Rabu, November 09, 2011

Sudah Selesai, Pak....

Sebulan lalu, adik bungsuku, Apriginta namanya, akhirnya menyelesaikan kuliahnya. Lewat ujian pendadaran terakhir, akhirnya dia lulus dan resmi menyandang gelar Sarjana Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tak lama setelah aku menerima kabar kelulusannya, aku langsung mengirim pesan pendek ke Bapak. Begini isinya, "Ginta sudah lulus, Pak. Tugas Bapak udah selesai. Kami semua sudah jadi Sarjana, ya. Selamat, ya, Pak." Pesan itu tak pernah dibalas Bapak, karena aku yakin, saat membacanya, dia sangat bahagia sampai lupa membalas. :)

Ginta, adik bungsuku itu, adalah anak terakhir Bapak dan Mama yang menyelesaikan pendidikannya. Aku anak sulung dari tiga bersaudara. Aku menyelesaikan pendidikanku tahun 2005, lulus sebagai Sarjana Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Manda, adik lelakiku, lulus tahun 2007 sebagai Sarjana Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Untuk Bapak, pendidikan nomor satu. Dari dulu aku sudah merasakan itu. Bapak, bersama Mama selalu berusaha memberikan pendidikan yang baik dan benar untuk kami semua. Tidak diktator, karena dia tidak pernah memaksakan kehendak. Aku ingat sekali, ketika kami semua menyelesaikan kelas 2 SMA, yang berarti harus memutuskan untuk melanjutkan ke jurusan IPA atau IPS, Bapak sangat lapang dada menerima keputusan kami. Saat itu, di masanya masing-masing, aku dan kedua adikku diterima di jurusan IPA. Tapi, kami bertiga memutuskan untuk memilih IPS, karena ke sanalah hasrat kami tertuju. Bapak, yang terlihat jelas menginginkan kami semua masuk jurusan IPA, menyetujui pilihan kami. Tapi, tiap kali diam dan terlihat merenung, aku bisa membaca jelas, betapa dia sangat menginginkan anaknya masuk jurusan IPA. Tapi, dia membebaskan kami semua untuk memilih.

Bapak tidak datang dari keluarga yang mampu. Dia hanya mampu menyelesaikan sekolahnya hingga SMA di pelosok kampung di Saribu Dolok, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Selepas SMA, Bapak langsung bekerja. Bekerja apa saja. Bapak sempat merantau ke Jakarta dan menjadi kondektur Metro Mini kala itu, tahun 70-an. Sampai kesempatan untuk mendaftar menjadi Pegawai Negeri Sipil di Medan diterimanya. Sejak itu, Bapak merintis karier sebagai abdi negara. Sepanjang ingatanku, tak pernah satu haripun Bapak melewatkan kewajbannya bekerja. Kecuali dia benar-benar sakit. Sebegitu berdedikasinya lah Bapak dengan negara ini. Dia memulai dari PNS biasa, sampai akhirnya berhenti di jabatan Eselon 1 bergolongan IV D, 30 tahun setelahnya.

Bapak baru berkesempatan melanjutkan kuliah ketika aku dan Manda sudah lahir. Aku ingat sekali, dari foto-foto yang ada di album foto keluarga, ketika Bapak diwisuda S-1. Mama masih cantik sekali waktu itu, datang dengan rok pendek dan blazer cokelat muda, rambut diikat setengah. Aku berdandan lengkap, dengan dress pendek bermotif tartan hitam-merah, plus dasi kupu-kupu merah dan rambut keritingku. Ha ha ha. Manda datang dengan seragam ABRI lengkap dengan topi tentara yang kala itu jadi tren. Oppung juga datang waktu itu. Semua masih lengkap. Aku ingat, foto bersama dengan Bapak memakai toga. Aku lupa tahun berapa, tapi sepertinya waktu itu aku masih berumur 4 atau 5 tahun. Hari itu bersejarah sekali, karena Bapak kami jadi sarjana. Walau kami belum mengerti.
Sekarang, sekitar 25 tahun setelahnya, aku mengenang hari itu dengan bangga.


Berbeda dengan Bapak, Mama datang dari keluarga menengah. Mama menyelesaikan kuliah diploma nya dan mendapat gelar BA dari Ilmu Keguruan, waktu itu masih disebut IKIP. Ketika menikah pun, dia sudah bergelar BA. Karena itu, secara intelejensia, kami banyak terbentuk dari didikan Mama. Belasan tahun setelahnya, sekitar tahun 2004 atau 2005, aku kurang ingat pasti, Mama akhirnya bersekolah lagi, meneruskan ke Strata 1, dan dia berhasil. Di umurnya yang sudah kepala 5, Mama kembali ke kampus dan merampungkan kuliahnya. Jadilah dia bergelar Sarjana Pendidikan. Ketika hari bersejarah itu tiba, hari wisuda nya, tak satupun dari kami, anak-anaknya, yang datang. Kami semua berada jauh dari Mama, karena harus menyelesaikan pendidikan kami. Tapi dari foto, melihatnya berkebaya dengan toga, rasanya bangga sekali, sekaligus sedih, karena tidak bisa ada di sana bersama dia.

