Rabu, Januari 26, 2011

Bukan Salahku

Tulisan ini terinspirasi dari salah satu Tweet teman yang me-mention akun Twitterku di tweet nya. Karena di-mention ke aku, berarti, tweet ini ditujukan kepadaku. Setelah membaca ini, aku merasa menuliskan ini. Bukan pembelaan, hanya memaparkan fakta.

Beginilah isi tweet yang kumaksud :
"@angelinayetta ini elo nih! RT @ted_kho: #cewebikintakut Independent. Ga perlu scr finansial, tp bisa ngapa2in sendiri, banyak cowo yg jd takut merasa ga akan 'dibutuhkan'".


Jadi, analisaku, menurut isi tweet ini, aku lah si cewek yang bikin takut. Simply just because i was 'accused' for being too independent, one way to the other. Jadi, inilah jawabanku.

Bukan salahku, di usiaku yang hampir menginjak kepala 3 ini, aku mulai mapan secara finansial. Tidak berlebihan, tapi, ya, mapan. Penghasilanku lumayan, setiap bulan aku bisa menghidupi diriku sendiri, sampai membayar orang lain untuk mengurus rumahku. Jadi, ya, secara finansial, aku mulai mapan.

Bukan salahku, kalau aku bisa ngapa-ngapain sendiri. Dari dulu aku terbiasa mandiri. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Aku perempuan satu-satunya. Di masa kecilku, Bapak-Mama ku bekerja. Separuh hariku, aku tidak bersama mereka. Jadi, aku terbiasa. Dari menyiapkan baju seragam sendiri di pagi hari, sampai membuat makan malam sendiri. Terbiasa. Sejak kelas 3 SD, aku sudah 'dilepas' pergi ke mana-mana dengan angkutan umum. Sendiri. Dan itu tertanam hingga kini. Selama aku bisa melakukan sesuatu sendiri, tidak merepotkan orang lain, so why bother?

Bukan salahku, kalau karena hasil didikan orangtuaku, menjadikanku sosok yang independen. Aku tahu bagaimana caranya membuat keputusanku sendiri. Aku merantau sendiri. Aku sudah berpisah dari orangtua sejak usia 17 tahun. Di saat semua orang menikmati fasilitas mewah dari orangtuanya, aku sendiri. Selama uang saku cukup, hidupku pun cukup. Aku membuat keputusan untukku sendiri, bukan orang lain. Setamatnya dari perguruan tinggi, di saat semua orang memanfaatkan kekuasaaan, jabatan orangtuanya untuk mendapatkan pekerjaan, aku berjuang sendiri. Mengalahkan 100.000 orang kandidat lain, dan menjadi karyawan di televisi itu. Semuanya kulakukan, sendiri.

Bukan salahku, karena prestasi kerjaku, dalam waktu 1,8 tahun aku sudah dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi. Di saat semua orang berjibaku mendapatkan posisi ini, aku yang dipilih. Bukan karena kolusi, apalagi nepotisme, tapi dengan bangga aku mengatakan, karena kemampuanku. Itupun kuraih sendiri.

Bukan salahku, kalau aku enggak pernah mau diantar atau dijemput ke mana-mana. Bahkan oleh pacar sendiri (kalau sedang pacaran, maksudnya. Sekarang, sih, enggak ada yang menawarkan, karena sedang enggak punya pacar). Ke mana pun, jam berapapun, aku pergi, sendiri. Karena aku tahu bagaimana meninggalkan rumah sendiri, dan aku pasti tahu bagaimana caranya kembali ke rumah. Sendiri.

Bukan salahku, jika karena alasan-alasan yang kupapaparkan di atas, menjadikanku berbeda di mata lelaki. Sedikit pun tak ada yang kubanggakan dari kesendirianku, kemandirianku. Tapi, inilah aku, terbentuk dari semua ide dan didikan sejak kecil. Dan aku tidak kecewa. Justru itu yang membuatku menjadi seperti sekarang. Menjadi Yetta. And so you know, aku butuh orang lain kok. Hidup ini terlalu indah untuk tidak dibagi. Way too beautifull. :)

Ini yang terakhir. Maafkan, kalau secara tidak sadar, aku sudah menakutkan kalian, para pria. Lagipula, semuanya tidak masuk akal. Kalau akhirnya beberapa orang membentuk kesimpulan seperti itu, beranggapan bahwa aku membuat lelaki takut mendekatiku, kasihan sekali? Berarti, si lelaki yang dimaksud, memang terintimidasi oleh kemampuanku? Dan bukankah akar dari rasa terintimidasi adalah ketidakpercayaan diri? Kalau memang benar analisaku, maka maaf, akupun tidak berniat membuka hati dan menyerahkan masa depanku bersama orang yang tidak percaya diri akan dirinya sendiri.

