaikku padanya. Hatiku berkata saat itu, "Aku mencintai lelaki ini". Walau tak kuucapkan. Dia, lelakiku ini, tahu persis cara kerja tubuh dan pikiranku. Jadi aku tahu, sore itu, dia tahu apa yang kupikirkan. Dia merentangkan tangannya dan langsung memelukku. Hujan boleh saja terus mendera tubuhku, dingin tak berhenti menusuk kulitku, tapi dalam pelukannya, tak ada yang lain selain kehangatan. Meski sedetik kemudian dia melepaskan pelukannya karena menyadari bapak pengendara becak kami sudah memperbaiki becaknya untuk dapat kami naiki.

Akhirnya kami duduk di becak itu. Berdua, kami berhimpitan di dalam becak. Dia merangkulkan lengannya melingkar di punggungku, seperti menjagaku untuk tetap nyaman dan hangat. Kami berdua basah kuyup, tapi dingin tak kurasakan lagi. Semua berganti hangat. Kusandarkan kepala ini ke dadanya sambil menunggu bapak pengendara becak menutup terpal plastik di hadapan kami agar terhindar dari terpaan hujan dari bagian depan.

Aku tahu, pastilah rupaku tak karuan sore itu. Basah kuyup, plus bibir yang nyaris membiru karena kedinginan. Tapi aku tak berhenti tersenyum sembunyi-sembunyi sambil terus menempelkan kepala dan wajah ini di dadanya seakan mencari perlindungan. Tak sekalipun aku berkata-kata sore itu. Aku aman di pelukannya, di antara lengan dan bahunya yang kokoh. Aku aman.

"Kau enggak apa-apa?," tanyanya lagi sambil memandang wajahku. Aku mendongak dan menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. Saat itulah dia menatapku tajam dan tiba-tiba mendaratkan kecupan di keningku. Lelakiku, lelaki paling tidak romantis di dunia ini, sore itu meluluhkan hatiku. Setelah itu dia tak berkata apa-apa lagi sampai kami tiba di tujuan. Tak sekalipun dia melonggarkan pelukannya, dan tak sekalipun pula aku melepaskan kepalaku dari dadanya. Rasanya, aku ingin selamanya ada di dalam becak itu.

Di tengah hujan, di bilik becak yang sempit itu, aku menemukan kebahagiaan seluas samudera. Saat itu aku tahu, lelaki ini pun mengasihiku. Tak perlu kata-kata puitis dan romantis atau seikat bunga mawar. Hanya pelukan erat tanpa henti dan satu kecupan, dia sudah melakukan segalanya.

Karena itulah aku selalu mengingatnya, mengingat lelakiku setiap hujan turun. Di belahan bumi manapun aku berpijak, setiap hujan turun, pikiran ini langsung bertolak ke sore itu, di pinggir Ring Road Utara Jogjakarta yang diterpa hujan deras. Meskipun sekarang sudah lima tahun berlalu sejak kami sepakat mengakhiri kisah sewindu yang kami lewati, meski kini aku tak lagi berbicara dengannya, tak lagi tahu bagaimana keadaannya, meskipun dia sudah berbahagia dengan istri dan anaknya. Meskipun aku tetap di sini, sendiri. Tapi setiap hujan turun, aku akan selalu mengingat sore itu.

Sore terbaikku dengan lelakiku kala itu...

Karena itulah, aku selalu suka hujan...

Rabu, Juli 17, 2013

Hari Itu, di Père Lachaise Cemetery…




Saya sangat ingin menikmati kesunyian saat ini. Sekarang semua terlalu “bersuara”, mengganggu telinga..Terlalu riuh, terlalu ricuh…

Saya ingat beberapa bulan lalu, saya menginjakkan kaki di kota Paris. Di saat semua orang berlomba mengabadikan foto di Menara Eiffel (yang juga saya lakukan), saya dan rekan seperjalanan saya memutuskan untuk mengunjungi pemakaman. Bayangkan, kami menempuh perjalanan dari Jakarta ribuan kilometer jauhnya, dan kami memutuskan untuk datang dan berkunjung ke pemakaman.

