Selasa, Oktober 28, 2014

Karena Hidup Terus Berputar…



Kisah ini saya tuliskan hari ini, 28 Oktober 2014, tepat 6 tahun 6 bulan sejak pertama kali kaki ini menjejakkan kaki di gedung perusahaan ini. Tiga hari lagi, babak kehidupan saya di tempat ini berakhir. Tak ada yang abadi, saya tahu itu. Sudah sejak lama keinginan untuk meninggalkan tempat ini membuncah, tapi ternyata, Tuhan membukakan jalan dan waktu terbaik untuk saya melangkah keluar. Saya percaya, tidak ada yang kebetulan. Semua sudah dirancang-Nya dengan rancangan terbaik.

Dan sebagaimana biasanya yang saya lakukan, hari ini saya mendedikasikan waktu untuk menuliskan kisah saya di kantor ini. Cara satu-satunya yang saya tahu untuk meluapkan isi hati saya. Menulis. Menulis kisah saya di sini. Kisah yang tadinya saya pikir tidak akan berakhir hingga lanjut usia saya. Tapi ternyata Tuhan punya rencana lain. Saya harus melanjutkan mimpi ini. Entah di mana, tapi tidak di sini. Banyak mimpi dan berkat terwujud di tempat ini. Semoga semua terwakili di cerita saya ini. Kisah yang bermula tepat 6 tahun 6 bulan yang lalu...

--

Senin, 28 April 2008



Saya tiba di gedung ini, di kawasan antah berantah di Barat Jakarta. Jam belum tepat menunjukkan pukul 09.00. Tapi sesuai instruksi, saya tiba setengah jam sebelumnya, setelah membelah jalan dari Bekasi menuju Barat Jakarta. Hari itu, kantor ini terasa sepi sekali. Belakangan saya tahu, kebanyakan makhluk di sini adalah makhluk malam, nokturnal, tak bersahabat dengan pagi.

Saya dibiarkan saja duduk di sofa ruang tamu yang sempit itu. Satu jam setelahnya, seorang sekretaris menghampiri saya dan menujukkan meja tempat saya akan bekerja. Takjub rasanya. Ini kubikel pertama milik saya pribadi. Sebelumnya saya bekerja di stasiun televisi yang tidak memberikan fasilitas kubikel pribadi kepada semua karyawannya. Jadi mendapatkan kubikel pribadi dengan komputer pribadi adalah kesempatan dan fasilitas mewah untuk saya saat itu.

Waktu terus berjalan mendekati makan siang, jumlah karyawan yang datang mulai bertambah, meski satu per satu hanya berlalu dan tidak mempedulikan saya. Tidak ada instruksi, tidak ada perintah, tidak ada pekerjaan. Saya tidak pernah membayangkan hari itu, kalau semua orang yang berseliweran dan tak mempedulikan saya itu berubah menjadi bagian hidup yang saya sebut keluarga. 

Saya menghabiskan tiga jam pertama dengan berselancar di dunia maya sepuasnya. Usai makan siang, saya memberanikan diri datang menghampri sebuah meja bulat besar di depan ruang bersama. Saya duduk sendiri menonton televisi, berharap ada yang menghampiri saya dan mulai berbicara. Nyaris empat jam tidak ada yang berbicara dengan saya. Saya bingung luar biasa. Setengah jam menunggu, akhirnya doa saya terjawab. Seorang wanita menghampiri dan duduk bersama saya. Mbak Erwin namanya. Reporter Boga di Desk wanita. Dialah orang pertama yang berbicara dengan saya hari itu.

Siang terlewati, bahkan Redaktur saya kala  tidak menyapa terlalu banyak dan tidak memberikan penugasan apapun. Sampai sore berlalu dan waktu pulang kantor mendekat, saya tidak diberi tugas. Yang terlintas di kepala waktu itu cuma satu, “Ini kantor apaan sih?. Mana sepi banget gini, enggak ada orang!”. Di penghujung hari, saya pun pulang dengan perasaan campur aduk. 

Hari pertama kerja was supposed to be fun, tapi saya justru tidak diberi tugas apapun, hanya duduk nyaris sembilan jam lamanya memandangi layar monitor.


And you know what, kejadian ini berlangsung seminggu penuh!

(Belakangan saya tahu, sepertinya sudah jadi kebiasaan di sini untuk tidak mempedulikan anak baru selama beberapa saat. Semacam ospeknya lah. Hal serupa saya lakukan saat menjadi Redaktur terhadap reporter baru saya. Hi hi hi. And it was fun indeed.).

--

Sepekan setelahnya, Senin, 5 Mei 2008

Pagi itu, di meja saya sudah tersuguh satu eksemplar tabloid terbaru. Dengan hati-hati saya membukanya. Dan saat menemukan tulisan saya, yang ukurannya hanya seperempat halaman itu tercetak di sana, rasanya tak terdefinisikan dengan kata-kata. Ini untuk pertama kalinya saya melihat nama dan tulisan saya terpampang di media cetak nasional. Itulah hasil liputan dan tulian pertama saya di sini. Artikel mungil yang bercerita soal sosok Kamila, sutradara perempuan muda, putri dari sutradara kenamaan, Garin Nugroho, yang baru merintis kariernya sebagai sutradara mengikuti jejak ayahnya.