Terakhir (maaf, kali ini benar-benar terakhir), bukan aku yang harus menurunkan kadar kemampuanku, kadar independensiku, tapi hey, kalian, pria-pria rendah diri, harus belajar lebih banyak untuk menaklukkan dunia ini. Hingga satu saat, kalian bisa melihat kami, perempuan-perempuan seperti aku, yang katanya menakutkan, sebagai sosok yang tangguh, mapan, kuat, sekaligus lembut, yang bisa menjadi teman hidup terbaik. Dan pasti, ada satu lelaki yang bisa melihatku dan memberi kesimpulan yang berbeda. Yang cukup percaya diri dengan kemampuannya sendiri, dan punya cukup keberanian untuk memintaku menjadi istrinya. Untuk menjadi pasangan hidupnya, dan untuk menjadi ibu dari anak-anaknya. Dan ketika waktu itu datang, semua yang kalian bilang menakutkan, semua kemampuanku itu, enggak ada artinya di mata pria itu. Semoga. Kelak.

Jumat, Januari 21, 2011

Pelataran Hati

Waktu aku bertanya pada Tuhan, aku mengajukan dua nama pada-Nya. Aku tak kuasa memutuskan, mana yang kupilih. Lalu, aku minta Tuhan yang memilih. Dan Dia pun memilih. Satu nama keluar, dan satu nama masuk. Sesederhana itu.

Dia, nama yang keluar itu, sedang kucoba keluarkan dari sini, dari hati ini. Nama yang awalnya tak kuizinkan untuk bahkan menyentuh beranda hatiku. Nama yang seiring waktu terngiang di telinga setiap hari, SETIAP HARI. Waktu yang menjawab, hingga nama itu perlahan merasuk. Masuk ke beranda, mengetuk hati, minta izin untuk masuk. Kala itu, kuizinkan dia masuk, dengan harapan, dia membawa yang baru, harapan baru. Maka, kuizinkan dia masuk. Benar saja, setitik harapan itu muncul.

Tak lama, aku meminta Dia, yang empunya seluruh pelataran hati ini, untuk memutuskan, apakah masa berkunjungnya harus berhenti di sini, ataukah sampai ajal menjemputku nanti? Kata-Nya, "Tidak. Dia sampai di sini saja. Sudah habis waktunya." Maka kuhela nafasku, kututup mataku, dan kuminta ia keluar. Aku sudah tidak punya tempat lagi.

Maka, di sinilah aku sekarang. Kembali di titik nadir. Meski harusnya aku terhibur, karena masih ada yang lain yang masih menunggu. Satu nama yang sebenarnya sudah terlebih dahulu menempati dan masuk di hati ini. Dia masih di sana, menunggu. Karena itu, lagi-lagi, aku menarik nafas panjang, menutup mata, berfikir sejenak, dan berjalan menuju dia. Ini keputusanku, pilihanku.

Kubuka hatiku untuknya, meski ia masih duduk tenang di sana, melihatku, tanpa melakukan apapun. Tapi aku tahu, waktu dan Dia yang akan menjawab kelak, apakah ia akan menjadi warga tetap di hati ini, atau memang harus pergi berlabuh di hati yang lain. Yang kutahu, saat ini, kepadanyalah mata hatiku tertuju. Dan semoga dia, Sang Empunya hati ini, memberikan jawaban terbaik, di waktu yang baik pula. sampai saat itu, kutitipkan hati ini untukmu. Sampai kau tahu, apa yang harus kau lakukan dengan titipanku itu.

Senin, Januari 17, 2011

Setelah Satu Dekade


Apa rasanya, tidak bertemu dengan segerombolan orang selama kurang lebih 10 tahun? Apalagi ketika segerombolan orang itu adalah mereka yang selalu mengisi hari-harimu selama 3 tahun di SMA? Rasanya pasti tidak tergambarkan.

Itu yang kurasakan beberapa saat lalu. Bertemu dengan segerombolan orang yang sempat mampir di kehidupanku, 10 tahun lalu. Sahabat-sahabat yang selama satu dekade terpisah jarak denganku, jiwa dan raga.