Père Lachaise Cemetery namanya. Penduduk asli Prancis akan menyebutnya Cimetière du Père Lachaise. Pemakaman ini adalah salah satu pemakaman paling luas di kota Paris, memakan lahan seluas 44 hektar.
Jangan langsung membayangkan pemakaman di Indonesia, yang seringkali lebih menonjolkan unsur kengerian. Bukan tidak nasionalis, hanya saja saya pikir bangsa Barat lebih memahami konsep pemakaman sebagai memorial, tempat mengingat dan mengenang kehidupan sesorang dengan cara yang baik, bukan dengan menakut-nakuti dengan cerita dan atmosfer super seram.

Père Lachaise Cemetery berada di 20th arrondissement. Mungkin kalau di Indonesia, arrondissement itu seperti kecamatan, lah.  Di Paris, “kecamatan” itu diberi julukan arrondissement. Di Paris, terdapat 20 arrondissement.

Tak sulit menemukan lokasi Père Lachaise Cemetery. Saking luasnya, pemakaman ini memang bisa diakses dari beberapa pintu masuk yang langsung terkoneksi dengan jaringan transportasi, terutama Paris Métro (kereta api bawah tanah-nya Paris). Saat itu kami memutuskan untuk turun di stasiun Père Lachaise dan berjalan kaki sekitar 500 meter menuju pintu masuk Père Lachaise Cemetery.

Saat memasuki gerbang pemakaman, memang kesan misterius dan “gelap” langsung terasa. Tapi tidak menyeramkan. Untungnya saat itu tengah musim gugur. Pepohonan sedang indah-indahnya berhiaskan dedaunan berwarna cokelat keemasan dan satu per satu daun-daun itu lepas dari rantingnya saat angin kencang berhembus. Pas. Pemandangan yang sempurna.

Pemakaman ini terlalu luas untuk sekedar dijelajahi tanpa arah. Karena itu, di setiap sudut terdapat peta yang bisa mengarahkan pengunjung. Saat melihat daftar pemakaman, jangan heran, karena banyak nama tersohor yang dimakamkan di sini. Pemakaman ini seakan menjadi saksi keagungan Prancis selama 200 tahun belakangan. Nama-nama hebat yang tertera di daftar nisan membuat saya terkagum-kagum. Seumur hidup, belum pernah saya setakjub itu saat mengunjungi pemakaman.

Mereka yang dimakamkan di Père Lachaise Cemetery adalah orang-orang yang secara langsung atau tidak langsung memberi warna dan kontribusi terhadap Prancis dan dunia. Dari penyair, pahlawan perang, politikus hingga rocker. Semua terbaring damai di pemakaman yang kabarnya memuat nyaris satu juta nisan.


Saya memandangi satu per satu nisan yang saya lewati. Tak ada rasa takut, malah damai. Tepat di saat itu, konsep saya tentang kematian berubah 180 derajat. Kalau di pemakaman di dunia saja bisa terasa indah seperti ini, bagaimana nanti “di alam sana”? Entah kenapa, saya yakin, "di sana" nanti tidak mungkin lebih buruk dari ini.




Sesekali saya berhenti di nisan yang sepertinya baru saja dikunjungi. Di sana-sini masih terlihat bunga segar di sekitar nisan. Nisan-nisan dan pemakaman yang ada di sini pun tidak biasa-biasa saja. Kebanyakan dari mereka dibangun dengan megah, bahkan ada yang bak istana. Tapi entah kenapa, tidak terkesan berlebihan. 
Mungkin karena selera bangsa Eropa yang sangat artistik.

