Rabu, Januari 20, 2016

Mengurus Paspor Sendiri Ternyata Menyenangkan!



Akhirnya, hari yang saya tunggu-tunggu tiba juga. Hari dimana saya harus (mau tidak mau) mendatangi Kantor Imigrasi untuk urusan memperpanjang paspor. Sebenarnya, paspor saya baru akan habis di bulan Juli 2016. Tapi daripada harus mendadak dan terburu-buru, saya putuskan untuk mengurus perpanjangan paspor di bulan ini saja. Ditambah, saya memang berniat untuk mengganti paspor saya dari paspor biasa 48 halaman menjadi e-paspor 48 halaman. Ya, siapa tahu ada rezeki, saya bisa berkunjung ke Jepang, dengan berbekal e-paspor, sudah pasti nanti saya tidak perlu repot mengurus visa lagi.

Jujur, sejak awal, saya agak sedikit pesimis dengan sistem dan prosedur pengurusan paspor. Apalagi, baru-baru ini ada teman saya yang bercerita kalau dia harus mengantri dari jam 03.00 pagi demi mendapatkan nomor antrian pengurusan paspor. “Celaka!,” pikir saya waktu itu, Bukannya saya orangnya tidak sabar menunggu, tapi rasanya tidak masuk akal mengantri dari jam 03.00 pagi, padahal Kantor Imigrasi baru resmi dibuka jam 08.00. Kebayang repotnya.

Dan kemudian mujizat terjadi!. Hahahaha. Mungkin ini yang namanya rezeki anak solehah. Tepat per tanggal 11 Januari 2016 silam, Kantor Imigrasi memberlakukan aturan baru. Dimana sistem pelayanan tidak lagi berdasarkan kuota per hari, tapi berdasarkan batas waktu.

Maksudnya begini.

Tadinya, sistem pengambilan nomor antrian di Kantor Imigrasi berdasarkan kuota. Karena itulah, meski kantor baru dibuka di jam 08.00, banyak orang yang sudah mengantri dari subuh, bahkan dari dini hari demi mendapatkan nomor antrian. Itu yang saya takutkan sejak awal. Buang-buang waktu.
Tapi aturannya berubah per tanggal 11 Januari 2016. Jadi sekarang diberlakukan sistem antrian berdasarkan waktu, tergantung Kantor Imigrasinya. Khusus di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Selatan, waktu pengambilan antrian dimulai dari jam 07.30 – 10.00. Artinya, siapapun yang datang, selama itu masih di kurun waktu 07.30-10.00 dijamin PASTI akan terlayani dengan baik di hari itu juga.

Tapi saya tidak secepat itu percaya begitu saja. Akhirnya, kemarin saya coba kroscek ke hotline Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Selatan (siapa tahu ada yang perlu, nomor hotline-nya: 081319066600). Pertanyaan utama saya adalah soal apakah saya benar-benar tidak usah mengantri dari subuh?. Dan Mbak bersuara merdu dari ujung telepon menjawabnya dengan pasti, “Tidak usah lagi Mbak. Jadi Mbak tinggal datang saja, selama masih di bawah jam 10.00, pasti bisa diproses langsung.”

Lagi-lagi saya tidak cepat percaya. Mungkin trauma mengurus dokumen-dokumen dan tetek -engek yang mengharuskan saya berhubungan dengan birokrasi pemerintahanmasih tetap membekas di diri saya. Jadi ketika ada berita baik seperti ini pun, saya tetap waspada. Hahaha.

Pagi ini, saya dan seorang teman akhirnya sepakat untuk bertemu di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Selatan yang beralamat di Jln. Warung Buncit Raya no 207, Jakarta Selatan. Saya berangkat dari rumah sekitar jam 06.15. Saya tiba di lokasi sekitar pukul 06.25, karena memang jarak dari tempat tinggal saya dengan kantor tersebut tidak terlalu jauh. Untuk informasi, khusus pengurusan e-paspor memang belum bisa dilayani di semua Kantor Imigrasi (Kanim). Proses pembuatan e-paspor hanya bisa dilakukan di Kanim Kelas I Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Tanjung Priok, Soekarno-Hatta, Surabaya dan Batam.

Setibanya saya di sana, kondisi sudah agak ramai, walaupun tidak padat seperti yang saya bayangkan. Saya langsung diarahkan bapak-bapak petugas keamanan untuk langsung berkumpul dan menunggu di area belakang kantor. Saya manut saja. Karena saya pikir, kantor baru akan dibuka jam 07.30 juga. Tapi pertanyaan selanjutnya adalah, “Bagaimana saya bisa tahu siapa yang duluan datang dan siapa yang akan mengantri untuk nomor antrian pertama kali?”. Akhirnya saya iseng mengajak bicara beberapa orang yang sudah terlebih dahulu datang dari saya. Menurut mereka, saya disuruh menuliskan nama saya di selembar kertas HVS yang sudah tersedia di atas meja di area mengantri itu. Katanya, nanti yang duluan masuk mengambil nomor antrian akan disesuaikan dengan daftar itu. Lagi-lagi saya manut dan menuliskan nama saya dan teman saya. Waktu itu, jam sudah menunjukkan pukul 06.40 dan nama saya ada di urutan ke- 60 di lembar tersebut.

Mendekati pukul 07.30, saya dan teman mulai “curiga” dengan pemberlakuan sistem pengambilan nomor antrian. Akhirnya, kami menyusun strategi. Dia, teman saya ini, pergi ke pintu depan untuk mencari tahu dan saya tinggal di belakang untuk jaga-jaga. Benar saja, ternyata menurut teman saya yang menghubungi saya lewat WhatsApp, nantinya semua akan masuk dari pintu depan. Nah!. 
Akhirnya saya pindah ke pintu depan dan merapat bersama teman saya. Waktu itu masih banyak yang belum “ngeh” kalau semua harus masuk pintu depan. Malah semua berjejal mengantridi belakang.
Jadi ini tips untuk yang akan mengurus paspor di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Selatan. Jangan terperdaya!. Berdirilah dekat-dekat pintu depan.

Akhirnya tepat jam 07.30, seorang petugas imigrasi dengan seragam biru andalannya itu mulai berbicara lewat pengeras suara. Benar saja, semua disuruh berbaris di pintu depan. Saya dan teman saya tersenyum puas karena kami ada di antrian 6 dari depan. Sudah pasti saya masuk di rombongan pertama. Sang petugas mulai berbicara soal persyaratan dan flow tahapan pengurusan paspor. Kami yang datang di sana akan dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama adalah rombongan prioritas yang akan dilayani terlebih dahulu. Jumlahnya maksimal 30 orang yang terdiri dari anak di bawah usia 3 tahun, lansia di atas 60 tahun dan penyandang cacat. Mereka akan dipersilahkan masuk terlebih dahulu, baru menyusul rombongan regular seperti saya.

