Senin, Desember 05, 2011

PRANCIS, FRANCE.


Bagi orang-orang yang meras cukup mengenalku, pastilah tahu, satu mimpi yang masih menggelayut di pikiranku hingga saat ini. Mimpi itu bernama Paris. Dan beginilah cerita tentang mimpiku itu.

Semua bermula dari suatu siang yang terik di pertengahan tahun 1998. Tiga belas tahun yang lalu. Aku, yang kala itu duduk di bangku kelas 2 SMA, tengah bersiap mengikuti pelajaran selanjutnya, sepetri juga rutinitas harianku. Ternyata hari itu mengubah duniaku, mengubah haluan mimpiku. karena hari itu, ternyata kelasku mendapat kunjungan dari lembaga bahasa Prancis, tepatnya Alliance Francaise de Medan. Tadinya, kupikir, sesi hari itu tak berbeda dengan sesi-sesi 'blockingan' lainnya yang biasa diselenggarakan di sekolahku.

Ada seorang perempuan mungil berambut pendek yang masuk ke kelasku siang itu. Aku lupa namanya. Tapi sejak saat dia memasuki kelasku, i knew, there was something special about her. And indeed, it was a special session. Perempuan itu ternyata salah seorang pengajar Bahasa Prancis di Alliance Francaise de Medan, satu-satunya lembaga kebudayaan Prancis di Medan. Ternyata, kehadirannya di sana untuk memberikan presentasi singkat tentang Prancis, dan menjaring minat siswa-siswa di SMA ku untuk belajar Bahasa Prancis.

Perempuan mungil itupun mulai mendemonstrasikan kemampuannya berbahasa Prancis. Dan seketika itu pula, pandangan dan pikiranku dibuat terpana. Apa yang diucapkannya, walau tak kumengerti, terdengar sangat indah. Kuamini saat itu sebagai momen di mana aku jatuh hati pada Prancis. Di siang hari yang terik itu, 13 tahun lalu, aku jatuh cinta.

Setelah sekolah usai hari itu, aku tak berpikir panjang untuk segera menemui Mama dan bercerita tentang si perempuan mungil dan Prancis. Rasanya seperti meledak-ledak. Dan sekuat tenaga aku meminta ke Mama supaya aku bisa belajar Bahasa Prancis. Mama awalnya tidak mengizinkan. Karena selain biayanya yang sangat mahal waktu itu, aku pun dinilai tidak konsisten karena baru saja meninggalkan les piano. Tapi dengan segala jurus bujuk rayu, aku meminta agar aku bisa ikut kelas Bahasa Prancis itu.

Akhirnya izin pun keluar. Namun, kendala berikutnya tentu saja biaya. Saat itu, biaya les Bahasa Prancis per grade sangat mahal untuk ukuran tahun 1998. Belum lagi biaya untuk membeli buku. Akhirnya aku mendapatkan jalan tengah, karena si perempuan mungil itu mengizinkan aku untuk menggunakan buku foto copy-an. Sedih, tapi juga senang.

Akhirnya, aku duduk di kelas itu. Menenteng buku foto copy-an, duduk di atas kursi bermeja setengah khas anak kuliahan, membawa mimpi. Mimpi untuk bisa mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Prancis. Tak hanya belajar bahasa, di sana aku diperkenalkan dengan segala bentuk kebudayaan Prancis. Aku pun jatuh cinta, untuk yang kesekian kalinya.

Sejak saat itulah, mimpiku mulai tertanam dan selalu terpelihara hingga kini. People often says, "You're too obsessed with Paris, with France." Tapi, aku selalu menjawabnya dengan senyum. Kecintaanku, mimpuku untuk bisa menjejakkan kaki di sana, di Prancis, di paris, tak tergambarkan dengan kata-kata. ada yang membuncah tiap kali aku melihat foto, video, film tentang Prancis. Adrenalin terpacu, senyum terbit di wajahku ketika aku melihat dan mendengar pengalaman banyak orang ketika berkunjung ke sana. Konyol memang, tapi sungguh, aku merasakan itu.

Di satu periode, aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke sana. Semua sudah disiapkan. Tapi, akhirnya niatan itu mundur, karena satu alasan penting yang tak bisa kuungkapkan. Tapi, mimpi itu akan selalu ada. Akan selalu kupelihara, sampai akhirnya akan kutuai pada akhirnya. Mimpiku, mimpi Prancisku pasti akan terwujud tak lama lagi. Segala perispan sedang kurenda, kurajut dengan benang-benang pengharapan. karena kelak, kaki ini akan menjejak di Eiffel Tower, berjalan di pelataran Champs-Élysées, berpose di Arc de triomphe, menerawang di Palace of Versailles, menikmati angin berhembus di Louvre, dan banyak lagi...

Mimpiku...

Rabu, November 09, 2011

Sudah Selesai, Pak....

Sebulan lalu, adik bungsuku, Apriginta namanya, akhirnya menyelesaikan kuliahnya. Lewat ujian pendadaran terakhir, akhirnya dia lulus dan resmi menyandang gelar Sarjana Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tak lama setelah aku menerima kabar kelulusannya, aku langsung mengirim pesan pendek ke Bapak. Begini isinya, "Ginta sudah lulus, Pak. Tugas Bapak udah selesai. Kami semua sudah jadi Sarjana, ya. Selamat, ya, Pak." Pesan itu tak pernah dibalas Bapak, karena aku yakin, saat membacanya, dia sangat bahagia sampai lupa membalas. :)

