Saya sangat ingin menikmati kesunyian saat ini. Sekarang semua
terlalu “bersuara”, mengganggu telinga..Terlalu riuh, terlalu ricuh…
Saya ingat beberapa bulan lalu, saya menginjakkan kaki di
kota Paris. Di saat semua orang berlomba mengabadikan foto di Menara Eiffel (yang
juga saya lakukan), saya dan rekan seperjalanan saya memutuskan untuk mengunjungi
pemakaman. Bayangkan, kami menempuh perjalanan dari Jakarta ribuan kilometer
jauhnya, dan kami memutuskan untuk datang dan berkunjung ke pemakaman.
Père Lachaise Cemetery namanya. Penduduk asli Prancis akan
menyebutnya Cimetière du Père Lachaise. Pemakaman ini adalah salah satu pemakaman
paling luas di kota Paris, memakan lahan seluas 44 hektar.
Jangan langsung membayangkan pemakaman di Indonesia, yang
seringkali lebih menonjolkan unsur kengerian. Bukan tidak nasionalis, hanya
saja saya pikir bangsa Barat lebih memahami konsep pemakaman sebagai memorial, tempat
mengingat dan mengenang kehidupan sesorang dengan cara yang baik, bukan dengan
menakut-nakuti dengan cerita dan atmosfer super seram.
Père Lachaise Cemetery berada di 20th arrondissement. Mungkin
kalau di Indonesia, arrondissement itu seperti kecamatan, lah. Di Paris, “kecamatan” itu diberi julukan
arrondissement. Di Paris, terdapat 20 arrondissement.
Tak sulit menemukan lokasi Père Lachaise Cemetery. Saking
luasnya, pemakaman ini memang bisa diakses dari beberapa pintu masuk yang
langsung terkoneksi dengan jaringan transportasi, terutama Paris Métro (kereta
api bawah tanah-nya Paris). Saat itu kami memutuskan untuk turun di stasiun Père
Lachaise dan berjalan kaki sekitar 500 meter menuju pintu masuk Père Lachaise
Cemetery.
Saat memasuki gerbang pemakaman, memang kesan misterius dan “gelap”
langsung terasa. Tapi tidak menyeramkan. Untungnya saat itu tengah musim gugur.
Pepohonan sedang indah-indahnya berhiaskan dedaunan berwarna cokelat keemasan
dan satu per satu daun-daun itu lepas dari rantingnya saat angin kencang
berhembus. Pas. Pemandangan yang sempurna.
Pemakaman ini terlalu luas untuk sekedar dijelajahi tanpa
arah. Karena itu, di setiap sudut terdapat peta yang bisa mengarahkan
pengunjung. Saat melihat daftar pemakaman, jangan heran, karena banyak nama
tersohor yang dimakamkan di sini. Pemakaman ini seakan menjadi saksi keagungan
Prancis selama 200 tahun belakangan. Nama-nama hebat yang tertera di daftar
nisan membuat saya terkagum-kagum. Seumur hidup, belum pernah saya setakjub itu
saat mengunjungi pemakaman.
Mereka yang dimakamkan di Père Lachaise Cemetery adalah
orang-orang yang secara langsung atau tidak langsung memberi warna dan kontribusi
terhadap Prancis dan dunia. Dari penyair, pahlawan perang, politikus hingga
rocker. Semua terbaring damai di pemakaman yang kabarnya memuat nyaris satu
juta nisan.
Saya memandangi satu per satu nisan yang saya lewati. Tak ada rasa takut, malah damai. Tepat di saat itu, konsep saya tentang kematian berubah 180 derajat. Kalau di pemakaman di dunia saja bisa terasa indah seperti ini, bagaimana nanti “di alam sana”? Entah kenapa, saya yakin, "di sana" nanti tidak mungkin lebih buruk dari ini.
Sesekali saya berhenti di nisan yang sepertinya baru saja
dikunjungi. Di sana-sini masih terlihat bunga segar di sekitar nisan.
Nisan-nisan dan pemakaman yang ada di sini pun tidak biasa-biasa saja.
Kebanyakan dari mereka dibangun dengan megah, bahkan ada yang bak istana. Tapi entah
kenapa, tidak terkesan berlebihan.
Mungkin karena selera bangsa Eropa yang
sangat artistik.
Saya tiba di salah satu makam paling penting di Père
Lachaise Cemetery. Tak susah menemukan makam ini saat itu. Dari kejauhan saya
sudah mendengar sayup-sayup musik mengalun. Saat itu saya tahu, saya telah
menemukan makam Jim Morrison, pentolan grup band The Doors yang tersohor itu. Jim
Morrison sebenarnya asli Amerika Serikat. Namun ia meninggal dunia di Paris
pada 3 Juli 1071 di usia 27 tahun dan dimakamkan di sini.
Saat saya tiba di sana, seorang fans fanatiknya mencuri
perhatian saya. Dia, pria itu, yang memasang musik The Doors saat itu. Berbekal
ipod dan ipod dock, dia memutar lagu-lagu The Doors sambil menghembuskan
gelembung-gelembung sabun di sekitar makam sang idola. Saya yakin, pria itu
sangat mencintai karya-karya Jim Morrison. Ia tak peduli banyak orang
memandanginya dengan raut penuh tanda tanya. Ia ikut bernyanyi melantunkan lagu
demi lagu sambil terus menghembuskan gelembung-gelembung ke udara. Mendengar
suara Jim Morrison bernyanyi tepat di depan makamnya saat itu, bulu kuduk saya
berdiri. Bukan karena takut, tapi saya (lagi-lagi) takjub.
Sayang, sudah beberapa tahun belakangan ini makam Jim
Morrison harus dipagari dengan pagar-pagar besi, berbeda dengan makam lainnya.
Maklum, keluarga ingin melindungi makam Jim dari sejumlah ritual “aneh” dan vandalisme
berlebihan dari penggemar fanatiknya.
Jim Morrison bukanlah satu-satunya pesohor yang dimakamkan
di Père Lachaise Cemetery. Ada Frédéric Chopin, sang komposer terkenal itu. Ada
pula makam Oscar Wilde, pujangga kenamaan dunia, dan ribuan makam lain.
Berat rasanya melangkahkan kaki keluar dari Père Lachaise
Cemetery. Saya belum pernah mengunjungi pemakaman lain di luar Indonesia. Ini
baru kali pertama. Tapi entah kenapa, saya rasa akan sulit mengimbangi
keindahan Père Lachaise Cemetery. Perjalanan singkat saya ke Père Lachaise
Cemetery mengajarkan saya banyak hal. Tentang kehidupan dan tentang kematian. Tentang
kenangan, tentang legacy, tentang warisan. Tentang ketenangan, tentang “berhenti”
sejenak dari hiruk-pikuk dunia dan bersyukur. Tentang melapangkan hati, tentang
menenangkan jiwa, tentang nostalgia.
Dan yang terpenting, tentang ikhlas…
0 komentar:
Posting Komentar