Senin, Desember 05, 2011

PRANCIS, FRANCE.


Bagi orang-orang yang meras cukup mengenalku, pastilah tahu, satu mimpi yang masih menggelayut di pikiranku hingga saat ini. Mimpi itu bernama Paris. Dan beginilah cerita tentang mimpiku itu.

Semua bermula dari suatu siang yang terik di pertengahan tahun 1998. Tiga belas tahun yang lalu. Aku, yang kala itu duduk di bangku kelas 2 SMA, tengah bersiap mengikuti pelajaran selanjutnya, sepetri juga rutinitas harianku. Ternyata hari itu mengubah duniaku, mengubah haluan mimpiku. karena hari itu, ternyata kelasku mendapat kunjungan dari lembaga bahasa Prancis, tepatnya Alliance Francaise de Medan. Tadinya, kupikir, sesi hari itu tak berbeda dengan sesi-sesi 'blockingan' lainnya yang biasa diselenggarakan di sekolahku.

Ada seorang perempuan mungil berambut pendek yang masuk ke kelasku siang itu. Aku lupa namanya. Tapi sejak saat dia memasuki kelasku, i knew, there was something special about her. And indeed, it was a special session. Perempuan itu ternyata salah seorang pengajar Bahasa Prancis di Alliance Francaise de Medan, satu-satunya lembaga kebudayaan Prancis di Medan. Ternyata, kehadirannya di sana untuk memberikan presentasi singkat tentang Prancis, dan menjaring minat siswa-siswa di SMA ku untuk belajar Bahasa Prancis.

Perempuan mungil itupun mulai mendemonstrasikan kemampuannya berbahasa Prancis. Dan seketika itu pula, pandangan dan pikiranku dibuat terpana. Apa yang diucapkannya, walau tak kumengerti, terdengar sangat indah. Kuamini saat itu sebagai momen di mana aku jatuh hati pada Prancis. Di siang hari yang terik itu, 13 tahun lalu, aku jatuh cinta.

Setelah sekolah usai hari itu, aku tak berpikir panjang untuk segera menemui Mama dan bercerita tentang si perempuan mungil dan Prancis. Rasanya seperti meledak-ledak. Dan sekuat tenaga aku meminta ke Mama supaya aku bisa belajar Bahasa Prancis. Mama awalnya tidak mengizinkan. Karena selain biayanya yang sangat mahal waktu itu, aku pun dinilai tidak konsisten karena baru saja meninggalkan les piano. Tapi dengan segala jurus bujuk rayu, aku meminta agar aku bisa ikut kelas Bahasa Prancis itu.

Akhirnya izin pun keluar. Namun, kendala berikutnya tentu saja biaya. Saat itu, biaya les Bahasa Prancis per grade sangat mahal untuk ukuran tahun 1998. Belum lagi biaya untuk membeli buku. Akhirnya aku mendapatkan jalan tengah, karena si perempuan mungil itu mengizinkan aku untuk menggunakan buku foto copy-an. Sedih, tapi juga senang.

Akhirnya, aku duduk di kelas itu. Menenteng buku foto copy-an, duduk di atas kursi bermeja setengah khas anak kuliahan, membawa mimpi. Mimpi untuk bisa mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Prancis. Tak hanya belajar bahasa, di sana aku diperkenalkan dengan segala bentuk kebudayaan Prancis. Aku pun jatuh cinta, untuk yang kesekian kalinya.

Sejak saat itulah, mimpiku mulai tertanam dan selalu terpelihara hingga kini. People often says, "You're too obsessed with Paris, with France." Tapi, aku selalu menjawabnya dengan senyum. Kecintaanku, mimpuku untuk bisa menjejakkan kaki di sana, di Prancis, di paris, tak tergambarkan dengan kata-kata. ada yang membuncah tiap kali aku melihat foto, video, film tentang Prancis. Adrenalin terpacu, senyum terbit di wajahku ketika aku melihat dan mendengar pengalaman banyak orang ketika berkunjung ke sana. Konyol memang, tapi sungguh, aku merasakan itu.

Di satu periode, aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke sana. Semua sudah disiapkan. Tapi, akhirnya niatan itu mundur, karena satu alasan penting yang tak bisa kuungkapkan. Tapi, mimpi itu akan selalu ada. Akan selalu kupelihara, sampai akhirnya akan kutuai pada akhirnya. Mimpiku, mimpi Prancisku pasti akan terwujud tak lama lagi. Segala perispan sedang kurenda, kurajut dengan benang-benang pengharapan. karena kelak, kaki ini akan menjejak di Eiffel Tower, berjalan di pelataran Champs-Élysées, berpose di Arc de triomphe, menerawang di Palace of Versailles, menikmati angin berhembus di Louvre, dan banyak lagi...

Mimpiku...