Setelah itu, tentu wisuda berikutnya adalah wisudaku. Hari itu, Bapak dan Mama datang dari Medan. Bapak terlihat gagah dengan jas lengkap dengan dasi yang senada dengan kemeja. Waktu itu aku sempat bertanya pada Bapak, kenapa tidak memakai batik saja, karena Jogja panasnya bukan kepalang. Dengan lantang Bapak menjawab. "Ini kan acara penting, formal. masa pakai batik? Ada-ada saja kau. Ya pakai jas lah." Dan dia benar, karena Bapak terlihat paling gagah dari semua bapak-bapak yang datang hari itu. Mama yang sehari-hari jarang berdandan, hari itu memulas wajahnya dengan cantik. Berkebaya biru dan berkain panjang, dia jalan di sampingku.
Sesampainya di kampus, setiap 10 meter kami harus berhenti karena Bapak selalu ingin difoto oleh tukang foto keliling yang cetakan fotonya bisa diambil selesai acara.
Ha ha ha. Aku menuruti keinginan dia. Memasang senyum dan berhenti untuk berpose setiap 10 meter. Karena aku tahu, itulah ungkapan kebahagian Bapak.

Ketika tiba hari wisuda Manda, adikku, Bapak dan Mama juga datang dengan rapi. Berjas dan berkebaya lengkap. Tak berkurang rasa bangga yang kulihat di raut wajahnya, sejak terakhir kali datang ke wisudaku. Dia bangga sekali. Mama pun terlihat sama. Dua anaknya sudah berhasil menyelesaikan pendidikan. Tugasnya hampir selesai.

Kini, 4 tahun setelahnya, tugasnya benar-benar sudah selesai. Tugasnya mengantarkan kami bertiga menjadi sarjana, sudah selesai. Aku menulis tulisan ini 3 minggu menjelang hari bersejarah itu. Hari di mana Bapak akan menghadiri wisuda Ginta. Kemarin, lewat pembicaraan di telepon, aku sempat bercanda dengan Bapak. "Bapak pakai kemeja yang mana nanti waktu wisuda? Yang kemaren aja, yang Bapak pakai waktu kita foto keluarga, yang ungu. Bagus kok itu." Eh, dia menjawab, "Ngapain pakai yang lama? Yang baru lah. Nanti beli di Jogja. Yang lama gak usah dipakai lagi." Ha ha ha. Sudah bersemangat sekali dia, Bapakku itu.

Tiga minggu sebelum hari itu, semua sudah selesai dipersiapkan. Tiket pesawat, sampai agenda di Jogja nanti. Dengan senang hati aku mengurus semua keperluan Bapak dan Mama. Karena saat itu nanti, sekali lagi aku akan berkata pada Bapak,
"Sudah selesai, Pak. Kami semua sudah sarjana.......Terimakasih....."


Dan aku berdoa Pak, Ma...ini bukan wisuda terakhir yang akan kalian hadiri. Semoga akan banyak wisuda-wisuda yang lain. Karena mimpi kami masih terus berjalan. Mimpi untuk bersekolah setinggi mungkin. Karena itu, berjanjilah untuk selalu sehat, Pak, Ma..Karena aku, Manda dan Ginta ingin tetap berjalan bersama kalian, beriringan menghadiri wisuda-wisuda kami selanjutnya....



Kelak...

Kamis, November 03, 2011

k a l a h

sudah hampir 2 tahun aku bergelut dengan rasa ini. rasa yg awalnya bahkan tidak ingin kumulai. dan memang tidak kumulai. karena terlalu banyak akumulasi luka hati, yg seharusnya membuatku belajar satu hal, untuk tidak pernah memercayai 'rasa'. tapi, di satu titik, akhirnya aku luluh. sedikit demi sedikit kubuka hatiku. tidak berharap bnyak, hnya mencoba membuka diri saja.

yang kurasa, kau perlahan namun pasti sukses melakukannya. membuatku luluh. dan ketika tadi malam, ketika kita jauh dr smua orang yg mgkin mengenal kita, ketika selama ber-jam-jam bersenda gurau, melontarkan pujian, candaan bahkan hinaan,
kupikir..kupikir..akan berujung pada kepastian
.

tak pernah aku merasa 'sedekat' itu dengan happy ending, akhir yg bahagia. tapi, itulah yg kurasa. hingga jam demi jam berlalu, ternyata akhir bahagia yang kutunggu tak juga dtang. apa yang kuinginkan utk kau ucapkan malam itu, tak pernah kau sampaikan. dan aku pun, terlalu egois untuk menanyakan.

tadi malam, aku kalah. kalah darimu, dari perasaanku, kalah dari dunia yang kurasa menertawakanku dengan keras
karena di balik tiap tawa yang kubagi denganmu, pandangan mataku ke arahmu dan pandangan matamu ke arahku, sentuhan tak sengaja, semuanya..tak lain hanya keinginan kita berdua untuk mencoba bertahan selama mungkin.

sungguh hanya satu yang kuingin kau tahu sekarang...tidak kah kau ingin mencoba?karena aku ingin...ingin sekali..dan kau yang membuatku bergelut dengan keinginanku ini..

tapi setelah apa yang kita lalui tadi malam, setelah aku melihat matamu, aku tahu, aku tak sendiri..tapi menyedihkan, karena kita berdua tak tahu bagaimana caranya utk bisa mengungkapnya.

kuatkanlah hatimu, lantas datanglah kepadaku..apapun keputusanmu
. sementara itu, aku akan menguatkan hatiku, meyakinkan rasaku, dan pada akhirnya akan kutanyakan padamu : "maukah kau menghabiskan sisa hidupmu bersamaku?"

itu saja...

-aku-