Rombongan regular dibatasi akan masuk setiap 30 orang, tergantung kondisi antrian. Kalau kondisi sudah tidak terlalu padat, siapapun bisa langsung naik ke lantai 2 untuk melanjutkan proses pengajuan paspor.  Saya masuk di rombongan pertama. Naik ke lantai dua dan langsung mengantri lagi untuk pemeriksaan dokumen asli. Saya menunjukkan Akte Kelahiran, Kartu Keluarga, KTP dan Paspor lama yang asli. Dari pemeriksaan pertama, saya diarahkan untuk mengambil nomor antrian. Di sini, akan dibedakan untuk pengajuan paspor biasa dan e-paspor. Untuk yang mengajukan e-paspor seperti saya, di formulir akan dicap dengan stempel merah bertuliskan E-PASPOR.

Setelah itu saya duduk di area menunggu yang cukup nyaman. Di sana, saya mengisi formulir yang sangat mudah dimegerti. Ditambah, ada seorang petugas imigrasi yang sudah agak tua yang dengan setia dan ramah menjelaskan langkah-langkah pengisian formulir. Bahkan beliau menerima semua pertanyaan dari pengunjung. Namanya saya ingat benar, Pak Wagino. Banyak sekali yang terbantu dengan penjelasn Pak Wagino ini. Kondisi ruangan menunggu pun sangat baik. Tersedia toilet yang bersih dan wangi, ruang menyusui hingga counter fotocopy bagi mereka yang belum sempat mem-fotocopy dokumen. 

Oh iya, semua persyaratan dokumen seperti KTP, Akte Kelahiran, Kartu Keluarga dan Paspor lama memang harus dibawa yang asli dan juga disertakan fotocopy-nya. Semua dokumen tersebut di-fotocopy di kertas ukuran A4. Khusus untuk KTP, jangan digunting!. Yang penting, semua di-fotocopy di kertas ukuran A4. Untuk yang sudah pernah punya paspor, sertakan pula fotocopy halaman pertama paspor (halaman identitas). Paspor yang dibawa dan di-fotocopy adalah paspor terakhir yang berlaku.

Di depan area menunggu sudah terpampang layar monitor yang bisa membantu pengunjung mengetahui proses antrian sudah sampai di mana. Akan terlihat dengan jelas 10 counter yang sedang menangani pemohon paspor. Ada juga pengeras suara otomatis yang akan memanggil nomor antrian Anda dan ke counter mana Anda harus datang. Bahkan, canggihnya lagi, kalau pengunjung malah menunggu di dalam ruangan, boleh saja keluar dan nantinya bsa mengecek status antrian lewat website dan SMS. Alamat website untuk pengecekan nomor antrian: www.infoantrianpaspor.imigrasi.go.id dan nomor serta kode SMS bisa dilihat di kanan bawah nomor antrian. Maaf, saya lupa nyatet. Hehehe.

Oh iya, khusus untuk pengunjung yang berniat untuk memperbaiki data yang tertera di paspor, seperti nama, tanggal lahir dan data lainnya, tidak perlu ikut mengantri dengan rombongan regular. Langsung saja datangi satu loket yang bertanda LOKET INFORMASI di sisi kanan ruang menunggu. Di sana, petugas akan bisa langsung melayani permintaan Anda.

Akhirnya semua 30 nomor antrian di rombongan prioritas sudah dipanggil. Tiba waktunya untuk rombongan regular. Nomor saya muncul dilayar dan di pengeras suara. Saya datang ke counter 7. DI sana, saya diminta untuk menyediakan dokumen fotocopy dan paspor lama. Setelah itu berpindah meja ke sebelahnya untuk foto, pengambilan sidik jari dan wawancara. Setelahnya, petugas akan memberikan kertas yang akan digunakan untuk proses pembayaran. Langkah selanjutnya, saya harus mendatangi kantor BNI terdekat dan membayar lewat teller. Atau untuk yang punya ATM BNI juga bisa langsung membayar. Tapi karena saya tidak punya rekening BNI, saya dianjurkan datang ke teller langsung. Hanya saja, tidak bisa saat itu juga dilakukan pembayaran, tapi saya harus menunggu sekitar 1,5 jam hingga 2 jam setelahnya.

Nantinya, setelah membayar ke BNI berbekalkan surat dari Kantor Imigrasi, saya kan diberikan bukti pembayaran. Bukti pembayaran inilah yang antinya akan saya bawa untuk pengambilan paspor. Lama proses pembuatan paspor tergantung pada jenisnya. Untuk paspor biasa, sudah bisa diambil dalam waktu 3 hari kerja setelah pengajuan. Sementara untuk e-paspor seperti saya, sedikit lebih lama, 5 hari kerja. Biaya pun berbeda. Untuk paspor biasa 48 halaman biayanya Rp 355 ribu dan untuk e-paspor 48 halaman biayanya Rp 655 ribu.

Setelahnya, pemohon bisa menunggu sesuai waktu yang ditentukan (tiga atau lima hari kerja). JIka sudah tiba waktu pengambilan paspor, khusus untuk jadwal pengambilan paspor akan mulai dilayani antrian sejak pukul 10.00 – 16.00. Jadi waktunya sangat fleksibel. Jika berhalangan, pengambilan paspor juga bisa diwakilkan dengan syarat melampirkan surat kuasa. Tapi jika yang mengambil adalah keluarga kandung, tidak harus mealmpirkan surat kuasa. Tapi hanya perlu membawa Kartu Keluarga yang mencantumkan nama hubungan antara orang yang mengajukan paspor dengan yang akan mengambil paspor tersebut.

Hari ini, total hanya 3 jam saja waktu yang saya habiskan untuk menyelesaikan semua proses pengajuan paspor. Bagi saya, itu termasuk prestasi baik. Prosedurnya sangat mudah dan sangat cepat. Dan yang terpenting, ketakutan saya untuk mengantri sejak subuh sudah tidak terjadi lagi. Semoga sistem di Kantor Imigrasi semakin hari semakin membaik sehingga semua permintaan masyarakat bisa dilayani dengan baik pula.

Salut untuk semua pemangku jabatan yang menerapkan aturan baru ini dan semoga lebih banyak lagi aturan baru yang memudahkan masyarakat bisa diciptakan dan disosialisasikan dengan baik pula.

Overall, saya sangat puas dengan pelayanan Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Jakarta Selatan. Semoga cerita saya ini bisa menginspirasi lebih banyak orang lagi untuk meninggalkan praktik percaloan dan mulai tertib dari diri sendiri untuk kemajuan bangsa ini ya!.

Good luck

Kamis, Desember 04, 2014

Persoalan (Belum, Akan, Segera) Move On


Move On.

Istilah umum yang beberapa tahun belakangan ini menjadi tren di pembicaraan dan diskusi di kalangan masyarakat. Tentu saja asalnya dari Bahasa Inggris yang secara sederhana berarti “Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, meninggalkan sesuatu dan beralih ke yang lain.”

Saya pribadi lebih senang menyimpulkannya menjadi satu kata yang tepat. Bergerak.

Bergerak meninggalkan yang lama dan mencoba berjalan ke arah yang baru. Dan, iya, saya berbicara dalam konteks asmara. Meski terkesan gombal dan murahan, tapi entah kenapa, saya mendalami benar makna dan arti move on jika disangkutkan ke topik asmara. Bukan hanya asmara kacangan khas ABG, tapi juga asmara “tingkat tinggi” yang melibatkan dua obyek dewasa dengan urusan yang lebih complicated

Karena move on adalah kunci mengakhiri yang lama dan memulai yang baru. Seperti halnya prinsip siklus kehidupan. Ada yang harus berakhir dan ada yang dimulai pula.