Tak banyak yang berubah sejak kami berpisah. Secara fisik, pasti. Ada yang menyempit, ada juga yang melebar, dan kebanyakan, sih, melebar. ^^
Mungkin berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan yah? Hihihihi.. Secara pemikiran, tentu banyak berubah. Lebih maju, lebih kritis, lebih bergaya, lebih berbudaya, lebih nyeleneh, lebih dewasa, lebih elegan, lebih segalanya...

Di balik semua yang 'lebih', satu yang tak berubah..Senyum-senyum itu, tawa lepas tanpa beban..Meski kadangkala beberapa lebih menjaga sikap, bahkan menjaga tawanya tak terpecah begitu saja. Ada yang masih malu-malu. Apalagi ketika berbicara 'aib' perbuatan masa lalu. Masa di mana semua tidak harus dipikirkan dua kali. Masa di mana perasaan lebih kuat dari logika. Kalau semua itu diungkapkan 10 tahun lalu, mungkin semua akan berbeda. Tapi, 10 tahun setelahnya, semua kejadian bahagia sampai yang memalukan, terukir manis di hati kami semua. Tak ada yang memalukan lagi, semuanya membahagiakan.

Satu dekade setelahnya, sekarang, kami bertemu lagi. Dengan beban, pergumulan, kebahagiaan dan intuisi masing-masing, yang jelas-jelas telah tergerus usia, tiba-tiba kami sukses bertemu. Instan. Tanpa banyak rencana. Memang, seperti kata banyak orang, yang tak terencana, bisa terjadi dengan mudahnya.

Bersama mereka, sebagian kecil dari mereka, sahabat-sahabat yang selalu menempati ruang di hati, beban hidup terasa sedikit lebih ringan. Gelak tawa dan nostalgia masa lalu, bahkan hingga dipaparkan hingga dini hari pun, tetap tak hentinya memancing senyum dan tawa. Yang tadinya aku berpikir sudah cukup tua untuk bergaul dan ngobrol hingga dini hari pun, akhirnya meyakini, aku tidak menua, bahkan terasa lebih muda. Hahahahaha..

Entah sampai kapan, seharusnya persahabatan ini terus terjaga. Jauh dari distorsi, jauh dari dengki dan benci. Karena 10 tahun lalu kita bertemu, lalu berpisah, dan satu dekade setelahnya kita bertemu, semua karena satu alasan. Dan semoga aku tak salah. Simply just because we need each other. Dan menemukan kalian kembali, menyempurnakan perjalanan hidup ini. Terima kasih.

:)

-Yetta-

Kamis, Januari 13, 2011

28


07.01.11

Hari itu..tepat usiaku 28 tahun. Sudah hampir seminggu merasakan usia 28 tahun. Duapuluh delapan. Angka genap dan sempurna, apalagi jika dijumlahkan, sepuluh. Duapuluh delapan tahun. Yang terucap hanya satu, terimakasih. Untuk nafas kehidupan, untuk berkat, untuk kesehatan, untuk banyak kesempatan, dan untuk duka dan airmata yang membuatku seperti sekarang, di usia 28 tahun. Tentu, semua terucap untuk Yang Punya Kuasa, Yang Empunya Kehidupan. Terimakasih...

Sekarang, tidak menuntut banyak..Hanya kesehatan, agar tubuh ini bisa terus melawan usia, bisa terus berbahagia dan tak menjadi lemah, meski usia menggerus terus-menerus. Setelah itu, umur yang panjang, agar bisa membahagiakan banyak orang. Itu saja. Aku ingin tubuh dan jiwa ini berbahagia, agar kelak, bisa membahagiakan banyak orang.

Pertanyaan selanjutnya, "Yakin cuma minta itu?" Maka jawabanku, "Enggak." Karena di usia 28 ini, aku sungguh-sungguh meminta untuk seseorang untuk menemaniku mewujudkan mimpi itu. Semoga, di usia 28 ini, Tuhan sudah cukup percaya dan mengutus seseorang untuk menemaniku di sisa usia yang entah tinggal berapa ini...Karena aku tidak hanya membutuhkan seseorang untuk menopangku ketika aku jatuh dan sendiri, terlebih lagi, aku membutuhkan seseorang untuk tertawa bersamaku ketika kelak aku berbahagia. Itu saja.