Ginta, adik bungsuku itu, adalah anak terakhir Bapak dan Mama yang menyelesaikan pendidikannya. Aku anak sulung dari tiga bersaudara. Aku menyelesaikan pendidikanku tahun 2005, lulus sebagai Sarjana Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Manda, adik lelakiku, lulus tahun 2007 sebagai Sarjana Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Untuk Bapak, pendidikan nomor satu. Dari dulu aku sudah merasakan itu. Bapak, bersama Mama selalu berusaha memberikan pendidikan yang baik dan benar untuk kami semua. Tidak diktator, karena dia tidak pernah memaksakan kehendak. Aku ingat sekali, ketika kami semua menyelesaikan kelas 2 SMA, yang berarti harus memutuskan untuk melanjutkan ke jurusan IPA atau IPS, Bapak sangat lapang dada menerima keputusan kami. Saat itu, di masanya masing-masing, aku dan kedua adikku diterima di jurusan IPA. Tapi, kami bertiga memutuskan untuk memilih IPS, karena ke sanalah hasrat kami tertuju. Bapak, yang terlihat jelas menginginkan kami semua masuk jurusan IPA, menyetujui pilihan kami. Tapi, tiap kali diam dan terlihat merenung, aku bisa membaca jelas, betapa dia sangat menginginkan anaknya masuk jurusan IPA. Tapi, dia membebaskan kami semua untuk memilih.

Bapak tidak datang dari keluarga yang mampu. Dia hanya mampu menyelesaikan sekolahnya hingga SMA di pelosok kampung di Saribu Dolok, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Selepas SMA, Bapak langsung bekerja. Bekerja apa saja. Bapak sempat merantau ke Jakarta dan menjadi kondektur Metro Mini kala itu, tahun 70-an. Sampai kesempatan untuk mendaftar menjadi Pegawai Negeri Sipil di Medan diterimanya. Sejak itu, Bapak merintis karier sebagai abdi negara. Sepanjang ingatanku, tak pernah satu haripun Bapak melewatkan kewajbannya bekerja. Kecuali dia benar-benar sakit. Sebegitu berdedikasinya lah Bapak dengan negara ini. Dia memulai dari PNS biasa, sampai akhirnya berhenti di jabatan Eselon 1 bergolongan IV D, 30 tahun setelahnya.

Bapak baru berkesempatan melanjutkan kuliah ketika aku dan Manda sudah lahir. Aku ingat sekali, dari foto-foto yang ada di album foto keluarga, ketika Bapak diwisuda S-1. Mama masih cantik sekali waktu itu, datang dengan rok pendek dan blazer cokelat muda, rambut diikat setengah. Aku berdandan lengkap, dengan dress pendek bermotif tartan hitam-merah, plus dasi kupu-kupu merah dan rambut keritingku. Ha ha ha. Manda datang dengan seragam ABRI lengkap dengan topi tentara yang kala itu jadi tren. Oppung juga datang waktu itu. Semua masih lengkap. Aku ingat, foto bersama dengan Bapak memakai toga. Aku lupa tahun berapa, tapi sepertinya waktu itu aku masih berumur 4 atau 5 tahun. Hari itu bersejarah sekali, karena Bapak kami jadi sarjana. Walau kami belum mengerti.
Sekarang, sekitar 25 tahun setelahnya, aku mengenang hari itu dengan bangga.


Berbeda dengan Bapak, Mama datang dari keluarga menengah. Mama menyelesaikan kuliah diploma nya dan mendapat gelar BA dari Ilmu Keguruan, waktu itu masih disebut IKIP. Ketika menikah pun, dia sudah bergelar BA. Karena itu, secara intelejensia, kami banyak terbentuk dari didikan Mama. Belasan tahun setelahnya, sekitar tahun 2004 atau 2005, aku kurang ingat pasti, Mama akhirnya bersekolah lagi, meneruskan ke Strata 1, dan dia berhasil. Di umurnya yang sudah kepala 5, Mama kembali ke kampus dan merampungkan kuliahnya. Jadilah dia bergelar Sarjana Pendidikan. Ketika hari bersejarah itu tiba, hari wisuda nya, tak satupun dari kami, anak-anaknya, yang datang. Kami semua berada jauh dari Mama, karena harus menyelesaikan pendidikan kami. Tapi dari foto, melihatnya berkebaya dengan toga, rasanya bangga sekali, sekaligus sedih, karena tidak bisa ada di sana bersama dia.

Setelah itu, tentu wisuda berikutnya adalah wisudaku. Hari itu, Bapak dan Mama datang dari Medan. Bapak terlihat gagah dengan jas lengkap dengan dasi yang senada dengan kemeja. Waktu itu aku sempat bertanya pada Bapak, kenapa tidak memakai batik saja, karena Jogja panasnya bukan kepalang. Dengan lantang Bapak menjawab. "Ini kan acara penting, formal. masa pakai batik? Ada-ada saja kau. Ya pakai jas lah." Dan dia benar, karena Bapak terlihat paling gagah dari semua bapak-bapak yang datang hari itu. Mama yang sehari-hari jarang berdandan, hari itu memulas wajahnya dengan cantik. Berkebaya biru dan berkain panjang, dia jalan di sampingku.
Sesampainya di kampus, setiap 10 meter kami harus berhenti karena Bapak selalu ingin difoto oleh tukang foto keliling yang cetakan fotonya bisa diambil selesai acara.
Ha ha ha. Aku menuruti keinginan dia. Memasang senyum dan berhenti untuk berpose setiap 10 meter. Karena aku tahu, itulah ungkapan kebahagian Bapak.

Ketika tiba hari wisuda Manda, adikku, Bapak dan Mama juga datang dengan rapi. Berjas dan berkebaya lengkap. Tak berkurang rasa bangga yang kulihat di raut wajahnya, sejak terakhir kali datang ke wisudaku. Dia bangga sekali. Mama pun terlihat sama. Dua anaknya sudah berhasil menyelesaikan pendidikan. Tugasnya hampir selesai.