Jangan salah artikan. Saya tidak sedang berusaha menyudutkan siapa pun atau memihak kubu mana pun. Tapi saya adalah bukti hidup soal perkara move on ini. Dan topik ini sangat menggugah saya untuk menuliskan tulisan ini. 

Benar kata orang. “Move on enggak segampang yang loe pikir.” Setuju. Dari sekian kisah cinta saya yang berakhir hancur berantakan, saya paham benar bahwa move on tidak bisa dilakukan sekejap mata. Bahkan ada beberapa kisah cinta yang rasanya akan selalu ada terselip di relung hati terdalam, bahkan bertahun-tahun setelahnya. Untuk beberapa kasus itu, move on terasa impossible. Benar tidak?. 
 
Delapan tahun menjalin hubungan dengan seorang pria yang lantas pergi berlalu dan menikahi wanita lain membuat saya mengerti konsep move on seutuhnya. Tak mudah. Sulit sekali bahkan. Seseorang yang rasanya sudah  saya amini menjadi pendamping hidup saya sampai maut memisahkan, ternyata bisa terlepas begitu saja. Saya hancur berantakan. Dan kini, enam tahun setelahnya, saya pun masih menyimpan kepingan kehancuran itu di sudut hati saya terdalam. Sampai saat ini, sesekali saya masih memimpikannya dalam tidur. Ini adalah kasus move on saya yang impossible. Dan saya tidak menyesalinya. Tapi saya sudah ikhlas. Karena akhirnya saya mengerti bahwa ikhlas adalah kunci awal untuk move on.
 
Tidak, saya tidak menganjurkan siapapun untuk menghapus kenangan saat Anda dan pasangan bersama-sama berjalan menyusuri pantai, atau bergandengan tangan di mal, atau menikmati makanan favorit di restoran favorit. Jangan lupakan itu. Semua itu adalah sejarah yang menjadi bagian hidup. Kalau kata Slank, “Terlalu manis untuk dilupakan”. 

Tapi semua sudah berakhir. Itu hal yang pertama yang harus diterima untuk bisa menyingkirkan segala awan mendung dan kegelisahan di benak saya. Tanamkan itu di pikiran dan logika. Memang, tidak semudah yang dibayangkan. Butuh waktu. Butuh ratusan lagu cinta untuk melunturkan kenangan itu. Susah. Tapi bukan berarti tidak mungkin.

Tak mengapa. Tak ada yang salah dengan semua itu. Ambil waktu selama yang diinginkan. Sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun, terserah. Tidak ada masa kadaluarsa untuk move on. Sepanjang sisa usia pun bisa dihabiskan untuk terus mencoba move on. Tapi apakah semua layak menggerus waktu dan usia?. 


Saya mengerti, tidak semua kisah cinta yang berantakan memiliki alasan serupa. Kadar sakit dan luka hati pun pasti berbeda-beda tergantung penyebabnya. Ada perselingkuhan, latar belakang prinsip dan budaya yang berbeda, status sosial dan ekonomi, semua bisa jadi alasan berakhirnya sebuah hubungan. Bahkan satu kali seorang teman saya penah bersaksi bahwa ia mengakhir hubungan dengan kekasihnya karena alasan sederhana. “Kayaknya cinta gue udah habis sama dia.” As simple as that. Saya saja terheran-heran mendengarnya.

Apapun alasannya, semua sudah berakhir. Tapi reaksi untuk menjalani akhir kisah cinta ini yang membuat setiap orang berbeda. Saya perempuan, jadi yang pertama kali dilakukan pasti menangis meraung-raung. Menangisi semuanya, apa saja. Yang penting nangis dulu. Persoalan lain bisa menyusul. Saya melakukan itu berhari-hari sampai lelah. Nyaris setiap malam selama beberapa hari saya menangis dan sangking lelahnya sampai tertidur sendiri. Beberapa teman pria saya mengaku juga menangis walau tak sedramatis kaum hawa. Lebih banyak dari mereka yang menumpahkan emosi dengan berkumpul dengan teman, begadang, bekerja, main video games sampai pagi sampai lari marathon keliling stadion berkali-kali. 

Satu masalah lain, social media. Maraknya social media membuat semua proses move on semakin menyulitkan. Untung waktu saya putus, belum ada Path. Kalau tidak, pasti setiap lima menit saya listening to lagu galau. Tidak gampang menangisi mantan saat Anda stalking akun media sosialnya setiap hari. Tapi di satu titik, Anda pasti akan menyerah. Saya menyerah setelah beberapa tahun setelahnya. Saya sadar, sudah waktunya mengemas hidup dan bergerak.

Tapi saya sempat penasaran, sebenarnya siapa yang paling susah untuk move on? Lelaki atau perempuan?. Saya belum menemukan jawabannya. Correct me if I’m wrong, tapi perempuan memang dramatis. Saya tahu benar karena saya perempuan. Reaksi-reaksi pertama usai bubaran memang dramatis. Sinetron. Telenovela. Berlebihan. You name it. Tapi setelah masa-masa terberat berlalu, rasanya perempuan lebih bisa kembali menata hidupnya dengan baik. Butuh waktu, tapi bisa.
Nah, setahu saya, reaksi di kaum pria berbeda. Lebih dalam, lebih kronis dan lebih lama. Kalau pria, jujur, saya agak bingung. Beberapa kali saya bertemu dengan pria yang rasanya susah sekali move on dari kisah cinta lamanya. Sialnya, beberapa kali pula saya terjebak memulai pendekatan dengan tipe pria seperti ini. Mau mati rasanya. Ribet. Karena apapun yang saya lakukan, pasti dikomparasi dengan mantan kekasihnya. Saya rasa, mungkin karena pria lebih bisa menyimpan emosinya dengan lebih rapi dan tersusun dan tersembunyi. Tapi akibatnya, mereka tidak menemukan cara untuk meluapkannya. Akhirnya susah untuk melihat sosok yang baru yang masuk ke kehidupannya yang sebenarnya menyuguhkan banyak kebaikan lain. 

Lagi-lagi, saya tahu..iya..saya paham…semua tidak segampang yang dibilang orang. Memang tidak gampang. Luka itu tidak bisa sembuh dengan mudahnya. Sesal tidak menghilang sekejap mata. Akibatnya, masih susah untuk membuka hati untuk yang lain, susah untuk menyisihkan ruang baru dan menyingkirkan kisah yang lama. “Emang ada yang bisa kayak dia? Dia itu udah ngertiin gue luar dalam,” ujar seorang teman yang baru ditinggal kekasihnya. Kalau sudah begitu, saya pasti diam. Ya, sama lah kayak kalau kita menanggapi orang yang sedang kasmaran. Batu diolesi cokelat juga dibilang enak, kan?. Lebih baik menunggu dan biar waktu yang meredakan emosi dan gundah hati.