Saya tiba di salah satu makam paling penting di Père Lachaise Cemetery. Tak susah menemukan makam ini saat itu. Dari kejauhan saya sudah mendengar sayup-sayup musik mengalun. Saat itu saya tahu, saya telah menemukan makam Jim Morrison, pentolan grup band The Doors yang tersohor itu. Jim Morrison sebenarnya asli Amerika Serikat. Namun ia meninggal dunia di Paris pada 3 Juli 1071 di usia 27 tahun dan dimakamkan di sini.


Saat saya tiba di sana, seorang fans fanatiknya mencuri perhatian saya. Dia, pria itu, yang memasang musik The Doors saat itu. Berbekal ipod dan ipod dock, dia memutar lagu-lagu The Doors sambil menghembuskan gelembung-gelembung sabun di sekitar makam sang idola. Saya yakin, pria itu sangat mencintai karya-karya Jim Morrison. Ia tak peduli banyak orang memandanginya dengan raut penuh tanda tanya. Ia ikut bernyanyi melantunkan lagu demi lagu sambil terus menghembuskan gelembung-gelembung ke udara. Mendengar suara Jim Morrison bernyanyi tepat di depan makamnya saat itu, bulu kuduk saya berdiri. Bukan karena takut, tapi saya (lagi-lagi) takjub.

Sayang, sudah beberapa tahun belakangan ini makam Jim Morrison harus dipagari dengan pagar-pagar besi, berbeda dengan makam lainnya. Maklum, keluarga ingin melindungi makam Jim dari sejumlah ritual “aneh” dan vandalisme berlebihan dari penggemar fanatiknya.

Jim Morrison bukanlah satu-satunya pesohor yang dimakamkan di Père Lachaise Cemetery. Ada Frédéric Chopin, sang komposer terkenal itu. Ada pula makam Oscar Wilde, pujangga kenamaan dunia, dan ribuan makam lain.

Berat rasanya melangkahkan kaki keluar dari Père Lachaise Cemetery. Saya belum pernah mengunjungi pemakaman lain di luar Indonesia. Ini baru kali pertama. Tapi entah kenapa, saya rasa akan sulit mengimbangi keindahan Père Lachaise Cemetery. Perjalanan singkat saya ke Père Lachaise Cemetery mengajarkan saya banyak hal. Tentang kehidupan dan tentang kematian. Tentang kenangan, tentang legacy, tentang warisan. Tentang ketenangan, tentang “berhenti” sejenak dari hiruk-pikuk dunia dan bersyukur. Tentang melapangkan hati, tentang menenangkan jiwa, tentang nostalgia.

Dan yang terpenting, tentang ikhlas…
   

Minggu, Juni 23, 2013

Membungkus Duka dengan Tawa

Sepekan lalu, aku berpapasan dengan seorang rekan kerja. Kami bekerja di kantor dan ruangan yang sama. Jadi setiap harinya, pasti dia hapal betul tingkah lakuku, dan sebaliknya. Siang itu, kami berpapasan di kantin saat jam makan siang. Begitu melihatku, dia langsung berkata, "Ih, enak banget ya jadi Yetta ini. Selalu terlihat bahagia, ceria. Kayaknya enggak pernah susah. Pengen deh kayak Yetta."

Saat itu, reaksiku bisa saja. Dengan ringan kujawab, "Ya ngapain juga susah? Ya udah sih." Sesederhana itu jawabanku. Hanya saja, di hatiku terdalam pun tahu aku sedang melakukan salah satu kebohongan terbesar. Andai saja temanku itu tahu apa yang sedang menimpaku hari itu. Mungkin akan sekonyong-konyong dia akan menarik perkataannya dan bahkan mungkin berharap dia tidak menjadi seperti yang selalu terlihat "ceria" ini.

Entah kenapa, temanku ini harus memilih hari itu untuk menyampaikan pendapatnya tentangku. Hari dimana justru aku berpikir bahwa ada kemungkinan duniaku ini akan berakhir. Dia, temanku ini, harus menyampaikan kata-kata indah bernada pujian sarkastik itu tepat di hari itu, setelah aku menyelesaikan pemeriksaan kesehatanku.