Kini, 4 tahun setelahnya, tugasnya benar-benar sudah selesai. Tugasnya mengantarkan kami bertiga menjadi sarjana, sudah selesai. Aku menulis tulisan ini 3 minggu menjelang hari bersejarah itu. Hari di mana Bapak akan menghadiri wisuda Ginta. Kemarin, lewat pembicaraan di telepon, aku sempat bercanda dengan Bapak. "Bapak pakai kemeja yang mana nanti waktu wisuda? Yang kemaren aja, yang Bapak pakai waktu kita foto keluarga, yang ungu. Bagus kok itu." Eh, dia menjawab, "Ngapain pakai yang lama? Yang baru lah. Nanti beli di Jogja. Yang lama gak usah dipakai lagi." Ha ha ha. Sudah bersemangat sekali dia, Bapakku itu.

Tiga minggu sebelum hari itu, semua sudah selesai dipersiapkan. Tiket pesawat, sampai agenda di Jogja nanti. Dengan senang hati aku mengurus semua keperluan Bapak dan Mama. Karena saat itu nanti, sekali lagi aku akan berkata pada Bapak,
"Sudah selesai, Pak. Kami semua sudah sarjana.......Terimakasih....."


Dan aku berdoa Pak, Ma...ini bukan wisuda terakhir yang akan kalian hadiri. Semoga akan banyak wisuda-wisuda yang lain. Karena mimpi kami masih terus berjalan. Mimpi untuk bersekolah setinggi mungkin. Karena itu, berjanjilah untuk selalu sehat, Pak, Ma..Karena aku, Manda dan Ginta ingin tetap berjalan bersama kalian, beriringan menghadiri wisuda-wisuda kami selanjutnya....



Kelak...

Kamis, November 03, 2011

k a l a h

sudah hampir 2 tahun aku bergelut dengan rasa ini. rasa yg awalnya bahkan tidak ingin kumulai. dan memang tidak kumulai. karena terlalu banyak akumulasi luka hati, yg seharusnya membuatku belajar satu hal, untuk tidak pernah memercayai 'rasa'. tapi, di satu titik, akhirnya aku luluh. sedikit demi sedikit kubuka hatiku. tidak berharap bnyak, hnya mencoba membuka diri saja.

yang kurasa, kau perlahan namun pasti sukses melakukannya. membuatku luluh. dan ketika tadi malam, ketika kita jauh dr smua orang yg mgkin mengenal kita, ketika selama ber-jam-jam bersenda gurau, melontarkan pujian, candaan bahkan hinaan,
kupikir..kupikir..akan berujung pada kepastian
.

tak pernah aku merasa 'sedekat' itu dengan happy ending, akhir yg bahagia. tapi, itulah yg kurasa. hingga jam demi jam berlalu, ternyata akhir bahagia yang kutunggu tak juga dtang. apa yang kuinginkan utk kau ucapkan malam itu, tak pernah kau sampaikan. dan aku pun, terlalu egois untuk menanyakan.

tadi malam, aku kalah. kalah darimu, dari perasaanku, kalah dari dunia yang kurasa menertawakanku dengan keras
karena di balik tiap tawa yang kubagi denganmu, pandangan mataku ke arahmu dan pandangan matamu ke arahku, sentuhan tak sengaja, semuanya..tak lain hanya keinginan kita berdua untuk mencoba bertahan selama mungkin.

sungguh hanya satu yang kuingin kau tahu sekarang...tidak kah kau ingin mencoba?karena aku ingin...ingin sekali..dan kau yang membuatku bergelut dengan keinginanku ini..

tapi setelah apa yang kita lalui tadi malam, setelah aku melihat matamu, aku tahu, aku tak sendiri..tapi menyedihkan, karena kita berdua tak tahu bagaimana caranya utk bisa mengungkapnya.

kuatkanlah hatimu, lantas datanglah kepadaku..apapun keputusanmu
. sementara itu, aku akan menguatkan hatiku, meyakinkan rasaku, dan pada akhirnya akan kutanyakan padamu : "maukah kau menghabiskan sisa hidupmu bersamaku?"

itu saja...

-aku-


Rabu, Februari 02, 2011

Fight for The One You Love

Aku merasa perlu untuk segera menuliskan ini. Dari tadi pagi, sejak kudengar kabar ini, aku tidak tahu bagaimana harus mencernanya selain dengan menuliskannya. Jadi, pagi ini, kusediakan waktu khusus untuk menuliskan semuanya ini. Aku merasa perlu untuk melkakukan ini. Semua yang berkeliaran di kepala sejak pagi tadi. Semua yang tidak, sedang, bahkan yang sudah bisa kucerna sejak kabar itu datang. Begini lah kira-kira :

Aku akan memulai merangkum latarbelakang ceritaku ini dengan singkat. Dia, temanku, yang namanya tidak bisa kusebut, dengan alasan yangs angat pribadi, termasuk karena keselamatannya saat ini, jiwa dan raga. Karena itu, tak bisa kusebutkan namanya. Dia, sahabatku tepatnya, yang sudah kukenal sejak kurang lebih 14 tahun yang lalu, pagi ini membuat keputusan penting dalam hidupnya, memberitahukan sebuah informasi penting padaku, yang kemudian mengubah hariku.