Tak lekang senyum di wajah saya selama beberapa menit memandangi artikel itu. Bangganya luar biasa, sampai menusuk tulang. Sampai sekarang saya masih menyimpan artikel itu. Artikel yang kemudian menjadi awal dari banyak artikel lain, pencapaian lain, berkat lain, mimpi-mimpi lain yang terwujud selama di sini.  Saat itu saya tahu, saya punya masa depan di sini. Saya bisa melakukannya. I can do it.

Saya saja segitu bangganya, maka tak terbayang bangganya orang tua saya saat membaca tulisan saya pertama kalinya. Bukan soal isi artikelnya, tapi soal melihat nama saya tercetak di penghujung artikel. Sejak saat itu, orang tua saya, Bapak terutama, tak pernah absen membeli tabloid setiap Senin selama beberapa tahun.

Artikel pertama saya yang terbit di media ini

--

Selasa, 28 Oktober 2014

Terlalu banyak kenangan, terlalu banyak tawa, canda dan kebahagiaan yang saya dapatkan selama menempuh karier saya di tempat ini. Teman, sahabat dan keluarga, itu yang terutama. Setiap hari selama 6 tahun 6 bulan ini, saya menghabiskan nyaris separuh hidup saya bersama teman-teman di sini. Beberapa hari ini, mengumpulkan foto-foto lama saja mampu mengingatkan semua kenangan indah itu.

Saya memutuskan, kebahagiaan, tawa dan canda itu saja yang akan saya ingat saat saya melangkahkan kaki keluar dari tempat ini beberapa hari lagi. Saya akui, rasa cinta terhadap institusi ini memang tak seperti saat dulu pertama kali berkenalan dengannya. Nyaris dua tahun lalu, semua luntur…Cinta itu luntur seiring dengan hujaman konflik, tekanan dan beban yang sudah semakin tidak masuk akal. Bekerja di sini bukan lagi soal menyelesaikan tugas tapi lebih menahan perih dengan kondisi "lingkungan" yang tak lagi bersahabat. Itulah yang saya rasakan selama dua tahun terakhir. Tapi sekuat tenaga saya mencoba bertahan di kondisi tersebut. 

Tapi sekuat apapun saya bertahan, rasanya konyol harus bertahan dengan "mereka" yang bahkan tidak menginginkan keberadaan saya lagi. Kondisi seperti itu yang menyesakkan saya.

Kondisi yang terlalu berat, sampai-sampai fisik saya tidak bisa menahannya dan kondisi kesehatan saya mulai terganggu cukup serius. Dan sejak saat itu, saya memutuskan untuk merelakan cinta saya pada institusi ini melayang ke awang-awang. Saya melepaskan semuanya. Dan saya tidak mau mengenang itu lagi. Semua sudah terhapus bersama air mata dan amarah. Sekarang yang tersisa hanya kenangan bahagia itu. Kalaupun ada air mata, semua hanya ungkapan rasa bahagia dan haru saja.

Yang tersisa hanya tawa di meja bundar, di sofa depan televisi, candaan di kantin, suara-suara bahagia sambil berebutan makanan dan tangis haru saat mendapatkan berita eksklusif. Hanya itu yang ingin saya ingat.

Ah, saya jadi mewek lagi......

………

Percayalah, tak ada yang saya sesali selama 6 tahun 6 bulan ini. Semua terlalu indah. Bahkan "siksaan" jiwa dan raga yang menghujam tak lagi saya ingat. Di hari-hari terakhir ini, sungguh saya ingin mengembalikan cinta yang sudah pudar dua tahun yang lalu. Saya berusaha keras. Tapi saya tak lagi menemukannya. Sepertinya memang ini saat yang tepat untuk mengakhirinya.

Tapi saya tidak akan bisa melepaskan identitas sebagai penghuni kantor ini selamanya. Bagaimana pun juga, ini kantor terlama yang pernah saya tempati. Saya memberikan 100 persen kemampuan saya selama 6 tahun 6 bulan. Saya belajar terlalu banyak di sini. Soal menulis, soal menjalin relasi, soal menghadapi banyak karakter, soal bersahabat, dan yang terpenting, soal hidup. Di beberapa hari terakhir ini saya tahun persis, hidup saya harus berjalan. Saya yakin dan percaya, ini jalan terbaik bagi saya untuk melanjutkan hidup. 

Sudah tiba waktunya untuk saya mengemas mimpi di tempat ini dan merintis mimpi baru di tempat lain. Tuhan menunjukkan waktu dan momen paling tepat untuk saya meninggalkan tempat ini. Tidak dua tahun lalu, saat saya merasa hidup saya berada di titik nadir. Tidak satu tahun lalu, saat saya mengalami masa terberat dalam hidup. Tapi sekarang, justru di saat saya tidak sedang berpikir untuk berhenti bekerja. At the least expected time. Dan rasanya tidak akan ada waktu yang lebih tepat dari sekarang.