Andai dia tahu, hari itu aku sudah ingin mati saja rasanya. Andai kau tahu, teman, hari itu kepala ini tak bisa berpikir jernih. Semua kecemasan dan kekhawatiran akan kemungkinan terburuk akan terjadi, menggelayuti pikiranku setiap menit, tepat di hari itu.

Tapi entah kenapa, sepertinya aku tak bisa menunjukkan raut wajah yang sesuai dengan isi hatiku. Hari itu, secara tampak luar, ya seperti hari-hari biasanya. Tapi andai ada superhero yang bisa melihat menembus ke dalam hati dan kepalaku, pasti dia akan tahu bahwa hari itu, aku nyaris hancur.

Aku jadi teringat beberapa pekan lalu aku sempat kesulitan mencari potret diriku yang terlihat tidak ceria. Nyaris tidak ada. Padahal aku memerlukan foto itu untuk kepentingan tulisan. Dan ternyata, setelah menghabiskan banyak waktu membongkar koleksi ribuan foto, aku tidak menemukan foto diriku yang tidak nyengir, tidak tertawa lebar, tidak senyum. Semua menampilkan ekspresi yang sama. Senyum lebar dan ceria, penuh kebahagiaan. Ha ha ha.

Memang, apapun masalah yang menimpa, seringkali aku menemukan cara untuk tetap tersenyum, atau setidaknya berpura-pura untuk tersenyum atau tertawa. Meski disaat yang bersamaan, dunia ini serasa runtuh dan ingin menghantam tubuhku, aku tetap berusaha tersenyum. Aku ingin pernyataan temanku tadi yang menjadi ingatan orang-orang tentangku. Yetta yang selalu ceria dan tersenyum, apapun masalahnya.

Kelak, aku ingin meninggalkan ingatan itu di hati dan pikiran setiap orang yang mengenalku.

Itu saja...

Kamis, Mei 02, 2013

Tidak "Lengkap"


Beberapa hari ini aku tidak nyaman dengan diriku sendiri. Aku bukan seperti aku. Aku menyadari itu dan orang-orang di sekelilingku pun mulai merasakan hal yang sama. “Kenapa, sih, loe?,” begitu mereka kerap bertanya. Sayangnya, aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Karena aku pun menyimpan pertanyaan yang sama. “What’s wrong with me?”.

Beberapa hari ini aku sedang merasa aku tidak menjadi diriku sendiri. Aku resah, untuk alasan yang aku pun tidak bisa menjelaskan. Aku mencoba tetap ceria, seperti aku biasanya. Senyum memang terpampang jelas di wajahku. Tapi entahlah, ada yang hilang…


Rasanya, aku sedang tidak bahagia…


Beberapa hari ini, aku merasakan sedih yang luar biasa, nyaris dalam segala hal. Sedih sekali…Entah kenapa. Aku merasa, saya harus “mengeluarkan” sesuatu, uneg-uneg atau apapun itu. Tapi aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Dan aku tidak tahu harus berlari ke siapa. Jangan salah mengartikan. Aku dikelilingi banyak orang yang (aku yakin) mengasihiku. Hanya saja, aku tidak mampu untuk bercerita pada mereka…

Beberapa hari ini, aku ingin sekali bercerita dengan seseorang, siapapun itu. Aku butuh pertolongan. Untuk meredakan gejolak di hatiku. Aku merasa harus ada seseorang atau sesuatu yang bisa menemukan dan kemudian meletakkan kepingan yang hilang dari hatiku, dari jiwaku, dari pikiranku.

Beberapa hari ini, ada yang hilang dariku. Aku diliputi kecemasan luar biasa. Entah karena apa. Aku berdoa sungguh-sungguh, tadi malam, untuk yang pertamakalinya sejak beberapa saat. Aku bahkan tidak mengeluarkan banyak kata-kata, hanya airmata bercucuran tanpa alasan. Aku tumpahkan semua. Tapi tetap, aku merasa ada yang hilang…


Aku tidak “lengkap”..