Dia, sahabatku ini, sudah bertahun-tahun menjalin kasih dengan seorang pria. Aku tahu sejarah mereka. Aku tahu perjuangan mereka. Termasuk perjuangan untuk melembutkan hati ayahnya, ayah sahabatku ini, yang sangat tidak setuju jika mereka menjalin hubungan mereka, terlebih lagi membawa hubungan itu ke pernikahan. Bagi ayahnya, itu haram! Hal terakhir yang akan diizinkannya untuk dilakukan oleh anak perempuannya. Alasannya, perbedaan adat-istiadat. Konyol. Di era di mana semua telepon genggam pun seperti sudah punya pikiran sendiri, sang ayah masih memikirkan itu. Sekali lagi, konyol.

Seperti yang aku katakan tadi, aku tahu sejarah mereka. Dan aku tahu lika-liku perjuangan mereka untuk urusan memperjuangkan cinta. Aku tahu dan aku pernah berada di posisi mereka. Delapan tahun berusaha memperjuangkan cinta, tapi adat-istiadat memisahkan kami, pada akhirnya. Dan waktu itu, ketika aku tahu posisi mereka, aku dengan tulus bercermin ke kisah cintaku yang kandas, dan membuat dia berjanji, sahabatku ini, supaya ia tidak akan pernah berhenti memperjuangkan cintanya.
"Fight for the one you love,"
begitu kataku saat itu. Karena apapun yang kelak terjadi, paling tidak, dia sudah berjuang, menyelamatkan cinta dan hatinya. Apapun hasilnya, dia harus berjuang.

Tapi, apa yang pernah kuucapkan itu, akhirnya sedikit kusesali pagi ini. Saat ia mengirimkan pesan singkat ke Blackberry-ku. Singkat. Begini isinya, "Yet, aku udah enggak di Jakarta lagi. Aku kabur. Rumahku sekarang lagi kacau. Dan aku enggak kasitahu siapapun soal ini. Cuma kau. Aku mau kawin lari. Aku sama abangku ini sekarang."

Reaksi pertamaku, tentu tidak percaya. Akhirnya kami berbicara lewat BBM. Dia sudah pastikan tidak akan pernah mengangkat telepon lagi. Jadi, jalur komunikasi paling aman buatnya sekarang adalah BBM, dan kuikuti keinginannya. Dengan runtun, ia, sahabatku itu, bercerita. Sudah 3 hari dia kabur dari rumah. Lari dari semua kebencian keluarganya, lari dari restu yang dia yakin tak akan pernah didapatnya, lari dari cibiran kakak dan adiknya. Pada akhirnya, dia lari dari semua itu. Dia mengemas tasnya, beralasan akan pergi untuk alasan dinas. Orangtuanya tak tahu menahu, kalau saat itu, dia sudah memiliki rencana sempurna untuk melarikan diri. Melarikan diri.

Dia, sahabatku, yang tidak pernah berbuat salah seumur hidupnya, dia, yang kukenal sangat taat beribadah, tidak banyak maunya, tulus, berbakti pada orangtua, pintar, sarjana S2, berpenghasilan cukup, sudah membuat keputusan mecengangkan. Ia memutuskan akan memperjuangkan cintanya. Dan bagian berikutnya yang membuatku tercengang adalah ketika ia menuliskan pesan ini untukku.
"Aku, kan, ikut jejakmu, Yet."
Dan aku pun terdiam. Tak ada kata yang bisa kuketik untuk membalas pesan itu. Apa benar ini karena doktrinku padanya untuk terus memperjuangkan cintanya? Aku merasa serba salah.

Setelah kubujuk dan kuyakinkan bahwa informasi ini tidak main-main, aku mencoba berfikir jernih. Dia bercerita sekarang sedang ada di luar Jakarta, jauh dari Jakarta, tinggal sementara di hotel, dan sedang berusaha mencari pekerjaan untuk menyambung hidup mereka berdua.
"Aku cuma mau hidup berdua sama dia sekarang,"
katanya. Aku, yang ribuan kilometer jaraknya dari dia pagi tadi, langsung menitikkan airmata. Sahabatku, sedang memperjuangkan cintanya. Dia, yang selalu menikmati kemudahan sejak kecil, karena tumbuh di keluarga berada, untuk pertama kalinya memohon untuk siapa saja bisa menerimanya bekerja. Aku pun berjanji akan menghubungi beberapa teman yang mungkin bisa membantunya di sana.

Aku bertanya, kapan mereka akan menikah, dia menjawab "Secepatnya, yet. Kau datang ya?" Pertanyaannya itu pun kuiiyakan. Pasti aku akan datang. Bahkan sepintas aku tiba-tiba berniat menyusulnya dan memastikan dia tidak apa-apa di sana. Tapi, dia melarang. "Nanti saja, kalau aku married ya, yet." Aku tercengang. Sambil tetap merasa tidak percaya, bahwa ini semua sudah terjadi. Dia memperjuangkan cintanya.

Terlepas dari apa yang akan datang menghadapinya, terlepas dari kekhawatiran keluarganya, terlepas dari semuanya, dia bahagia sekarang. Aku tahu itu. Meskipun rasa itu harus ditebus dengan pekerjaan yang melayang, orangtua dan keluarga yang tertinggal, kondisi tabungan yang menipis, dia bahagia. Sesederhana itu.

Aku, yang di lubuk hati terdalamku, masih merasa bersalah, sebagai orang yang pernah dijadikan teman diskusi soal hubungan mereka, saat ini hanya bisa berdoa. Supaya Tuhan menjaga mereka berdua. Supaya mereka kuat menghadapi dunia ini berdua. Supaya panasnya hari, dan dinginnya malam, tak menggoyahkan mereka. Apapun keputusan yang sudah diambil, aku yakin, mereka tahu konsekuensinya. Sekuat tenaga akan kubantu, pasti. Karena aku tahu, di sisi lain, aku salut. Salut atas keberanian mereka, menentang segalanya, demi cinta.