Selamat ulang tahun, Yetta.

"So you will live well and have a long life."
(Ef 6 : 3)

Rabu, Januari 05, 2011

Dua Nama


Kemarin malam, dihadapkan pada satu pertanyaan oleh seorang teman. Meski dalam konteks bercanda, pertanyaan itu sempat terngiang sampai sekarang, kira-kira 12 jam setelahnya. Begini isi pertanyaan itu. "Jadi, kau suka enggak sama dia?" Hmmm...reaksi pertama, tentu saja jawabanku, "Tidak." Karena memang tidak. Tapi setelah kupikir ulang, memang akhirnya, akupun tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. Karena jujur, sekarang aku sedang menghindari pertanyaan bahkan pernyataan seputar itu. Jenuh.

Di saat yang berbeda, ada pertanyaan lain, juga dari seorang teman. "Emangnya, kau sudah mulai berdoa minta pasangan hidup pada Tuhan?" Kujawab, "Sudah. Karena memang sudah waktunya." Kupikir hanya berhenti sampai di situ. Lantas, kali ini, dia mengeluarkan pernyataan, bukan pertanyaan. Katanya, "Kalau kau berdoa meminta pasangan hidup, dan kau sudah punya nama, siapa yang kau inginkan menjadi pasangan hidup, ucapkan nama itu di doamu." Menghindari topik melebar, waktu itu kuiyakan saja.

Tapi, setelah itu, pernyataan terakhir terus terngiang di kepala. Jadi, kuputuskan, aku akan mengucapkan nama-nama. Ya, nama-nama yang artinya plural. Lebih dari satu. Dua tepatnya. Karena memang saat ini, ada dua nama, dua lelaki yang dekat di hati. Salahkah?

Hmm..mungkin Tuhan pun bingung dan mungkin balik bertanya, "Maumu apa, Yetta? Tetapkan satu pilihanmu." Sialnya, kalau benar Tuhan bertanya seperti itu, aku belum punya jawabannya. Karena dua nama ini dekat di hatiku dengan cara mereka masing-masing. Dan benar, kuucapkan dua nama itu di dalam doaku siang dan malam sekarang. Berharap, jika Tuhan benar-benar merestui salah satu dari keduanya untuk menjadi jawaban, aku sudah siap. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Aku pun bukan siapa-siapa, bukan ratu sejagad yang layak memilih dan dipilih. Aku tahu diri. Bahkan, mungkin belum tentu dua nama ini memilihku kelak. Ha ha ha.

Tapi, sebagai bentuk iman percayaku, kubawa dua nama ini dalam doaku. Sambil meminta petunjuk Tuhan untuk hasil akhirnya. Apakah satu nama akan tereliminasi, atau bahkan dua-duanya? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Ini toh bukan yang pertama kali. Pernah, setahun lalu, aku mengucapkan sebuah nama di doaku, memohon petunjuk Tuhan, ke mana aku harus melangkah. Apa yang harus kulakukan? Apakah dia orangnya? Dan, Tuhan pun menjawab. Tepat seminggu setelah doa itu kuucapkan pertamakali, Tuhan bekerja. Jawabannya waktu itu, "Tidak." Meski setelah itu aku babak belur, fisik dan mental, dan perlu waktu lama untuk menerima keputusan Tuhan, tapi itulah jawabannya. Dan seperti juri di perlombaan-perlombaan, keputusan Tuhan mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. :)

Jadi, sekarang, saatnya mencoba mencetuskan nama baru. Dua nama baru tepatnya. Sesekali mungkin bisalah meringankan beban-Mu, ya Tuhan? Jadi, sengaja kupilihkan dua nama..Monggo, dipilih..Semoga kali ini, satu nama untuk selamanya ya, Tuhan....

Semoga... :)

Senin, Januari 03, 2011

Hati yang Baru...

Tahun ini, tidak ada resolusi berlebihan. entah kenapa, sedang tidak ingin bermuluk-muluk. Bukan pesimis karena takut ujungnya akan menyisakan kekecewaan, tapi hanya sedang tidak ingin saja. Ingin sederhana, ingin yang biasa saja. Intinya, hanya ini memulai tahun ini dengan benar. Itu yang kukutip dari khotbah pendeta di gerejaku di Minggu pertama tahun ini. Aku ingin memulai semuanya dengan benar kali ini....

