Sabtu, Juni 02, 2012

12 Tahun Lalu

Kemarin, 1 Juni 2012, tepat 12 tahun aku "meninggalkan" rumah dan kampung halaman. Dua belas tahun setelahnya, aku ada di sini, di ibukota, menikmati asap kendaraan, asap rokok, kemacetan dan hiruk-pikuk keegoisan. Aku menuliskan goresan tulisan ini sambil menahan rindu pada rumah dan kampung halamanku, Medan.

Dua belas tahun lalu, berbekal koper bekas yang dibeli Bapak di Monza, pasar loak terkenal di Medan, aku berangkat menuju Yogyakarta. Ditemani Mama, kami berlayar menuju perhentian pertama, Jakarta. Mama sudah siap dengan bekal rantang, yang akan menjadi ransum kami selama 3 hari dua malam di kapal laut. Aku tidak akan pernah melupakan saat itu, ketika aku dan Mama berdiri di dek samping kapal, melambaikan tangan pada Bapak yang tinggal di Medan, tidak ikut bersama kami, karena aku masih punya 2 adik lelaki yang harus diurusnya. Aku tidak menangis saat itu, tapi hatiku hancur, melihat Bapak dari kejauhan, kecil sekali. Dan berpikir, kapan aku bisa bertemu lagi dengan dia, Bapakku itu...Saat itu juga, kulambaikan tangan, mengucap salam perpisahan pada tanah kelahiranku. Tujuh belas tahun aku tinggal menetap di sana sebelum lambaian tanganku hari itu.

Tiga hari di kapal, rasanya campur aduk. Dulu kondisi keuangan Mama-Bapak tidak memadai untuk mengongkosi kami di kelas 1. Hanya tempat tidur massal bak bangsal di kelas 3 Wisata yang menjadi "rumah" kami selama 3 hari perjalanan Medan-Jakarta. Selama 3 hari itu, rasanya tidak karuna. Bekal dalam rantang yang dibawa Mama dari Medan jadi satu-satunya penyelamat. Ikan teri sambal sampai rendang. Selebihnya, tidak ada hal menarik yang bisa kuingat dari perjalanan itu. Yang tersisa hanya aroma pengap bercampur uap dari mie instant dalam kemasan cup.

Tiba di Jakarta, aku tak terlalu mengingat banyak hal. Yang kuingat hanya kami kembali menaiki kereta api, melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Lagi-lagi, tidak ada cukup dana untuk menikmati fasilitas eksekutif. Aku dan Mama cukup puas bermukim di kelas Bisnis, bercampur dengan puluhan pedagang yang menyerbu masuk dengan dagangannya di setiap stasiun.

Akhirnya, tanah penuh harapan itu pun terlihat dari kejauhan. Yogyakarta. Kota pilihanku. Tidak ada yang memaksaku untuk melanjutkan kuliah di Kota Gudeg itu. Tapi sejak pertama kali mengunjunginya di tahun 1994, aku sudah berbisik di dalam hati, "Satu hari aku akan kembali dan menetap di sini". Mungkin saat itul yang disebut cinta pada pandangan pertama, antara aku dan Yogyakarta. Tujuh tahun setelahnya, kupenuhi janjiku, dan mengunjunginya lagi untuk menetap sementara.

Mama tidak lama menemaniku di Yogyakarta. Dia bahkan tidak sempat melihatku berangkat kuliah untuk pertama kali. Dia hanya menitipkanku pada adik lelakinya yang bermukim di Yogyakarta. Tulang, begitu aku menyapanya, resmi menjadi waliku di Yogyakarta. Waktu Mama akan pulang kembali ke Medan, rasanya tidak terdefinisikan. Seribu tanya melesat di pikiran. "Apa yang akan terjadi? Kalau enggak ada Mama, Bapak? Kalau aku sakit bagaimana? Kalau uangku kurang, bagaimana?". Tapi sebagai perempuan tomboy yang tidak pernah ingin terlihat cengeng di hadapan siapapun, aku menyimpan segala pertanyaan dan kecemasan itu. Cuma aku yang tahu apa yang berkecamuk di dada saat harus melambaikan tangan pada Mama yang menaiki gerbong kereta, kembali ke Jakarta, dan melanjutkan perjalanan pulang ke Medan.

Malam itu, setelah Mama pulang, aku menempati kamar cadangan di rumah Tulang. Tengah malam, aku menangis tak bersuara. Menyadari bahwa aku sudah benar-benar sendiri, dan harus bertanggung jawab dengan kehidupanku sendiri. Alasan lain, aku rindu rumah, Mama, Bapak, semuanya di Medan. Malam pertama, sudah rindu. Selama dua minggu setelah itupun, aku masih rutin menangis di malam hari, menahan rindu. Dua belas tahun yang lalu...

Tapi kehidupan sungguh berbaik hati padaku. Tahun demi tahun, aku menjalani kehidupan jauh dari Mama, Bapak, tanpa kekurangan. Teman-teman "seperjuangan" banyak menguatkan di rantau. Lima tahun aku menetap di Yogyakarta, sampai studiku selesai. Lima tahun yang membentuk kehidupan, watak dan karakterku. Lima tahun terpenting dalam hidupku. Tak pernah sedetik pun berlalu tanpa aku berpikir bahwa pilihanku untuk merantau adalah pilihan yang paling tepat.

Aku yang sekarang, yang setiap hari berusaha menaklukkan ibukota, terbentuk dari keputusan orangtuaku yang membiarkan anak perempuan satu-satunya merantau jauh ke kampung orang. Kadang aku berpikir, apa yang akan terjadi padaku jika seandainya Bapak dan Mama berpikiran seperti kebanyakan orangtua saat itu, tidak mengizinkan anaknya untuk merantau? Aku tidak akan menjadi seperti sekarang. Aku yang sekarang, terbentuk dari keputusan-keputusan penting itu.

Merantau adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah aku ambil. Keputusan besar pertama yang akhirnya mengubah hidupku. Dua belas tahun setelahnya, hari ini, aku akan selalu mencari jalan pulang ke sana, ke Medan, ke kehangatan yang tidak bisa terbayar oleh kemewahan dan keindahan kota-kota di Eropa sekalipun. Karena ke manapun kaki ini sudah, sedang dan akan melangkah, ke sanalah, ke Medan, hati dan pikiranku akan tertuju. Sesederhana itu. Aku anak Medan! :)