Ketika kutanyakan, kenapa dia nekad melakukan ini semua, begini jawabnya,
"Aku enggak bisa hidup tanpa dia, Yet."
And it explains everything. Aku tak perlu bertanya lagi. Biar Tuhan memelihara mereka. Aku akan selalu ada di sini, dari jauh, menemani mereka, dan tulus berdoa.....

Terimakasih, pagi ini sudah mengajarkanku sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang dulu sudah kuucapkan padanya, sahabatku ini. Sesuatu yang tak kusadari sampai pagi ini, dia, sahabatku ini, menegaskannya kembali. Bagiku, sesuatu itu masih sekedar wacana, lisan. baginya, itu tindakan. Itu keputusan yang diambilnya 3 hari yang lalu. Yang sampai kini tidak pernah disesalinya. Kalimat powerfull yang katanya terus terngiang. Kalimat yang kuucapkan.

FIGHT FOR THE ONE YOU LOVE......
*untukmu, sahabatku, *******
semoga kau berbahagia....semoga......

Rabu, Januari 26, 2011

Bukan Salahku

Tulisan ini terinspirasi dari salah satu Tweet teman yang me-mention akun Twitterku di tweet nya. Karena di-mention ke aku, berarti, tweet ini ditujukan kepadaku. Setelah membaca ini, aku merasa menuliskan ini. Bukan pembelaan, hanya memaparkan fakta.

Beginilah isi tweet yang kumaksud :
"@angelinayetta ini elo nih! RT @ted_kho: #cewebikintakut Independent. Ga perlu scr finansial, tp bisa ngapa2in sendiri, banyak cowo yg jd takut merasa ga akan 'dibutuhkan'".


Jadi, analisaku, menurut isi tweet ini, aku lah si cewek yang bikin takut. Simply just because i was 'accused' for being too independent, one way to the other. Jadi, inilah jawabanku.

Bukan salahku, di usiaku yang hampir menginjak kepala 3 ini, aku mulai mapan secara finansial. Tidak berlebihan, tapi, ya, mapan. Penghasilanku lumayan, setiap bulan aku bisa menghidupi diriku sendiri, sampai membayar orang lain untuk mengurus rumahku. Jadi, ya, secara finansial, aku mulai mapan.

Bukan salahku, kalau aku bisa ngapa-ngapain sendiri. Dari dulu aku terbiasa mandiri. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Aku perempuan satu-satunya. Di masa kecilku, Bapak-Mama ku bekerja. Separuh hariku, aku tidak bersama mereka. Jadi, aku terbiasa. Dari menyiapkan baju seragam sendiri di pagi hari, sampai membuat makan malam sendiri. Terbiasa. Sejak kelas 3 SD, aku sudah 'dilepas' pergi ke mana-mana dengan angkutan umum. Sendiri. Dan itu tertanam hingga kini. Selama aku bisa melakukan sesuatu sendiri, tidak merepotkan orang lain, so why bother?

Bukan salahku, kalau karena hasil didikan orangtuaku, menjadikanku sosok yang independen. Aku tahu bagaimana caranya membuat keputusanku sendiri. Aku merantau sendiri. Aku sudah berpisah dari orangtua sejak usia 17 tahun. Di saat semua orang menikmati fasilitas mewah dari orangtuanya, aku sendiri. Selama uang saku cukup, hidupku pun cukup. Aku membuat keputusan untukku sendiri, bukan orang lain. Setamatnya dari perguruan tinggi, di saat semua orang memanfaatkan kekuasaaan, jabatan orangtuanya untuk mendapatkan pekerjaan, aku berjuang sendiri. Mengalahkan 100.000 orang kandidat lain, dan menjadi karyawan di televisi itu. Semuanya kulakukan, sendiri.

Bukan salahku, karena prestasi kerjaku, dalam waktu 1,8 tahun aku sudah dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi. Di saat semua orang berjibaku mendapatkan posisi ini, aku yang dipilih. Bukan karena kolusi, apalagi nepotisme, tapi dengan bangga aku mengatakan, karena kemampuanku. Itupun kuraih sendiri.

Bukan salahku, kalau aku enggak pernah mau diantar atau dijemput ke mana-mana. Bahkan oleh pacar sendiri (kalau sedang pacaran, maksudnya. Sekarang, sih, enggak ada yang menawarkan, karena sedang enggak punya pacar). Ke mana pun, jam berapapun, aku pergi, sendiri. Karena aku tahu bagaimana meninggalkan rumah sendiri, dan aku pasti tahu bagaimana caranya kembali ke rumah. Sendiri.

Bukan salahku, jika karena alasan-alasan yang kupapaparkan di atas, menjadikanku berbeda di mata lelaki. Sedikit pun tak ada yang kubanggakan dari kesendirianku, kemandirianku. Tapi, inilah aku, terbentuk dari semua ide dan didikan sejak kecil. Dan aku tidak kecewa. Justru itu yang membuatku menjadi seperti sekarang. Menjadi Yetta. And so you know, aku butuh orang lain kok. Hidup ini terlalu indah untuk tidak dibagi. Way too beautifull. :)

Ini yang terakhir. Maafkan, kalau secara tidak sadar, aku sudah menakutkan kalian, para pria. Lagipula, semuanya tidak masuk akal. Kalau akhirnya beberapa orang membentuk kesimpulan seperti itu, beranggapan bahwa aku membuat lelaki takut mendekatiku, kasihan sekali? Berarti, si lelaki yang dimaksud, memang terintimidasi oleh kemampuanku? Dan bukankah akar dari rasa terintimidasi adalah ketidakpercayaan diri? Kalau memang benar analisaku, maka maaf, akupun tidak berniat membuka hati dan menyerahkan masa depanku bersama orang yang tidak percaya diri akan dirinya sendiri.

