Kamis, Oktober 24, 2013

Aku dan Hujan

Hujan selalu mengingatkanku padanya. Selalu. Seperti sore ini, saat hujan turun mendera tanpa ampun membasahi tanah ibukota ini, aku mengingatnya. Mengingat suatu sore serupa di sebelah utara Jogjakarta. Sore itu, aku bersamanya. Tak kuingat persis berapa tahun sudah berlalu sejak sore itu. Mungkin sepuluh tahun lalu. Tapi sore itu istimewa, karena aku bersamanya, lelakiku.

Konyol memang, apa yang dilakukannya padaku sore itu. Tapi entah kenapa, setiap hujan turun, kejadian konyol itu yang selalu kuingat. Sore itu, dia, lelaki yang menghiasi hari dan hatiku bertahun-tahun lalu itu, terjebak hujan lebat. Dan dia pun terjebak denganku dan dengan hujan. Tapi diam-diam, aku berterimakasih pada hujan, sudah menjebakku dan menambahkan atmosfer sempurna sore itu. Bahkan rasanya, settingan sinetron pun kalah indah dengan yang kami alami sore itu.

Hujan deras, tapi kami harus pulang. Belum ada sepeda motor, belum ada mobil. Uang di saku hanya cukup membawa kami pulang dengan becak. Apa boleh buat, daripada terjebak dengan air hujan yang tak kunjung berhenti, ditambah dingin yang semakin menusuk tulang, kami memutuskan untuk menaiki becak. Baru saja berpikir tentang becak, sebuah becak lewat. Dengan baik hati bapak pengemudi becak yang sudah tua renta itu berhenti dan bersedia membawa kami berdua. Aku dan dia.

Tapi kondisi jalan yang basah, jarak pandang yang terbatas, membuat pengendara becak yang sudah renta itu terlihat kesulitan meminggirkan becaknya. Ketika akhirnya dia berhasil menepikan becaknya, kami berdua berusaha menaiki becak dengan susah payah. Saat itulah kejadian konyol itu terjadi. Saat kami berdua serentak menaiki becak, entah bagaimana dan apa yang terjadi, becak itu seketika terbalik!

Sungguh aku tak berbohong. Becak itu terbalik dan menimpa kami berdua! Untung, karena tak seluruh beban becak menimpa tubuh kami. Dan saat itu hujan masih turun dengan lebatnya. Terduduk di sana, di pinggir jalan raya di sudut utara kota Jogja, dengan becak menimpa kami. Kulihat wajahnya yang berada di sampingku yang terlihat panik melihat becak menimpa tubuh kami. Tak hentinya dia berteriak padaku berulang-ulang menanyakan apakah aku baik-baik saja.

Reaksi pertamaku tentu saja malu dan mau marah, tapi kulihat wajahnya, wajah lelakiku itu, tak bisa kupikirkan hal lain yang harus kulakukan selain tertawa. Menertawakan kami, menertawakan becak yang menimpa tubuhku, menertawakan hujan yang tak kunjung reda, menertawakan pengguna jalan lain yang juga terheran-heran melihat kami. Tapi yang terutama, aku ingin menertawakan momen itu, dengannya. Kembali aku memandangnya dengan senyum. Aku tahu saat itu dia bisa membaca pikiranku yang berkata, "Aku enggak apa-apa. Kita lucu sekali". Aku benar, karena dia pun langsung tertawa usai melihat wajahku. Kami puas tertawa sore itu meninggalkan bapak pengendara becak yang kebingungan.

Akhirnya becak itu diangkat dari tubuh kami. Lelakiku memapahku berdiri. Saat benar-benar kakiku menjejak tanah, aku mendongak dan melihat wajahnya sekali lagi yang ada persis di hadapanku. Kuberikan senyum terbaikku padanya. Hatiku berkata saat itu, "Aku mencintai lelaki ini". Walau tak kuucapkan. Dia, lelakiku ini, tahu persis cara kerja tubuh dan pikiranku. Jadi aku tahu, sore itu, dia tahu apa yang kupikirkan. Dia merentangkan tangannya dan langsung memelukku. Hujan boleh saja terus mendera tubuhku, dingin tak berhenti menusuk kulitku, tapi dalam pelukannya, tak ada yang lain selain kehangatan. Meski sedetik kemudian dia melepaskan pelukannya karena menyadari bapak pengendara becak kami sudah memperbaiki becaknya untuk dapat kami naiki.

Akhirnya kami duduk di becak itu. Berdua, kami berhimpitan di dalam becak. Dia merangkulkan lengannya melingkar di punggungku, seperti menjagaku untuk tetap nyaman dan hangat. Kami berdua basah kuyup, tapi dingin tak kurasakan lagi. Semua berganti hangat. Kusandarkan kepala ini ke dadanya sambil menunggu bapak pengendara becak menutup terpal plastik di hadapan kami agar terhindar dari terpaan hujan dari bagian depan.

Aku tahu, pastilah rupaku tak karuan sore itu. Basah kuyup, plus bibir yang nyaris membiru karena kedinginan. Tapi aku tak berhenti tersenyum sembunyi-sembunyi sambil terus menempelkan kepala dan wajah ini di dadanya seakan mencari perlindungan. Tak sekalipun aku berkata-kata sore itu. Aku aman di pelukannya, di antara lengan dan bahunya yang kokoh. Aku aman.

"Kau enggak apa-apa?," tanyanya lagi sambil memandang wajahku. Aku mendongak dan menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. Saat itulah dia menatapku tajam dan tiba-tiba mendaratkan kecupan di keningku. Lelakiku, lelaki paling tidak romantis di dunia ini, sore itu meluluhkan hatiku. Setelah itu dia tak berkata apa-apa lagi sampai kami tiba di tujuan. Tak sekalipun dia melonggarkan pelukannya, dan tak sekalipun pula aku melepaskan kepalaku dari dadanya. Rasanya, aku ingin selamanya ada di dalam becak itu.

Di tengah hujan, di bilik becak yang sempit itu, aku menemukan kebahagiaan seluas samudera. Saat itu aku tahu, lelaki ini pun mengasihiku. Tak perlu kata-kata puitis dan romantis atau seikat bunga mawar. Hanya pelukan erat tanpa henti dan satu kecupan, dia sudah melakukan segalanya.

Karena itulah aku selalu mengingatnya, mengingat lelakiku setiap hujan turun. Di belahan bumi manapun aku berpijak, setiap hujan turun, pikiran ini langsung bertolak ke sore itu, di pinggir Ring Road Utara Jogjakarta yang diterpa hujan deras. Meskipun sekarang sudah lima tahun berlalu sejak kami sepakat mengakhiri kisah sewindu yang kami lewati, meski kini aku tak lagi berbicara dengannya, tak lagi tahu bagaimana keadaannya, meskipun dia sudah berbahagia dengan istri dan anaknya. Meskipun aku tetap di sini, sendiri. Tapi setiap hujan turun, aku akan selalu mengingat sore itu.

Sore terbaikku dengan lelakiku kala itu...

Karena itulah, aku selalu suka hujan...