Saya bukan orang yang terlalu religius. Tapi entah mengapa, saya tahu, kalau berdoa adalah cara ampuh yang sederhana untuk meredakan luka hati. Tapi sering kali banyak orang enggan melakukannya saat luka hati terasa sangat menghujam. Saat amarah dan jutaan pertanyaan, “Kenapa?” meluap, rasanya berdoa dan berserah adalah jalan terbaik. Saat semua tak bisa dilontarkan dan diungkapkan dengan kata-kata, berdoa adalah jalan curhat yang terbaik. Saya selalu merasakan damai yang merasuk sukma dengan caranya sendiri setiap saya berkeluh kesah pada Tuhan. Tidak ada solusi instan memang, tapi saya tenang. Dan itu membuat kadar keikhlasan saya bertambah sedikit demi sedikit. 

Setelah itu, ikhlas yang sesungguhnya akan datang. Yakinlah. Ikhlas akan membuka semuanya, mata dan pikiran. Ikhlas pula yang akan membawa Anda menata tujuan dan prioritas baru. Ikhlas mengajarkan Anda berpikiran jernih dan akhirnya membuka hati. Ikhlas mengawali proses move on. Yang saya lakukan adalah mengambil saat yang tepat, tempat yang tepat untuk menghela nafas panjang dan berbisik dalam hati, “Aku memaafkanmu. I love you but I’m letting you go….”. Sejak saat itu, ikhlas dan senyum menghampiri saya. Live and let go.

Bukan berarti setelah itu semua masalah akan selesai. Tidak ada jaminan bahwa setelah move on akan langsung datang orang yang tepat, atau Anda bebas dari patah hati and live happily ever after. Tidak. Tapi itu mengajarkan nilai baru dalam hidup. Anda resmi naik kelas karena sudah mencicipi move on yang sesungguhnya.

Tidak harus sekarang. Take your time to mourn. Ambil waktu untuk menikmati rasa sakit itu. Serapi, sampai akhirnya dia menyatu dengan daging dan jiwamu. Setelah itu, pintu pasti akan terbuka. Mungkin besok, bulan depan, atau bertahun-tahun, tak ada yang tahu pasti. Tapi setelah semuanya usai, setelah duka, luka dan sesak itu belalu, bukalah hatimu untuk yang lain. Karena kau layak mendapatkan yang terbaik. 


Dan yang terbaik ada di depan, bukan di belakang. Because the best is yet to come.


Kelak….

(Dariku, untukmu…Ini aku, di hadapanmu…)

Selasa, Oktober 28, 2014

Karena Hidup Terus Berputar…



Kisah ini saya tuliskan hari ini, 28 Oktober 2014, tepat 6 tahun 6 bulan sejak pertama kali kaki ini menjejakkan kaki di gedung perusahaan ini. Tiga hari lagi, babak kehidupan saya di tempat ini berakhir. Tak ada yang abadi, saya tahu itu. Sudah sejak lama keinginan untuk meninggalkan tempat ini membuncah, tapi ternyata, Tuhan membukakan jalan dan waktu terbaik untuk saya melangkah keluar. Saya percaya, tidak ada yang kebetulan. Semua sudah dirancang-Nya dengan rancangan terbaik.

Dan sebagaimana biasanya yang saya lakukan, hari ini saya mendedikasikan waktu untuk menuliskan kisah saya di kantor ini. Cara satu-satunya yang saya tahu untuk meluapkan isi hati saya. Menulis. Menulis kisah saya di sini. Kisah yang tadinya saya pikir tidak akan berakhir hingga lanjut usia saya. Tapi ternyata Tuhan punya rencana lain. Saya harus melanjutkan mimpi ini. Entah di mana, tapi tidak di sini. Banyak mimpi dan berkat terwujud di tempat ini. Semoga semua terwakili di cerita saya ini. Kisah yang bermula tepat 6 tahun 6 bulan yang lalu...

--

Senin, 28 April 2008



Saya tiba di gedung ini, di kawasan antah berantah di Barat Jakarta. Jam belum tepat menunjukkan pukul 09.00. Tapi sesuai instruksi, saya tiba setengah jam sebelumnya, setelah membelah jalan dari Bekasi menuju Barat Jakarta. Hari itu, kantor ini terasa sepi sekali. Belakangan saya tahu, kebanyakan makhluk di sini adalah makhluk malam, nokturnal, tak bersahabat dengan pagi.

Saya dibiarkan saja duduk di sofa ruang tamu yang sempit itu. Satu jam setelahnya, seorang sekretaris menghampiri saya dan menujukkan meja tempat saya akan bekerja. Takjub rasanya. Ini kubikel pertama milik saya pribadi. Sebelumnya saya bekerja di stasiun televisi yang tidak memberikan fasilitas kubikel pribadi kepada semua karyawannya. Jadi mendapatkan kubikel pribadi dengan komputer pribadi adalah kesempatan dan fasilitas mewah untuk saya saat itu.

Waktu terus berjalan mendekati makan siang, jumlah karyawan yang datang mulai bertambah, meski satu per satu hanya berlalu dan tidak mempedulikan saya. Tidak ada instruksi, tidak ada perintah, tidak ada pekerjaan. Saya tidak pernah membayangkan hari itu, kalau semua orang yang berseliweran dan tak mempedulikan saya itu berubah menjadi bagian hidup yang saya sebut keluarga. 

Saya menghabiskan tiga jam pertama dengan berselancar di dunia maya sepuasnya. Usai makan siang, saya memberanikan diri datang menghampri sebuah meja bulat besar di depan ruang bersama. Saya duduk sendiri menonton televisi, berharap ada yang menghampiri saya dan mulai berbicara. Nyaris empat jam tidak ada yang berbicara dengan saya. Saya bingung luar biasa. Setengah jam menunggu, akhirnya doa saya terjawab. Seorang wanita menghampiri dan duduk bersama saya. Mbak Erwin namanya. Reporter Boga di Desk wanita. Dialah orang pertama yang berbicara dengan saya hari itu.

Siang terlewati, bahkan Redaktur saya kala  tidak menyapa terlalu banyak dan tidak memberikan penugasan apapun. Sampai sore berlalu dan waktu pulang kantor mendekat, saya tidak diberi tugas. Yang terlintas di kepala waktu itu cuma satu, “Ini kantor apaan sih?. Mana sepi banget gini, enggak ada orang!”. Di penghujung hari, saya pun pulang dengan perasaan campur aduk. 

Hari pertama kerja was supposed to be fun, tapi saya justru tidak diberi tugas apapun, hanya duduk nyaris sembilan jam lamanya memandangi layar monitor.


And you know what, kejadian ini berlangsung seminggu penuh!

(Belakangan saya tahu, sepertinya sudah jadi kebiasaan di sini untuk tidak mempedulikan anak baru selama beberapa saat. Semacam ospeknya lah. Hal serupa saya lakukan saat menjadi Redaktur terhadap reporter baru saya. Hi hi hi. And it was fun indeed.).

--

Sepekan setelahnya, Senin, 5 Mei 2008

Pagi itu, di meja saya sudah tersuguh satu eksemplar tabloid terbaru. Dengan hati-hati saya membukanya. Dan saat menemukan tulisan saya, yang ukurannya hanya seperempat halaman itu tercetak di sana, rasanya tak terdefinisikan dengan kata-kata. Ini untuk pertama kalinya saya melihat nama dan tulisan saya terpampang di media cetak nasional. Itulah hasil liputan dan tulian pertama saya di sini. Artikel mungil yang bercerita soal sosok Kamila, sutradara perempuan muda, putri dari sutradara kenamaan, Garin Nugroho, yang baru merintis kariernya sebagai sutradara mengikuti jejak ayahnya.