Terakhir (maaf, kali ini benar-benar terakhir), bukan aku yang harus menurunkan kadar kemampuanku, kadar independensiku, tapi hey, kalian, pria-pria rendah diri, harus belajar lebih banyak untuk menaklukkan dunia ini. Hingga satu saat, kalian bisa melihat kami, perempuan-perempuan seperti aku, yang katanya menakutkan, sebagai sosok yang tangguh, mapan, kuat, sekaligus lembut, yang bisa menjadi teman hidup terbaik. Dan pasti, ada satu lelaki yang bisa melihatku dan memberi kesimpulan yang berbeda. Yang cukup percaya diri dengan kemampuannya sendiri, dan punya cukup keberanian untuk memintaku menjadi istrinya. Untuk menjadi pasangan hidupnya, dan untuk menjadi ibu dari anak-anaknya. Dan ketika waktu itu datang, semua yang kalian bilang menakutkan, semua kemampuanku itu, enggak ada artinya di mata pria itu. Semoga. Kelak.

Jumat, Januari 21, 2011

Pelataran Hati

Waktu aku bertanya pada Tuhan, aku mengajukan dua nama pada-Nya. Aku tak kuasa memutuskan, mana yang kupilih. Lalu, aku minta Tuhan yang memilih. Dan Dia pun memilih. Satu nama keluar, dan satu nama masuk. Sesederhana itu.

Dia, nama yang keluar itu, sedang kucoba keluarkan dari sini, dari hati ini. Nama yang awalnya tak kuizinkan untuk bahkan menyentuh beranda hatiku. Nama yang seiring waktu terngiang di telinga setiap hari, SETIAP HARI. Waktu yang menjawab, hingga nama itu perlahan merasuk. Masuk ke beranda, mengetuk hati, minta izin untuk masuk. Kala itu, kuizinkan dia masuk, dengan harapan, dia membawa yang baru, harapan baru. Maka, kuizinkan dia masuk. Benar saja, setitik harapan itu muncul.

Tak lama, aku meminta Dia, yang empunya seluruh pelataran hati ini, untuk memutuskan, apakah masa berkunjungnya harus berhenti di sini, ataukah sampai ajal menjemputku nanti? Kata-Nya, "Tidak. Dia sampai di sini saja. Sudah habis waktunya." Maka kuhela nafasku, kututup mataku, dan kuminta ia keluar. Aku sudah tidak punya tempat lagi.

Maka, di sinilah aku sekarang. Kembali di titik nadir. Meski harusnya aku terhibur, karena masih ada yang lain yang masih menunggu. Satu nama yang sebenarnya sudah terlebih dahulu menempati dan masuk di hati ini. Dia masih di sana, menunggu. Karena itu, lagi-lagi, aku menarik nafas panjang, menutup mata, berfikir sejenak, dan berjalan menuju dia. Ini keputusanku, pilihanku.

Kubuka hatiku untuknya, meski ia masih duduk tenang di sana, melihatku, tanpa melakukan apapun. Tapi aku tahu, waktu dan Dia yang akan menjawab kelak, apakah ia akan menjadi warga tetap di hati ini, atau memang harus pergi berlabuh di hati yang lain. Yang kutahu, saat ini, kepadanyalah mata hatiku tertuju. Dan semoga dia, Sang Empunya hati ini, memberikan jawaban terbaik, di waktu yang baik pula. sampai saat itu, kutitipkan hati ini untukmu. Sampai kau tahu, apa yang harus kau lakukan dengan titipanku itu.

Senin, Januari 17, 2011

Setelah Satu Dekade


Apa rasanya, tidak bertemu dengan segerombolan orang selama kurang lebih 10 tahun? Apalagi ketika segerombolan orang itu adalah mereka yang selalu mengisi hari-harimu selama 3 tahun di SMA? Rasanya pasti tidak tergambarkan.

Itu yang kurasakan beberapa saat lalu. Bertemu dengan segerombolan orang yang sempat mampir di kehidupanku, 10 tahun lalu. Sahabat-sahabat yang selama satu dekade terpisah jarak denganku, jiwa dan raga.

Tak banyak yang berubah sejak kami berpisah. Secara fisik, pasti. Ada yang menyempit, ada juga yang melebar, dan kebanyakan, sih, melebar. ^^
Mungkin berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan yah? Hihihihi.. Secara pemikiran, tentu banyak berubah. Lebih maju, lebih kritis, lebih bergaya, lebih berbudaya, lebih nyeleneh, lebih dewasa, lebih elegan, lebih segalanya...

Di balik semua yang 'lebih', satu yang tak berubah..Senyum-senyum itu, tawa lepas tanpa beban..Meski kadangkala beberapa lebih menjaga sikap, bahkan menjaga tawanya tak terpecah begitu saja. Ada yang masih malu-malu. Apalagi ketika berbicara 'aib' perbuatan masa lalu. Masa di mana semua tidak harus dipikirkan dua kali. Masa di mana perasaan lebih kuat dari logika. Kalau semua itu diungkapkan 10 tahun lalu, mungkin semua akan berbeda. Tapi, 10 tahun setelahnya, semua kejadian bahagia sampai yang memalukan, terukir manis di hati kami semua. Tak ada yang memalukan lagi, semuanya membahagiakan.

Satu dekade setelahnya, sekarang, kami bertemu lagi. Dengan beban, pergumulan, kebahagiaan dan intuisi masing-masing, yang jelas-jelas telah tergerus usia, tiba-tiba kami sukses bertemu. Instan. Tanpa banyak rencana. Memang, seperti kata banyak orang, yang tak terencana, bisa terjadi dengan mudahnya.

