Rabu, Juli 17, 2013

Hari Itu, di Père Lachaise Cemetery…




Saya sangat ingin menikmati kesunyian saat ini. Sekarang semua terlalu “bersuara”, mengganggu telinga..Terlalu riuh, terlalu ricuh…

Saya ingat beberapa bulan lalu, saya menginjakkan kaki di kota Paris. Di saat semua orang berlomba mengabadikan foto di Menara Eiffel (yang juga saya lakukan), saya dan rekan seperjalanan saya memutuskan untuk mengunjungi pemakaman. Bayangkan, kami menempuh perjalanan dari Jakarta ribuan kilometer jauhnya, dan kami memutuskan untuk datang dan berkunjung ke pemakaman.

Père Lachaise Cemetery namanya. Penduduk asli Prancis akan menyebutnya Cimetière du Père Lachaise. Pemakaman ini adalah salah satu pemakaman paling luas di kota Paris, memakan lahan seluas 44 hektar.
Jangan langsung membayangkan pemakaman di Indonesia, yang seringkali lebih menonjolkan unsur kengerian. Bukan tidak nasionalis, hanya saja saya pikir bangsa Barat lebih memahami konsep pemakaman sebagai memorial, tempat mengingat dan mengenang kehidupan sesorang dengan cara yang baik, bukan dengan menakut-nakuti dengan cerita dan atmosfer super seram.

Père Lachaise Cemetery berada di 20th arrondissement. Mungkin kalau di Indonesia, arrondissement itu seperti kecamatan, lah.  Di Paris, “kecamatan” itu diberi julukan arrondissement. Di Paris, terdapat 20 arrondissement.

Tak sulit menemukan lokasi Père Lachaise Cemetery. Saking luasnya, pemakaman ini memang bisa diakses dari beberapa pintu masuk yang langsung terkoneksi dengan jaringan transportasi, terutama Paris Métro (kereta api bawah tanah-nya Paris). Saat itu kami memutuskan untuk turun di stasiun Père Lachaise dan berjalan kaki sekitar 500 meter menuju pintu masuk Père Lachaise Cemetery.

Saat memasuki gerbang pemakaman, memang kesan misterius dan “gelap” langsung terasa. Tapi tidak menyeramkan. Untungnya saat itu tengah musim gugur. Pepohonan sedang indah-indahnya berhiaskan dedaunan berwarna cokelat keemasan dan satu per satu daun-daun itu lepas dari rantingnya saat angin kencang berhembus. Pas. Pemandangan yang sempurna.

Pemakaman ini terlalu luas untuk sekedar dijelajahi tanpa arah. Karena itu, di setiap sudut terdapat peta yang bisa mengarahkan pengunjung. Saat melihat daftar pemakaman, jangan heran, karena banyak nama tersohor yang dimakamkan di sini. Pemakaman ini seakan menjadi saksi keagungan Prancis selama 200 tahun belakangan. Nama-nama hebat yang tertera di daftar nisan membuat saya terkagum-kagum. Seumur hidup, belum pernah saya setakjub itu saat mengunjungi pemakaman.

Mereka yang dimakamkan di Père Lachaise Cemetery adalah orang-orang yang secara langsung atau tidak langsung memberi warna dan kontribusi terhadap Prancis dan dunia. Dari penyair, pahlawan perang, politikus hingga rocker. Semua terbaring damai di pemakaman yang kabarnya memuat nyaris satu juta nisan.


Saya memandangi satu per satu nisan yang saya lewati. Tak ada rasa takut, malah damai. Tepat di saat itu, konsep saya tentang kematian berubah 180 derajat. Kalau di pemakaman di dunia saja bisa terasa indah seperti ini, bagaimana nanti “di alam sana”? Entah kenapa, saya yakin, "di sana" nanti tidak mungkin lebih buruk dari ini.




Sesekali saya berhenti di nisan yang sepertinya baru saja dikunjungi. Di sana-sini masih terlihat bunga segar di sekitar nisan. Nisan-nisan dan pemakaman yang ada di sini pun tidak biasa-biasa saja. Kebanyakan dari mereka dibangun dengan megah, bahkan ada yang bak istana. Tapi entah kenapa, tidak terkesan berlebihan. 
Mungkin karena selera bangsa Eropa yang sangat artistik.

Saya tiba di salah satu makam paling penting di Père Lachaise Cemetery. Tak susah menemukan makam ini saat itu. Dari kejauhan saya sudah mendengar sayup-sayup musik mengalun. Saat itu saya tahu, saya telah menemukan makam Jim Morrison, pentolan grup band The Doors yang tersohor itu. Jim Morrison sebenarnya asli Amerika Serikat. Namun ia meninggal dunia di Paris pada 3 Juli 1071 di usia 27 tahun dan dimakamkan di sini.


Saat saya tiba di sana, seorang fans fanatiknya mencuri perhatian saya. Dia, pria itu, yang memasang musik The Doors saat itu. Berbekal ipod dan ipod dock, dia memutar lagu-lagu The Doors sambil menghembuskan gelembung-gelembung sabun di sekitar makam sang idola. Saya yakin, pria itu sangat mencintai karya-karya Jim Morrison. Ia tak peduli banyak orang memandanginya dengan raut penuh tanda tanya. Ia ikut bernyanyi melantunkan lagu demi lagu sambil terus menghembuskan gelembung-gelembung ke udara. Mendengar suara Jim Morrison bernyanyi tepat di depan makamnya saat itu, bulu kuduk saya berdiri. Bukan karena takut, tapi saya (lagi-lagi) takjub.

Sayang, sudah beberapa tahun belakangan ini makam Jim Morrison harus dipagari dengan pagar-pagar besi, berbeda dengan makam lainnya. Maklum, keluarga ingin melindungi makam Jim dari sejumlah ritual “aneh” dan vandalisme berlebihan dari penggemar fanatiknya.

Jim Morrison bukanlah satu-satunya pesohor yang dimakamkan di Père Lachaise Cemetery. Ada Frédéric Chopin, sang komposer terkenal itu. Ada pula makam Oscar Wilde, pujangga kenamaan dunia, dan ribuan makam lain.

Berat rasanya melangkahkan kaki keluar dari Père Lachaise Cemetery. Saya belum pernah mengunjungi pemakaman lain di luar Indonesia. Ini baru kali pertama. Tapi entah kenapa, saya rasa akan sulit mengimbangi keindahan Père Lachaise Cemetery. Perjalanan singkat saya ke Père Lachaise Cemetery mengajarkan saya banyak hal. Tentang kehidupan dan tentang kematian. Tentang kenangan, tentang legacy, tentang warisan. Tentang ketenangan, tentang “berhenti” sejenak dari hiruk-pikuk dunia dan bersyukur. Tentang melapangkan hati, tentang menenangkan jiwa, tentang nostalgia.

Dan yang terpenting, tentang ikhlas…