Tak lekang senyum di wajah saya selama beberapa menit memandangi artikel itu. Bangganya luar biasa, sampai menusuk tulang. Sampai sekarang saya masih menyimpan artikel itu. Artikel yang kemudian menjadi awal dari banyak artikel lain, pencapaian lain, berkat lain, mimpi-mimpi lain yang terwujud selama di sini.  Saat itu saya tahu, saya punya masa depan di sini. Saya bisa melakukannya. I can do it.

Saya saja segitu bangganya, maka tak terbayang bangganya orang tua saya saat membaca tulisan saya pertama kalinya. Bukan soal isi artikelnya, tapi soal melihat nama saya tercetak di penghujung artikel. Sejak saat itu, orang tua saya, Bapak terutama, tak pernah absen membeli tabloid setiap Senin selama beberapa tahun.

Artikel pertama saya yang terbit di media ini

--

Selasa, 28 Oktober 2014

Terlalu banyak kenangan, terlalu banyak tawa, canda dan kebahagiaan yang saya dapatkan selama menempuh karier saya di tempat ini. Teman, sahabat dan keluarga, itu yang terutama. Setiap hari selama 6 tahun 6 bulan ini, saya menghabiskan nyaris separuh hidup saya bersama teman-teman di sini. Beberapa hari ini, mengumpulkan foto-foto lama saja mampu mengingatkan semua kenangan indah itu.

Saya memutuskan, kebahagiaan, tawa dan canda itu saja yang akan saya ingat saat saya melangkahkan kaki keluar dari tempat ini beberapa hari lagi. Saya akui, rasa cinta terhadap institusi ini memang tak seperti saat dulu pertama kali berkenalan dengannya. Nyaris dua tahun lalu, semua luntur…Cinta itu luntur seiring dengan hujaman konflik, tekanan dan beban yang sudah semakin tidak masuk akal. Bekerja di sini bukan lagi soal menyelesaikan tugas tapi lebih menahan perih dengan kondisi "lingkungan" yang tak lagi bersahabat. Itulah yang saya rasakan selama dua tahun terakhir. Tapi sekuat tenaga saya mencoba bertahan di kondisi tersebut. 

Tapi sekuat apapun saya bertahan, rasanya konyol harus bertahan dengan "mereka" yang bahkan tidak menginginkan keberadaan saya lagi. Kondisi seperti itu yang menyesakkan saya.

Kondisi yang terlalu berat, sampai-sampai fisik saya tidak bisa menahannya dan kondisi kesehatan saya mulai terganggu cukup serius. Dan sejak saat itu, saya memutuskan untuk merelakan cinta saya pada institusi ini melayang ke awang-awang. Saya melepaskan semuanya. Dan saya tidak mau mengenang itu lagi. Semua sudah terhapus bersama air mata dan amarah. Sekarang yang tersisa hanya kenangan bahagia itu. Kalaupun ada air mata, semua hanya ungkapan rasa bahagia dan haru saja.

Yang tersisa hanya tawa di meja bundar, di sofa depan televisi, candaan di kantin, suara-suara bahagia sambil berebutan makanan dan tangis haru saat mendapatkan berita eksklusif. Hanya itu yang ingin saya ingat.

Ah, saya jadi mewek lagi......

………

Percayalah, tak ada yang saya sesali selama 6 tahun 6 bulan ini. Semua terlalu indah. Bahkan "siksaan" jiwa dan raga yang menghujam tak lagi saya ingat. Di hari-hari terakhir ini, sungguh saya ingin mengembalikan cinta yang sudah pudar dua tahun yang lalu. Saya berusaha keras. Tapi saya tak lagi menemukannya. Sepertinya memang ini saat yang tepat untuk mengakhirinya.

Tapi saya tidak akan bisa melepaskan identitas sebagai penghuni kantor ini selamanya. Bagaimana pun juga, ini kantor terlama yang pernah saya tempati. Saya memberikan 100 persen kemampuan saya selama 6 tahun 6 bulan. Saya belajar terlalu banyak di sini. Soal menulis, soal menjalin relasi, soal menghadapi banyak karakter, soal bersahabat, dan yang terpenting, soal hidup. Di beberapa hari terakhir ini saya tahun persis, hidup saya harus berjalan. Saya yakin dan percaya, ini jalan terbaik bagi saya untuk melanjutkan hidup. 

Sudah tiba waktunya untuk saya mengemas mimpi di tempat ini dan merintis mimpi baru di tempat lain. Tuhan menunjukkan waktu dan momen paling tepat untuk saya meninggalkan tempat ini. Tidak dua tahun lalu, saat saya merasa hidup saya berada di titik nadir. Tidak satu tahun lalu, saat saya mengalami masa terberat dalam hidup. Tapi sekarang, justru di saat saya tidak sedang berpikir untuk berhenti bekerja. At the least expected time. Dan rasanya tidak akan ada waktu yang lebih tepat dari sekarang.

Banyak yang bertanya, “Setelah ini apa, Yetta?”. Jujur, saya pun tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Tapi saya yakin, sebagaimana halnya Tuhan membuka jalan untuk saya berhenti dari sini dan menutup pintu rezeki saya di sini, seperti itu pula Dia akan membukakan jalan rezeki yang baru kelak. Beberapa rencana sudah terlintas di pikiran, tapi saat ini saya hanya ingin menikmati hidup terlebih dahulu. Hidup yang rasanya banyak terlewatkan selama 6 tahun 6 bulan ini karena kesibukan di pekerjaan.

Saya ingin berkumpul dengan keluarga dulu, berlibur bersama Bapak dan Mama dan adik saya. Liburan yang sudah tertunda sejak bertahun-tahun lamanya. Sekarang saya ingin menuntaskan utang itu pada keluarga saya. I owe them that much. Saya ingin menikmati waktu tanpa cemas dengan jumlah setoran tulisan dan deadline. Saya ingin menarik nafas panjang tanpa khawatir dengan utang tulisan saya. Dan saya siap mewujudkan mimpi-mimpi baru saya.
Karena itu, tulus dari relung hati terdalam saya, hanya ucapan terimakasih yang bisa terucap. Pada kalian semua, rekan kerja, sahabat yang sudah saya sebut sebagai keluarga di hati saya. Kalau bukan karena kalian, beban selama 6 tahun 6 bulan ini tidak akan bisa saya lewati dengan baik. Sudah seharusnya saya pergi sekarang, meninggalkan semua ini. Semoga saya sudah (dengan cara apapun) berhasil menorehkan kenangan baik dan indah di benak kalian semua.