Bersama mereka, sebagian kecil dari mereka, sahabat-sahabat yang selalu menempati ruang di hati, beban hidup terasa sedikit lebih ringan. Gelak tawa dan nostalgia masa lalu, bahkan hingga dipaparkan hingga dini hari pun, tetap tak hentinya memancing senyum dan tawa. Yang tadinya aku berpikir sudah cukup tua untuk bergaul dan ngobrol hingga dini hari pun, akhirnya meyakini, aku tidak menua, bahkan terasa lebih muda. Hahahahaha..

Entah sampai kapan, seharusnya persahabatan ini terus terjaga. Jauh dari distorsi, jauh dari dengki dan benci. Karena 10 tahun lalu kita bertemu, lalu berpisah, dan satu dekade setelahnya kita bertemu, semua karena satu alasan. Dan semoga aku tak salah. Simply just because we need each other. Dan menemukan kalian kembali, menyempurnakan perjalanan hidup ini. Terima kasih.

:)

-Yetta-

Kamis, Januari 13, 2011

28


07.01.11

Hari itu..tepat usiaku 28 tahun. Sudah hampir seminggu merasakan usia 28 tahun. Duapuluh delapan. Angka genap dan sempurna, apalagi jika dijumlahkan, sepuluh. Duapuluh delapan tahun. Yang terucap hanya satu, terimakasih. Untuk nafas kehidupan, untuk berkat, untuk kesehatan, untuk banyak kesempatan, dan untuk duka dan airmata yang membuatku seperti sekarang, di usia 28 tahun. Tentu, semua terucap untuk Yang Punya Kuasa, Yang Empunya Kehidupan. Terimakasih...

Sekarang, tidak menuntut banyak..Hanya kesehatan, agar tubuh ini bisa terus melawan usia, bisa terus berbahagia dan tak menjadi lemah, meski usia menggerus terus-menerus. Setelah itu, umur yang panjang, agar bisa membahagiakan banyak orang. Itu saja. Aku ingin tubuh dan jiwa ini berbahagia, agar kelak, bisa membahagiakan banyak orang.

Pertanyaan selanjutnya, "Yakin cuma minta itu?" Maka jawabanku, "Enggak." Karena di usia 28 ini, aku sungguh-sungguh meminta untuk seseorang untuk menemaniku mewujudkan mimpi itu. Semoga, di usia 28 ini, Tuhan sudah cukup percaya dan mengutus seseorang untuk menemaniku di sisa usia yang entah tinggal berapa ini...Karena aku tidak hanya membutuhkan seseorang untuk menopangku ketika aku jatuh dan sendiri, terlebih lagi, aku membutuhkan seseorang untuk tertawa bersamaku ketika kelak aku berbahagia. Itu saja.

Selamat ulang tahun, Yetta.

"So you will live well and have a long life."
(Ef 6 : 3)

Rabu, Januari 05, 2011

Dua Nama


Kemarin malam, dihadapkan pada satu pertanyaan oleh seorang teman. Meski dalam konteks bercanda, pertanyaan itu sempat terngiang sampai sekarang, kira-kira 12 jam setelahnya. Begini isi pertanyaan itu. "Jadi, kau suka enggak sama dia?" Hmmm...reaksi pertama, tentu saja jawabanku, "Tidak." Karena memang tidak. Tapi setelah kupikir ulang, memang akhirnya, akupun tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. Karena jujur, sekarang aku sedang menghindari pertanyaan bahkan pernyataan seputar itu. Jenuh.

Di saat yang berbeda, ada pertanyaan lain, juga dari seorang teman. "Emangnya, kau sudah mulai berdoa minta pasangan hidup pada Tuhan?" Kujawab, "Sudah. Karena memang sudah waktunya." Kupikir hanya berhenti sampai di situ. Lantas, kali ini, dia mengeluarkan pernyataan, bukan pertanyaan. Katanya, "Kalau kau berdoa meminta pasangan hidup, dan kau sudah punya nama, siapa yang kau inginkan menjadi pasangan hidup, ucapkan nama itu di doamu." Menghindari topik melebar, waktu itu kuiyakan saja.

Tapi, setelah itu, pernyataan terakhir terus terngiang di kepala. Jadi, kuputuskan, aku akan mengucapkan nama-nama. Ya, nama-nama yang artinya plural. Lebih dari satu. Dua tepatnya. Karena memang saat ini, ada dua nama, dua lelaki yang dekat di hati. Salahkah?

Hmm..mungkin Tuhan pun bingung dan mungkin balik bertanya, "Maumu apa, Yetta? Tetapkan satu pilihanmu." Sialnya, kalau benar Tuhan bertanya seperti itu, aku belum punya jawabannya. Karena dua nama ini dekat di hatiku dengan cara mereka masing-masing. Dan benar, kuucapkan dua nama itu di dalam doaku siang dan malam sekarang. Berharap, jika Tuhan benar-benar merestui salah satu dari keduanya untuk menjadi jawaban, aku sudah siap. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Aku pun bukan siapa-siapa, bukan ratu sejagad yang layak memilih dan dipilih. Aku tahu diri. Bahkan, mungkin belum tentu dua nama ini memilihku kelak. Ha ha ha.

