Jumat, November 19, 2010

"Sing Penting Sehat, Nduk...."


Namanya Mbah Martosuwidjo. Cucu-cucunya biasa memanggil dia dengan sebutan Mbah Marto. Pertama kali aku bertemu dengan Mbah sewaktu aku sedag liputan ke pengungsian korban Merapi di Pendopo kompleks Pemkab Klaten, Jawa Tengah. Di antara ribuan pengungsi yanga da, sosok si Mbah menarik perhatianku.
Alasan utamanya, sekilas setelah aku melihat beliau, sungguh sangat mengingatkanku dengan sosok Oppungku yang sudah meninggal dunia 11 tahun lalu. Mirip sekali..sungguh…Melihat Mbah Marto, seperti melihat Oppung ada di depanku lagi. :’)
Siang itu, 11/11, cuacanya super panas. Setelah berkeliling melihat kondisi pengungsian, aku bertemu dengan mbah Marto. Beliau, di usai senjanya, sedang "nongkrong", duduk-duduk santai di atas bak truk pasir. Truk berukuran besar yang tadinya dalah truk pengangkat pasir, terpaksa disulap jadi rumah Mbah selama di pengungsian.
Takjub melihat isi truk itu. Dari piring, ember, baju, sampai sepeda motor ada di dalamnya. Mbah Kakung, suami Mbah Marto sedang tidur siang di sana sewaktu aku menghampiri mereka.
Dengan luwes, Mbah marto bercerita soal pengalaman dia selama proses evakuasi. Aku, yang kemampuan berbahasa Jawa Kromo Hinggilnya masih pas-pas an, tadinya cemas enggak akan bisa berkomunikasi dengan si Mbah. Apalagi kebanyakan lansia di sana tidak bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Tapi Mbah Marto bisa. Dan aku sangat terbantu.
Beliau mulai bercerita. Bahwa di malam evakuasi, karena usianya yang sudah lanjut, beliau dan suami sempat tertinggal di Dusun Mbutuh, perbatasan Klaten-Yogyakarta. Di saat semua orang sudah mengungsi, beliau dan suami pun sempat tertinggal dan terpisah satu sama lain. Mbah harus berjuang sendiri menerobos kerumunan orang. Sewaktu evakuasi mulai berlangsung, waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Mbah Marto akhirnya baru benar-benar berkumpul dengan seluruh anggota keluarganya pukul 04.00 WIB keesokan harinya. Mendengar ceritanya dan menuliskannya kembali seperti ini saja, membuatku merinding. “Yow is lah, Nduk. Semua ya ora keruwan….,” katanya sambil mengingat kejadian malam itu.
Menurut Mbah, usianya sudah menginjak 70-an. Untuk ukuran usia lanjut, stamina Mbah dan Mbah Kakung sangat prima. Masih segar, masih fresh, tidak seperti berumur 70-an. Senyum pun tak pernah lepas dari wajahnya. Terutama waktu bercerita soal kegemarannya, menonton pertunjukan wayang. “Mbah suka sekali wayang. Mbah senang, tadi malam ada wayang-an di sini. Senang,” ujarnya sambil tertawa. Dia tertawa, aku mewek… 
Oh iya, Mbah punya enam anak. Tiga perempuan dan tiga lelaki, semua sudah berkeluarga. Tiga dari enam anaknya pun ikut mengungsi di tempat yang sama.
Selesai pertemuan kami hari pertama, Mbah sempat ngomong, “Doakan ya Nduk, biar Mbah dan keluarga selamat-selamat.” Lagi-lagi, aku mewek. Cengeng memang, tapi sungguh, paras Mbah membuatku sangat iba sekaligus bahagia di waktu yang bersamaan.
Kali kedua kami bertemu, sebenarnya tidak sengaja. Aku pikir, Mbah sudah tidak ada di pengungsian. Tapi ternyata beliau masih di sana dengan nyamannya. Di truk pasir miliknya. “Mbah belum mau pulang sebelum ada perintah dari Pak Lurah. Kan bahaya,” katanya ketika kutanya. Di saat dia berkata seperti itu, sebenarnya ratusan pengungsi di tempat itu sudah pulang ke rumah masing-masing. Tapi Mbah patuh pada Lurahnya. Siang itu kami bertemu di bawah pohon, di saat Mbah sedang menggelar tikar di samping truknya, ngaso di siang hari. “Panas'e, nduk..Mbah mau tidur-tiduran di luar saja. Adem.”
Kami pun sempat mengobrol sebentar. Sampai ada keputusan bahwa Mbah akan pulang keesokan harinya, karena memang sudah ada instruksi dari pemerintah setempat. “Wah, Mbah mau pulang, Nduk. Senangnya, sudah 15 hari belum pulang. Omah'e yo wis ora keruwan mesti,” kata Mbah. Tak sekalipun, selama mengungsi, Mbah pulang ke rumahnya. Hanya Mbah Kakung yang sesekali masih pulang melihat kondisi rumah. Tapi Mbah Marto, belum.