Maaf, jika saya pernah menyakiti hati kalian. Maaf, jika terkadang (bahkan sering) ucapan, pikiran dan tindakan ini tak menyenangkan hati banyak orang. Pecayalah, tak pernah saya berniat untuk menyakiti. Maafkan saya untuk itu semua…

Saya tahu, saya adalah pribadi yang menyebalkan. Tapi untuk pertama kalinya, ingatlah saya seperti saya apa adanya. Jangan ingat dengan suara keras saya saat marah, tapi ingatlah suara keras saya saat saya tertawa. Jangan ingat air mata kesedihan saya yang tertuang di ruang rapat itu, tapi ingatlah mata saya yang berkaca-kaca setiap memandang sampul tabloid saat ulangtahun ke-25 media ini. 







Ingat saya karena cinta. Cinta yang sama-sama kita miliki untuk pekerjaan dan media ini. Karena hanya itu yang bisa merekatkan kita di masa depan…Cinta…


28 April 2008 - 31 Oktober 2014. Good times.

Terimakasih…

Saya, Yetta Angelina, jurnalis Tabloid Nova (28 April 2008-31 Oktober 2014).

Senin, Oktober 06, 2014

Bagiku, Butuh Sewindu untuk Mengaku...

Delapan tahun sudah berlalu sejak pertama kali kaki ini menjejak di ibukota sebagai pendatang tetap. Delapan tahun lalu, aku datang dengan harapan bisa menaklukkan ibukota. Sekarang, delapan tahun kemudian, keinginan untuk berjuang itu semakin memudar. Mungkin seiring pertambahan usia. Lagipula, delapan tahun terakhir kuhabiskan dengan perjuangan, setiap hari, sejak membuka mata ini di pagi hari.

Delapan tahun kemudian, ibukota memberikan banyak hal padaku. Sekaligus merenggut banyak hal pula. Pekerjaan yang baik dibalas dengan waktu bersama keluarga yang minim. Rezeki yang lumayan harus ditebus dengan teman-teman yang menghilang karena kesibukan. Kuterima semuanya sebagai resiko perjuangan menaklukkan ibukota.

Tapi semakin hari, raga ini semakin lelah. Usia semakin menggerus, dan ibukota tak lagi terasa menantang. Tak lagi terlalu menarik untuk ditaklukkan. Semakin hari, keinginan untuk pulang semakin tinggi. Tak ingin menua di ibukota, itu yang selalu tertanam di kepala. Ingin pulang sekali rasanya. Ke Jogja atau ke Medan.

Tapi malam ini sebuah tulisan seorang teman menginspirasiku. Sekaligus mengingatkan, bahwa jarang sekali aku bersyukur dengan banyak hal yang sudah Jakarta berikan untukku. Apapun kesalahan kota ini, sudah banyak sukacita, kegembiraan dan kebahagiaan yang diberikannya padaku. Banyak pelajaran hidup yang tak bisa tergantikan yang kudapat. Sekarang, di saat keinginan untuk pulang semakin menguat, rasa cinta terhadap Jakarta mulai muncul.

Benar kata seorang penulis, hanya mereka yang bermukim di Jakarta yang bisa memahami jiwa sesama penghuni kota ini. Berjibaku menaklukkan jalanan, diserang rasa cemas tak tentu jika hujan turun lebih dari 30 menit, was-was duduk di angkutan umum di malam hari, tak ada yang bisa memahami kondisi itu selain mereka para penghuni Jakarta.

Delapan tahun berlalu, malam ini setitik cinta untuk ibukota muncul di benakku. Meski fakta itu tak mengubah keinginan untuk pulang dan meninggalkan ini semua. Hanya saja, aku bersyukur. Meski bagiku butuh sewindu untuk menyadari bahwa kota ini sungguh bermakna, aku tak malu. Meski butuh sewindu, aku tahu, kota ini mengajarkanku untuk bisa bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Bisa tersenyum di tengah udara yang menyesakkan, bisa tersenyum di tengah kepenatan dan akhirnya bersyukur di tengah kekurangan.

Delapan tahun yang berat, tapi diselingi tawa dan banyak kebahagiaan membuatku sadar satu hal. Jakarta akan selalu ada di hati ini. Bukan tujuan akhir dan bukan akhir mimpi. Tapi rasanya, setelah delapan tahun di sini, ke manapun kaki ini akan melangkah nanti setelah ini, rasanya tidak akan ada yang lebih berat dari ini.

Bahkan jika harus memulai dari nol di tempat lain, rasanya aku akan baik-baik saja. And i have Jakarta to thank for that courage built within me. You make me strong, Jakarta.

And for that, i thank you. From the very bottom of my heart.

Jumat, Januari 10, 2014

Only By The Grace of God.

Saya suka sekali menonton serial Grey's Anatomy. Sudah 10 musim penayangannya saat ini, saya tidak pernah melewatkan satu episode pun. Entah kenapa, kehidupan di ruang-ruang rumah sakit dan intrik kisah seorang dokter di karier dan kehidupan pribadinya menarik saya untuk mengikuti episode demi episodenya. Hampir setiap episode di Grey's Anatomy memperlihatkan kesibukan di ruang gawat darurat, ICU hingga ruang operasi sebuah rumah sakit. Saya selalu melihat itu semua sebagai paket tayangan televisi yang menarik.

Adegan di mana seorang pasien terbaring di tempat tidur sambil didorong menuju kamar operasi sambil melewati lorong-lorong rumah sakit, dengan sudut pandang pasien, menengadah ke langit-langit rumah sakit, selalu menjadi adegan favorit saya. Sering kali, saya menonton adegan itu sambil bertanya-tanya, apa yang sedang dirasakan pasien itu saat perjalanan menuju ruang operasi, ya?

Dan benar kata orang, "Be careful of what you wished for". Belum genap sebulan lalu, saya menjadi "aktor" di adegan Grey's Anatomy versi saya. Saya yang terbujur di tempat tidur itu, dikelilingi suster yang mendorong tempat tidur saya melewati lorong-lorong rumah sakit. Mata saya yang menatap langit-langit rumah sakit menuju ruang operasi. Sampai detik ini pun saya tidak bisa percaya saya melewati semua itu.

Saya ingin merekam ingatan saya akan semua proses itu, supaya kelak saya tahu mengingat masa-masa terburuk saya. Karena itu saya menuliskan cerita saya ini.

--19 Desember 2013, 04.10 PM

"Miss Yetta! Miss Yetta! Wake up! Your surgery is over. You're in an intensive care unit right now. Wake up, Miss!".

Sayup-sayup, itu yang saya dengar di telinga ini. Terus terang, saya teler total. Saya tidak ingat apa yang terjadi sebelum itu. Saat mata saya mulai membuka perlahan, saya dikelilingi kurang lebih enam suster. Semua memegang bagian tubuh saya. Salah satu dari mereka lah yang mengucapkan kalimat itu di dekat telinga saya sambil menepuk pipi saya.

Reaksi pertama saya langsung sedikit berontak. Saya ingin duduk, tapi entah kenapa, banyak kabel yang menahan saya. Kepala saya juga terasa 10 kali lebih berat. Terakhir saya ingat, saya masuk ruang operasi dengan satu infus di tangan kiri saya. Tapi saat itu, dua infus menempel di kedua tangan, ditambah banyak peralatan lain menempel. Belum lagi alat pernafasan yang menutup setengah wajah saya. Panik, itu yang saya rasakan.

"We have to do this, Miss. This is the regular procedure after you went on a surgery. we have to gradually check your condition before you can go to regular room."