Beberapa hari yang lalu, seorang teman mengirimkan pesan singkat. Isinya seperti ini, “Apa lagi yang kurang? Karier loe ok, loe udah keliling dunia, apa yang kurang?”. Aku terdiam sejenak. Aku tidak tahu mau menjawab apa. Tapi dalam hati, aku ingin sekali menuliskan apa yang ada di pikiranku.


“Aku butuh seseorang…”


Rabu, Maret 27, 2013

Siapa yang Salah?

Tadi siang saya menerima broadcast message di telepon genggam saya. Isinya berita bahagia. Seorang teman seperjuangan saat berkuliah di Yogyakarta dulu, baru saja dikaruniai anak kedua. Setelah anak pertamanya berjenis kelamin perempuan, yang kedua ini, mereka dianugerahi bayi lelaki. Saya turut berbahagia tentunya, sebagai teman mereka. Dan sesuai prosedur kebahagiaan dan pertemanan, saya membalas pesan itu. Isinya, tentu saja, ucapan selamat diiringi doa agar kelak si jabang bayi tumbuh sehat.

Pembicaraan kemudian berkembang. Semakin "berkembang" ketika setelah beberapa pertanyaan dan pernyataan basa-basi, teman saya itu mulai "menyerang" dengan pertanyaan inti yang (saya yakin) pasti sudah ingin ditanyakannya sejak awal pembicaraan. "Kau kapan nyusul, Yet? Anakmu udah berapa?". Saya, yang sudah terlatih menghadapi dan menjawab pertanyaan model begini, tentu menjawab bijaksana. "Oh, belum. Doain aja. Anak-anak banyak, kok, banyak keponakan," kataku sambil membubuhkan tanda senyum yang (menurutku) melengkapi sikap santunku.

Tapi, tentu saja, skenario "penyerangan" tak berhenti di situ. Sudah pasti pertanyaan lanjutan akan mengikuti. Aku pun sudah menyiapkan amunisi jawaban yang cukup. Aku sudah terlatih menghadapi situasi seperti ini sejak beberapa tahun belakangan. Dulu aku selalu menjawab berapi-api, mencoba menangkis "serangan" pertanyaan-pertanyaan itu dengan keras. Tapi sekarang aku menemukan metode baru. Diam saja, amini, iyakan, lantas lontarkan senyum. Terbukti ampuh untuk perisai. Kalau kurang dan tidak mempan juga, keluarkan manuver kalimat-kalimat cerdas yang memutarbalikkan keadaan. Seperti siang tadi.

Pernyataan yang kemudian terlontar oleh temanku itu, kira-kira begini bunyinya. "Wah, ini kebanyakan nyari uang ini. Cari uanganya jangan terlalu serius, Yet". Sampai di situ, aku masih menanggapi dengan senyum ringan. Tidak ada yang kumasukkan ke dalam hati. Bagiku, pernyataan seperti itu ibarat selingan camilan sore hari. Berlalu begitu saja. Sangking sudah seringnya. Terlalu rutin.

Kemudian, "serangan utama" dimulai. Begini isinya. "Makanya, kalau masih muda, jabatan jangan tinggi-tinggi dulu. Orang pada takut, Yet". 

(hening sejenak)

Setelah membaca kalimat itu, sudah pasti aliran darah langsung naik ke kepala. Tapi karena saya sudah menguasai "Ilmu Pengendalian Diri Terhadap Pertanyaan Maut", saya mencoba diam, menarik nafas panjang dan mencoba menerbitkan senyum, seperti berusaha memarodikan pernyataan itu. Sejujurnya, saya tahu jawaban yang pasti bisa memutarbalikkan keadaaan dan membuat teman saya itu menutup mulutnya dan berhenti "menyerang" saya. Dan apa yang saya tuliskan kemudian memang ternyata mampu membungkamnya. Di akhir tulisan ini nanti akan saya tuliskan jawaban saya.