Tapi, sebagai bentuk iman percayaku, kubawa dua nama ini dalam doaku. Sambil meminta petunjuk Tuhan untuk hasil akhirnya. Apakah satu nama akan tereliminasi, atau bahkan dua-duanya? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Ini toh bukan yang pertama kali. Pernah, setahun lalu, aku mengucapkan sebuah nama di doaku, memohon petunjuk Tuhan, ke mana aku harus melangkah. Apa yang harus kulakukan? Apakah dia orangnya? Dan, Tuhan pun menjawab. Tepat seminggu setelah doa itu kuucapkan pertamakali, Tuhan bekerja. Jawabannya waktu itu, "Tidak." Meski setelah itu aku babak belur, fisik dan mental, dan perlu waktu lama untuk menerima keputusan Tuhan, tapi itulah jawabannya. Dan seperti juri di perlombaan-perlombaan, keputusan Tuhan mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. :)

Jadi, sekarang, saatnya mencoba mencetuskan nama baru. Dua nama baru tepatnya. Sesekali mungkin bisalah meringankan beban-Mu, ya Tuhan? Jadi, sengaja kupilihkan dua nama..Monggo, dipilih..Semoga kali ini, satu nama untuk selamanya ya, Tuhan....

Semoga... :)

Senin, Januari 03, 2011

Hati yang Baru...

Tahun ini, tidak ada resolusi berlebihan. entah kenapa, sedang tidak ingin bermuluk-muluk. Bukan pesimis karena takut ujungnya akan menyisakan kekecewaan, tapi hanya sedang tidak ingin saja. Ingin sederhana, ingin yang biasa saja. Intinya, hanya ini memulai tahun ini dengan benar. Itu yang kukutip dari khotbah pendeta di gerejaku di Minggu pertama tahun ini. Aku ingin memulai semuanya dengan benar kali ini....

Setulus hati, yang terlintas di pikiran ini ketika memasuki tahun baru hanya satu, SYUKUR. Setidaknya itulah kata yang bisa merangkum semua rasa. Sungguh bersyukur atas satu tahun lagi yang luar biasa mengesankan. Bukan hanya karena tiap berkat yang kuterima, tapi bahkan untuk setiap tetes airmata dan kekecewaan yang tercipta sepanjang tahun. Entah kenapa, tahun ini kututup dengan perasaan yang lega. Lega dan bersyukur. Memang sudah saatnya, menutup setiap luka, membalutnya, dan berharap akan ada obat hati yang ampuh. Dan aku menemukan obat itu, doa namanya. Aku tahu, aku pasti kuat. Kita semua pasti kuat. Di saat semua berperang melawanmu pun, tak yakinkah kau bahwa Tuhan ada bersamamu? Aku yakin. Meski mataku tak melihat. Aku tahu Dia ada berperang bersamaku, di garis terdepan. Dan aku punya doa untuk menyampaikan semuanya pada-Nya.

Meski ada doa-doa yang belum terjawab, meski ada rasa-rasa yang tertinggal, bagaimanapun aku menutup tahun 2010, dengan setitik harapan melegakan menghiasi hati. Terus terang, tahun 2010 adalah tahun berkat bagiku. Kalau dirinci, secara akal manusiawi pun, aku enggak akan bisa berada di posisi sekarang kalau bukan karena campur tangan Tuhan. Pekerjaanku yang baik, keluargaku yang penuh berkat, teman-teman yang luar biasa, menemani setiap hariku. Tahun 2010, banyak sekali kesempatan-kesempatan luar biasa yang tak pernah terpikirkan sekalipun. Semua kurasakan.

Miris, karena sepanjang tahun, bisa dihitung berapa kali aku berdoa dan bergereja. Dan itu bukan sesuatu yang kubanggakan, kok. Tapi, somehow, Tuhan punya rencana dan cara sendiri untuk selalu ada di dekatku. Di satu titik aku merasa perlu menundukkan kepala dan mengaku, aku tak lagi bersama-Nya. Aku meninggalkan-Nya. Tapi bahkan di saat bersamaan, aku disadarkan bahwa Dia tak pernah pergi, tak pernah beranjak selangkahpun dariku. Jadi, masa aku tidak melakukan apapun? Sampai kapan mau berlari? Lelah...

Karena itu, tahun ini, aku ingin memulai semuanya dengan benar. Sudah terlalu lama aku terlena, dan melenceng dari-Nya. Mengingatnya saja mengiris hati. Tapi sungguh, sekuat tenaga aku ingin menjadi lebih baik tahun ini. Aku ingin ucapanku, pikiranku, tindakanku menjadi berkat untuk banyak orang. Susah luar biasa, tapi aku tahu, aku harus membiasakan diri. Aku ingin jadi lebih benar. Aku ingin dipulihkan. Sungguh...

Banyak yang terlintas di pikiran untuk dijadikan resolusi tahun ini, tapi semua melayang begitu saja. Semua komitmen, fana. Yang nyata dan terasa hanya yang ada di hati ini, untuk menjadi lebih baik. Lebih dekat dan takut pada Tuhan. Dan kurasa, semua akan menyusul kemudian. Aku tahu, Tuhan tidak pernah tidur. God is on work. Aku tahu, kadang aku perlu keajaiban. Tapi, sungguh saat ini aku mengerti, bahkan keajaiban tak bisa datang instan. Pertolongan Tuhan datang segera, tidak terlambat dan tidak etrlalu cepat. Tuhan tahu apa yang kumau. Aku membiasakan diri untuk berseru pada-Nya siang dan malam. Dan pada saat-Nya nanti, aku tahu dan aku yakin, seruanku akan mendapatkan jawaban. Karena pada akhirnya, tidak ada yang tidak mungkin. Nothing is impossible. Aku tahu, Dia ada di setiap doa dan permohonanku. Sungguh aku tahu...

Sekarang, aku tak meminta lebih...Tak ada resolusi berlebihan..Hanya dua hal penting, untuk bisa menabung dan berhenti mengigiti kuku jariku..:) Selebihnya, Tuhan yang mencukupkan nanti...PASTI.. ^_^


Yetta

(03.01.11 ; 18.14, dari cubicle mungilku di kantor yang dingin ini, where magic things often happened..^^)