Begitu saya mendengar lagi suster berbisik di telinga saya. Saya melirik jam di dinding di depan saya, hampir 16.10. Terakhir saya melihat jam, angka menunjukkan 13.40. Itu artinya, saya "tewas" selama 2 jam lebih. Kepala berputar keras, saya tidak sanggup berpikir. Karena itu saya biarkan tubuh dan kepala beristirahat. Sekeras apapun saya mencoba, toh saya tidak mengingat apapun yang terjadi selama 2 jam belakangan.

Satu yang saya rasakan, rasa hangat dan sedikit nyeri menjalar di sebelah kanan dadaku. Saat itu saya tahu, operasi itu benar-benar sudah selesai.

--10 AM, earlier that morning.

"It says here that you've been fasting since 08.30 AM, right? I've checked on everything and you're fit for surgery. You'll be my first case today. Now you can move to the ward and get prepared. I'll see you in the surgery room around 01.00 PM, okay?"

Begitu dokter menyapa saya pagi itu setelah dia melakukan kontrol terakhir sebelum operasi. Ya, hari itu sudah kami sepakati sebagai hari di mana sang dokter nan ramah dan lembut itu mengangkat dua tumor dari payudara kanan saya. Hari yang sudah saya tunggu-tunggu selama enam bulan terakhir, sejak saya pertama kali didagnosa memiliki dua "tamu" kecil yang bersarang di payudara saya. Semua sudah saya ceritakan sebelumnya di sini.

"Everything will be allright. You're young, nothing to be worry about."

Saya tahu, dokter bisa merasakan kegelisahan saya. Tapi saat itu saya tahu, ini keputusan yang tepat yang sudah melewati enam bulan masa pemikiran dan observasi. Saya dan dokter itu tidak mungkin salah lagi. I have to do this. WE have to do this.

Hari itu saya sudah menyiapkan semua pakaian di koper kecil saya. Jadi lah saya ditemani Mama dan Tante saya melangkah masuk ke ruang perawatan. Saya melirik jam, 11.00. Masih ada beberapa jam lagi untuk sekedar menatap ke langit-langit kamar perawatan ini dan menebak-nebak, apa yang akan terjadi.

"You can change your clothes to this, okay? After that, you can rest untill before the surgery," begitu seorang suster berkata pada saya sambil menyodorkan gaun pasien yang khas itu. Untuk pertama kalinya, saya ternyata bisa juga pakai baju backless dan masih terlihat oke. Ha ha ha.

--12.00 AM

Saya tahu, perintah suster adalah untuk tidur dan beristirahat. Tapi mata dan kepala saya tidak sinkron. Tidak kompak. Jadilah saya mencoba mengalihkan perhatian dengan menonton. Tapi sayang, film box office pun tak bisa menyingkirkan kegelisahan saya hari itu. Ditambah lagi melihat Mama saya yang mencoba sok tegar, semakin menambah kegundahan saya.

"Okay, now you have to take a bath to sterilize all parts of your body. Use this," kata suster itu lagi sambil memberikan botol putih berisi cairan berwarna pink. Jujur, waktu itu saya merasa seperti sapi qurban yang siap dipotong. tapi sebelum dipotong, harus didandani dulu. Ha ha ha. Sungguh, saya berpikir seperti itu. Selesai mandi, saya pun "terpaksa" menjalani sesi "waxing" dadakan. Benar kata saya, sapi kurban.

--12.30 AM

Waktunya pun tiba. Suster datang membawa kursi roda. Saya tambah panik. "This shit is really happening," begitu saya berpikir waktu itu. Dengan belagunya, saya pun berkata pada suster, "I can walk. No need to use the wheelchair." Ternyata berkata seperti itu kepada seorang suster yang mempersiapkan saya untuk operasi adalah kesalahan total. "No you can't walk, Miss. Please obey me," jawab si suster ketus. Dan saya pun mengalah.

Saya tidak sempat pamit pada Mama dan Tante. Mereka langsung menggiring saya ke pintu yang berbeda dengan penunggu pasien. Melihat Mama sekilas pun saya tidak sempat lagi. Saya cuma mendengar suster menyuruh Mama melewati pintu yang lain. Jantung saya berdegup kencang. Saya duduk di kursi roda. Saya dibawa menuju ruang persiapan operasi. Perjalanannya hanya sekitar 5 menit. Tapi rasanya itu 5 menit terlama dalam hidup saya. Sepanjang lorong rumah sakit, rasanya semua mata tertuju pada saya. Masuk ke dalam lift pun, semua memandangi saya. Saya tidak suka.

Sampai di ruang persiapan operasi, saya diperintahkan untuk berbaring di atas tempat tidur. saya menerawang ke sekitar saya, suster sibuk mondar-mandir dengan papan chart pasien di tangan mereka. Dekorasi Natal terlihat hampir di seluruh bagian ruangan. Sedikit menenangkan hati, begitu saya berpikir saat itu. Ditambah lagi, lagu-lagu Natal mengalun di pengeras suara. Di sebelah saya, ada seorang wanita yang juga sedang dipersiapkan untuk memasuki ruang operasi. Tapi sepertinya wanita itu mengidap sakit yang lebih serius dari saya karena banyak sekali kabel bergantungan di dekatnya. Hiiiii...

"Hi there Miss Yetta. We're gonna prep you up before the surgery. In just a minute, anesthesiologist will come and check you up, okay," kata seorang suster. Setelah itu, dia menanyakan sedikit riwayat kesehatan saya sambil memakaikan penutup rambut ke kepala saya. Suster itu sangat ramah, berbeda dengan suster di kamar perawatan. She smiles a lot. I liked her.

"Hi there, Yetta. My name is Doctor Tan. I'm your anesthesiologist. I'll be putting a quite giant needle to your left hand now. It won't hurt at all."

And he wasn't lying. Entah karena perhatian saya teralihkan karena dokter itu super duper ganteng, atau karena dia sibuk mengajak saya berbicara dan bercanda selama dia berusaha mencari-cari pembuluh darah yang tepat di tangan saya, entahlah. Yang jelas, saya memang tidak meraskan sakit sama sekali. Tiba-tiba ada sebuah pipa yang menancap di tangan kiri saya. MagicallyWell, benar kata orang, pretty face surely able to distract you from any kinds of pain. Ha ha.

"Okay, we're gonna wait untill your doctor is here, than i'll push you to the surgery room. Relax," begitu dokter nan tampan itu membesarkan hati saya. Ditambah hiasan dan lagu Natal yang terus mengalun, sejenak saya tenang dan bisa mengatur nafas saya. Diam-diam saya berdoa dalam hati. Saya ingat saat itu saya seperti mengaku dosa dalam hati. Saya tahu, saya tidak banyak berdoa belakangan ini. Tapi saat itu, saya memohon agar Tuhan mendengar doa saya. Operasi itu harus berhasil, saya harus sehat, bebas dari tumor bodoh itu. Untuk pertama kali setelah sekian lama, saya menyerah pada kuasa Tuhan. Saya pasrah.

--01.30 PM

"Okay, your doctor is here, let's do this. Let's go." 