Saya tidak melawan. Tapi sungguh, saya tidak mengerti dengan pernyataan seperti yang dilontarkan teman saya itu. Saya menuliskan ini dengan keadaan sadar dan sungguh-sungguh ingin bertanya, maksudnya apa ya? Bagi yang pernah membaca tulisan saya di blog ini, saya juga pernah menuliskan tulisan bertema serupa. Tapi sekarang saya benar-benar butuh untuk menelaah pernyataan itu. Maksudnya apa ya?

Apakah saya salah karena memiliki pekerjaan mapan? Apakah saya yang salah, karena bisa bepergian ke luar negeri, mewujudkan mimpi dan hasrat saya dengan uang hasil keringat saya sendiri? Apakah saya, sebagai perempuan, tidak bisa memangku jabatan? Apakah kondisi profesi saya dan pendapatan yang saya hasilkan itu membuat saya terlalu arogan untuk menikah dan memilih calon pendamping? Maksudnya, saya harus bagaimana? Sepertinya, kok, saya merasa orang-orang menyalahkan karier dan pendapatan saya sebagai penyebab saya tidak "laku" sampai sekarang, ya? Salah saya di mana, ya?

Se-arogan itukah para lelaki bujangan di luar sana? Atau semua akan ketakutan kalau berhadapan dengan perempuan dengan karier yang jelas? Wah, saya tambah bingung. Toh, karier saya biasa-biasa saja sepertinya. Enggak cemerlang-cemerlang banget juga, kok. entah dari mana semua orang-orang ini menyimpulkan seragam.

Bukannya seharusnya para lelaki ini merasa tertantang dan senang hati untuk bisa bersanding dengan perempuan-perempuan yang terbukti mampu mengatur kehidupannya sendiri ya? Atau maksudnya, para lelaki bujangan ini maunya bersanding dengan perempuan-perempuan yang bisa selalu berada di "bawah" nya ya? apakah itu yang membuat saya selalu gagal menjalin hubungan dengan lelaki? Entahlah...

Saya (ini saya, lho) tidak pernah takut bertemu dan berkenalan dengan pria yang saya tahu jelas memiliki posisi sosial, pendapatan dan pendidikan yang jauh lebih mumpuni dari saya. Bagi saya, itu berkat, karena saya bisa belajar banyak dari semua orang yang kehidupannya lebih baik dari saya. Saya tidak pernah merasa rendah diri, karena saya tahu, kita semua sedang menjalankan peran masing-masing. Saya selalu yakin, rezeki setiap orang sudah ditentukan. Tinggal usaha yang membedakan hasil akhirnya. Itu saya yakini sekali.

Saya belum menemukan formula jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saya tadi. Sungguh saya ingin bertanya, khususnya ke kaum lelaki. Karena saya tahu, saya masih harus menghadapi pertanyaan dan pernyataan penuh nada "serangan" seperti tadi sampai beberapa waktu ke depan. Sampai saya menemukan lelaki yang cukup berani menghadapi saya. Sampai itu terjadi, mungkin saya hanya perlu mengatur tekanan darah dan kadar emosi jika ada yang melontarkan pernyataan atau pertanyaan serupa.

Oh iya, seperti yang saya jelaskan di atas tadi, ini jwaban saya yang mampu membungkam pernyataan teman saya tadi.

"Karier itu rezeki. Kalau ada yang takut dengan rezekiku, berarti dia laki-laki yang enggak percaya diri. Pertanyaan justru dibalik. Masih muda, banyak kesempatan, kok belum punya jabatan?'. 

Sekali lagi, kutambahkan tanda senyuman, demi sopan santun dan ramah tamah. Sukses, karena dia cuma menjawab, "Oc lah..."

:)