Setulus hati, yang terlintas di pikiran ini ketika memasuki tahun baru hanya satu, SYUKUR. Setidaknya itulah kata yang bisa merangkum semua rasa. Sungguh bersyukur atas satu tahun lagi yang luar biasa mengesankan. Bukan hanya karena tiap berkat yang kuterima, tapi bahkan untuk setiap tetes airmata dan kekecewaan yang tercipta sepanjang tahun. Entah kenapa, tahun ini kututup dengan perasaan yang lega. Lega dan bersyukur. Memang sudah saatnya, menutup setiap luka, membalutnya, dan berharap akan ada obat hati yang ampuh. Dan aku menemukan obat itu, doa namanya. Aku tahu, aku pasti kuat. Kita semua pasti kuat. Di saat semua berperang melawanmu pun, tak yakinkah kau bahwa Tuhan ada bersamamu? Aku yakin. Meski mataku tak melihat. Aku tahu Dia ada berperang bersamaku, di garis terdepan. Dan aku punya doa untuk menyampaikan semuanya pada-Nya.

Meski ada doa-doa yang belum terjawab, meski ada rasa-rasa yang tertinggal, bagaimanapun aku menutup tahun 2010, dengan setitik harapan melegakan menghiasi hati. Terus terang, tahun 2010 adalah tahun berkat bagiku. Kalau dirinci, secara akal manusiawi pun, aku enggak akan bisa berada di posisi sekarang kalau bukan karena campur tangan Tuhan. Pekerjaanku yang baik, keluargaku yang penuh berkat, teman-teman yang luar biasa, menemani setiap hariku. Tahun 2010, banyak sekali kesempatan-kesempatan luar biasa yang tak pernah terpikirkan sekalipun. Semua kurasakan.

Miris, karena sepanjang tahun, bisa dihitung berapa kali aku berdoa dan bergereja. Dan itu bukan sesuatu yang kubanggakan, kok. Tapi, somehow, Tuhan punya rencana dan cara sendiri untuk selalu ada di dekatku. Di satu titik aku merasa perlu menundukkan kepala dan mengaku, aku tak lagi bersama-Nya. Aku meninggalkan-Nya. Tapi bahkan di saat bersamaan, aku disadarkan bahwa Dia tak pernah pergi, tak pernah beranjak selangkahpun dariku. Jadi, masa aku tidak melakukan apapun? Sampai kapan mau berlari? Lelah...

Karena itu, tahun ini, aku ingin memulai semuanya dengan benar. Sudah terlalu lama aku terlena, dan melenceng dari-Nya. Mengingatnya saja mengiris hati. Tapi sungguh, sekuat tenaga aku ingin menjadi lebih baik tahun ini. Aku ingin ucapanku, pikiranku, tindakanku menjadi berkat untuk banyak orang. Susah luar biasa, tapi aku tahu, aku harus membiasakan diri. Aku ingin jadi lebih benar. Aku ingin dipulihkan. Sungguh...

Banyak yang terlintas di pikiran untuk dijadikan resolusi tahun ini, tapi semua melayang begitu saja. Semua komitmen, fana. Yang nyata dan terasa hanya yang ada di hati ini, untuk menjadi lebih baik. Lebih dekat dan takut pada Tuhan. Dan kurasa, semua akan menyusul kemudian. Aku tahu, Tuhan tidak pernah tidur. God is on work. Aku tahu, kadang aku perlu keajaiban. Tapi, sungguh saat ini aku mengerti, bahkan keajaiban tak bisa datang instan. Pertolongan Tuhan datang segera, tidak terlambat dan tidak etrlalu cepat. Tuhan tahu apa yang kumau. Aku membiasakan diri untuk berseru pada-Nya siang dan malam. Dan pada saat-Nya nanti, aku tahu dan aku yakin, seruanku akan mendapatkan jawaban. Karena pada akhirnya, tidak ada yang tidak mungkin. Nothing is impossible. Aku tahu, Dia ada di setiap doa dan permohonanku. Sungguh aku tahu...

Sekarang, aku tak meminta lebih...Tak ada resolusi berlebihan..Hanya dua hal penting, untuk bisa menabung dan berhenti mengigiti kuku jariku..:) Selebihnya, Tuhan yang mencukupkan nanti...PASTI.. ^_^


Yetta

(03.01.11 ; 18.14, dari cubicle mungilku di kantor yang dingin ini, where magic things often happened..^^)