Sambil tersenyum Dokter Tan mulai menggiring saya menuju ruang operasi. Dalam perjalanan menuju ruang operasi itulah, dengan pandangan menatap langit-langit melewati lampu-lampu di plafon, hidup saya seperti terjadi dalam rangkaian slide show yang super cepat. Satu demi satu slide rekaman adegan demi adegan di sepanjang hidup saya sampai detik itu lewat di pikiran saya. Saya ingat sekali, momen waktu adik saya ulang tahun sewaktu kami masih kecil, tiba-tiba muncul di pikiran saya. saya ingat betul adegan kami sedang membuka kado bersama-sama. Isinya ternyata telepon mainan berwarna kuning. Aneh memang. Tapi itu yang terjadi saat itu. Kenangan-kenangan berserakan di kepala saya.

Perjalanan dari ruang persiapan ke ruang operasi tak sampai dua menit rasanya. Tapi terasa jauh lebih lama karena semua ingatan akan momen-momen terbaik saya dalam kehidupan muncul secara tiba-tiba. saya ingat, dalam hati saya berkata, "This is it. I can do this. I have to."

Akhirnya kami tiba di ruang operasi. Sayup-sayup masih terdengar lagu Jingle Bells di telinga saya. Dokter memindahkan saya ke meja operasi, merentangkan dua tangan saya ke dua panel panjang di sisi kiri dan kanan. Saya membuka mata, lampu operasi menyala terang di atas wajah. Silau sekali. Wajah saya terasa hangat, berbeda kontras dengan sekujur tubuh yang sangat dingin karena memang suhu di ruang operasi itu terasa dingin sekali.

"Okay, take a deep breath, Yetta. Relax. You'll be just fine," kata Dokter Tan yang ganteng itu sambil menaruh alat seperti mangkuk alat pernafasan menutupi mulut dan hidung saya. "Hmmm..wangi sekali uap bius ini," pikirku saat itu. Masih sadar. Saya melirik jam dinding, 01.40 PM.

"Why is it so cold in here,doc?." Itulah kalimat terakhir yang kuingat sebelum aku tertidur pulas tanpa mimpi selama dua jam.

--04.30 PM

Nafas dan detak jantung saya mulai stabil. Saya mulai sadar. Kepala saya masih berat, tapi sudah bisa berpikir dengan jernih. "Your surgery went well, Miss. everything is fine. In a moment you'll be transfered to reguler ward," kata suster ramah sambil berucap di dekat telingaku. Saya mengangguk lemah saat itu. Masih pusing tapi saya sudah sadar. "Can you make sure my Mom knows where i am, nurse?." Itu adalah kalimat pertama yang saya ucapkan setelah dua jam lebih berlalu sejak saya kehilangan kesadaran karena efek bius. "I think your Mom is outside, Miss. I'll make sure i'll tell her that you're already wake up."

Setengah jam berlalu, suster beranggapan saya sudah pulih dan siap dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Dan lagi-lagi dalam kondisi terbaring lemah, tempat tidur saya didorong menuju ruang perawatan. "Mama di mana?," cuma itu yang ada di pikiran saya saat itu. Saya belum melihat Mama sejak sebelum diboyong ke ruang persiapan sebelum operasi. Saat akhirnya tiba di ruang perawatan pun, Mama belum ada. I feel so helpless. Mereka memindahkan saya ke tempat tidur perawatan. Pipa yang disambungkan dengan infus saya lihat masih menempel di tangan. Suster lantas menyuntikkan beberapa cairan ke dalam pipa itu. Saya tidak merasakan apa-apa lagi, kecuali nyeri di bagian kanan dada.

"Ta..di sini kau rupanya. Udah selesai, ya...sehatnya kau." Ah, itu Mama. Dia datang sambil terus mengusap-usap dahi saya. "Sakit sedikitnya enggak apa-apa, ya," kata Mama sambil terus mengusap dahi saya, beralih mengusap pergelangan kaki sampai telapak kaki saya. Mungkin dia mengecek semua, apakah bagan tubuh saya masih lengkap.

Saya masih lemas sekali saat itu. Tante mengucapkan sesuatu di dekat telinga saya. "Bersyukur ya, Ta..semua udah lewat. Bersyukur," begitu kata Tante saya saat itu. Perasaan saya tak bisa saya kendalikan. Saya berusaha untuk tegar sepanjang hari itu. Saya berusaha mencerna semuanya dengan akal pikiran saya hari itu. Sejak pagi saya melakukan itu. Memilah-milah pikiran dan segala kemungkinan. Tapi menit itu, saya tahu, yang harus dilakukan memang hanya bersyukur.

Saya tidak memiliki cukup tenaga untuk berkata-kata. Tiba-tiba saya merasa sesuatu yang hangat muncul di pelupuk mata. Dan selama beberapa menit setelahnya, air mata tidak berhenti keluar dari mata saya. Menghapus airmata saja saya belum sanggup sangking lemasnya. Mama dan Tante menjadi saksi bahwa saat itulah saat terendah di hidup saya, betapa saya berserah pada kekuatan Tuhan, tak lagi mengandalkan kekuatan sendiri.  

That was my ultimate wake up call.

Momen itu mengubah hidup saya. Momen di mana airmata hangat mengalir deras tak henti dari mata saya. Momen di mana saya tahu, saya ada di sana hanya karena kuasa Tuhan, bukan karena kekuatan saya. Only by the grace of God.

I was healed.

--10 Januari 2014

Dua puluh dua hari sudah berlalu sejak hari itu. Perban masih menempel di payudara kanan saya sekarang. Ini adalah perban terakhir sebelum besok saya melepaskannya secara permanen. Saya sudah melihat bekas luka operasi saya. Dan saya senang, operasi itu meninggalkan bekas. Untuk mengingatkan betapa saya sudah melewati satu rintangan besar dalam hidup.

Kemarin, saya menerima email dari dokter yang mengoperasi saya. Email berisi hasil pemeriksaan laboratorium terhadap dua tumor yang diangkat oleh dokter. "I will send you the detail file. But i've read the result. It's non cancerous. You don't have to worry anymore. But in six months you have to check back." Dan untuk pertama kali dalam enam bulan terakhir, saya menarik nafas panjang dan berbisik, "Terima kasih, Tuhan."

Beban besar sudah terangkat dari tubuh dan jiwa saya. Dalam hati saya berjanji kepada diri saya sendiri, bahwa saya dan tubuh ini akan mencoba lebih kompak. Saya akan "mendengarkan" keluhannya, dan berhenti melakukan banyak hal yang bisa merubuhkannya lagi. Untuk kali pertama, saya benar-benar tahu bahwa saya harus berbenah dan berubah.

This past six months has been a tremendeously awfull experience for me. Full of pain, anxieties and constant worries. Tapi ada hikmah di balik semua hal, termasuk musibah ini. Saya tahu, ini adalah "alarm" terbaik yang diberikan Tuhan untuk saya. Untuk bisa berbenah, menata hidup yang terlalu berharga untuk disia-siakan ini. Saya masih punya segudang rencana, dan saya perlu untuk selalu menjadi sehat untuk bisa menjalani mimpi-mimpi saya.

Because the best is yet to come. 

But for now, what i have is enough.

:)

Yetta.