Jadi, keesokan harinya, aku berjanji akan datang dan ngikut Mbah pulang ke desanya. Sekalian untuk berita foto yang bagus, pasti. Pagi hari, Mbah sudah bersiap pulang. Semua barang-barang sudah dikemas. Atap darurat yang terbuat dari terpal plastik di atas bak pasir pun sudah diturunkan. Tadinya rasanya enggak tega kalau harus melihat Mbah pulang dengan truk. Untungnya, seorang putranya menjemput Mbah dengan mobil. “Udah sarapan, Nduk? Mbah buatkan sarapan ya?” tanya Mbah. Hebat, di saat seperti itupun dia masih ingat untuk bersikap ramah. Tentu saja dengan halus aku menolak. Malu rasanya mau bercerita, kalau aku baru saja menghabiskan sarapan buffet mewah di hotel berbintang, sementara pagi itu, Mbah hanya sarapan nasi goreng yang lembek, tanpa topping, tanpa telor ceplok di atasnya. 
Singkat cerita, kami bertemu lagi dengan Mbah di rumahnya. Karena harus mampir dulu ke dusun lain untuk liputan, aku terlambat tiba di rumah Mbah. Ketika melihat beliau di ujung jalan rumahnya, aku bersemangat sekali. “Mbaaaah!,” aku sedikit berteriak. Saat itu dia sedang membersihkan debu di teras rumahnya. “Nduuuuk…sini-siniiiii,” ujar Mbah.
Waah, ternyata rumah Mbah besar sekali. Tapi semua tertutup debu tebal. Semua masih dalam posisi sama. Gelas-gelas bertebaran, persis di posisi yang sama dengans ebelum hiruk-pikuk evakuasi. “Oalah, Nduk..ini seminggu juga ndak cukup buat ngeresik’ke..sini, Mbah ajak ke belakang.” Di belakang, ada ruangan khusus Mbah memproduksi tempe. Periuk-periuk wadah berisi sari kedelai yang membusuk pun masih ada di sana. Di halaman belakang, ada kelapa yang sudah sempat dipanen. “Mau bawa?” kata Mbah sambil tersenyum.
Di depan rumah, Mbah punya banyak tanaman, dari manggis sampai kelapa. Tapi karena tertutup debu vulkanik, semua gagal panen. Tapi, dengan senyum Mbah menjawab, “Nanti dimulai lagi lah, pelan-pelan, yo?”
Kami sempat mengobrol beberapa lama. Tapi karena waktu dan agenda liputan lain yang masih menunggu, aku tidak bisa berbicara lebih lama lagi dengan Mbah. Di ujung pertemuan, beliau berujar, “Matur nuwun yah nduk, udah mampir ke rumah Mbah. Doakan ya..” Dengan mata berkaca-kaca, aku langsung memeluk dan mencium Mbah..sedih sekali rasanya…Tapi konyol kalau sampai Mbah melihat aku menangis. Dia saja, korban musibah, masih tegar dan tersenyum tulus.
Dari jauh, aku masih melihat dia, masih sibuk perlahan membersihkan rumahnya….Wanita itu, yang baru kukenal, tapi sudah mencuri hatiku. Wanita yang seharusnya di usia tuanya hanya tinggal menikmati kebahagiaan, tapi tetap harus waspada 24 jam, menghadapi amukan Merapi.
Sebenarnya lokasi rumah Mbah yang berjarak di radius 13 km dari merapi tadinya cukup aman. Bahkan di malam evakuasi, rumah Mbah malah jadi tempat pengungsian saudara-saudaranya yang lain. Tapi kali ini, amukan Merapi yang membabi buta harus membuat Mbah Marto berjibaku menyelamatkan nyawanya. Anugerah, karena desa lain, yang berjarak kurang lebih 3 km dari rumah Mbah, sudah rata dengan tanah dan terbakar hangus.
Sore, aku kembali ke hotel. Karena habis dilanda debu, aku langsung menuju kamar mandi. Tapi justru ketika air hangat itu mengalir membilas badan, saat itu pula sosok Mbah Marto muncul di pikiranku. Ketika aku bisa mandi dengan air hangat berlimpah, sementara di sana, air saja masih bercampur debu vulkanik. Sedih…. 
Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain berdoa, semoga Mbah tetap selamat..tetap sehat di usia tuanya. Tetap bertenaga mengerjalan ladang tanaman, membuat tempe, dan menemani Mbah Kakung. Semoga ia tetap bahagia di tengah keluarganya, bahkan di tengah amukan Merapi sekalipun. “Sing penting sehat, yo, Nduk..,” begitu aku mengingat pesan terakhir Mbah.
Aku berdoa, semoga suatu saat bisa bertemu lagi dengan beliau. Di depan teras rumahnya yang sudah bersih, dengan sajian hasil panen dari ladang beliau. Kelak. Sehat-sehat ya Mbaaaah….. :’)
-YETTA-