Banyak yang bertanya, “Setelah ini apa, Yetta?”. Jujur, saya pun tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Tapi saya yakin, sebagaimana halnya Tuhan membuka jalan untuk saya berhenti dari sini dan menutup pintu rezeki saya di sini, seperti itu pula Dia akan membukakan jalan rezeki yang baru kelak. Beberapa rencana sudah terlintas di pikiran, tapi saat ini saya hanya ingin menikmati hidup terlebih dahulu. Hidup yang rasanya banyak terlewatkan selama 6 tahun 6 bulan ini karena kesibukan di pekerjaan.

Saya ingin berkumpul dengan keluarga dulu, berlibur bersama Bapak dan Mama dan adik saya. Liburan yang sudah tertunda sejak bertahun-tahun lamanya. Sekarang saya ingin menuntaskan utang itu pada keluarga saya. I owe them that much. Saya ingin menikmati waktu tanpa cemas dengan jumlah setoran tulisan dan deadline. Saya ingin menarik nafas panjang tanpa khawatir dengan utang tulisan saya. Dan saya siap mewujudkan mimpi-mimpi baru saya.
Karena itu, tulus dari relung hati terdalam saya, hanya ucapan terimakasih yang bisa terucap. Pada kalian semua, rekan kerja, sahabat yang sudah saya sebut sebagai keluarga di hati saya. Kalau bukan karena kalian, beban selama 6 tahun 6 bulan ini tidak akan bisa saya lewati dengan baik. Sudah seharusnya saya pergi sekarang, meninggalkan semua ini. Semoga saya sudah (dengan cara apapun) berhasil menorehkan kenangan baik dan indah di benak kalian semua.

Maaf, jika saya pernah menyakiti hati kalian. Maaf, jika terkadang (bahkan sering) ucapan, pikiran dan tindakan ini tak menyenangkan hati banyak orang. Pecayalah, tak pernah saya berniat untuk menyakiti. Maafkan saya untuk itu semua…

Saya tahu, saya adalah pribadi yang menyebalkan. Tapi untuk pertama kalinya, ingatlah saya seperti saya apa adanya. Jangan ingat dengan suara keras saya saat marah, tapi ingatlah suara keras saya saat saya tertawa. Jangan ingat air mata kesedihan saya yang tertuang di ruang rapat itu, tapi ingatlah mata saya yang berkaca-kaca setiap memandang sampul tabloid saat ulangtahun ke-25 media ini. 







Ingat saya karena cinta. Cinta yang sama-sama kita miliki untuk pekerjaan dan media ini. Karena hanya itu yang bisa merekatkan kita di masa depan…Cinta…


28 April 2008 - 31 Oktober 2014. Good times.

Terimakasih…

Saya, Yetta Angelina, jurnalis Tabloid Nova (28 April 2008-31 Oktober 2014).

Senin, Oktober 06, 2014

Bagiku, Butuh Sewindu untuk Mengaku...

Delapan tahun sudah berlalu sejak pertama kali kaki ini menjejak di ibukota sebagai pendatang tetap. Delapan tahun lalu, aku datang dengan harapan bisa menaklukkan ibukota. Sekarang, delapan tahun kemudian, keinginan untuk berjuang itu semakin memudar. Mungkin seiring pertambahan usia. Lagipula, delapan tahun terakhir kuhabiskan dengan perjuangan, setiap hari, sejak membuka mata ini di pagi hari.

Delapan tahun kemudian, ibukota memberikan banyak hal padaku. Sekaligus merenggut banyak hal pula. Pekerjaan yang baik dibalas dengan waktu bersama keluarga yang minim. Rezeki yang lumayan harus ditebus dengan teman-teman yang menghilang karena kesibukan. Kuterima semuanya sebagai resiko perjuangan menaklukkan ibukota.

Tapi semakin hari, raga ini semakin lelah. Usia semakin menggerus, dan ibukota tak lagi terasa menantang. Tak lagi terlalu menarik untuk ditaklukkan. Semakin hari, keinginan untuk pulang semakin tinggi. Tak ingin menua di ibukota, itu yang selalu tertanam di kepala. Ingin pulang sekali rasanya. Ke Jogja atau ke Medan.

Tapi malam ini sebuah tulisan seorang teman menginspirasiku. Sekaligus mengingatkan, bahwa jarang sekali aku bersyukur dengan banyak hal yang sudah Jakarta berikan untukku. Apapun kesalahan kota ini, sudah banyak sukacita, kegembiraan dan kebahagiaan yang diberikannya padaku. Banyak pelajaran hidup yang tak bisa tergantikan yang kudapat. Sekarang, di saat keinginan untuk pulang semakin menguat, rasa cinta terhadap Jakarta mulai muncul.

Benar kata seorang penulis, hanya mereka yang bermukim di Jakarta yang bisa memahami jiwa sesama penghuni kota ini. Berjibaku menaklukkan jalanan, diserang rasa cemas tak tentu jika hujan turun lebih dari 30 menit, was-was duduk di angkutan umum di malam hari, tak ada yang bisa memahami kondisi itu selain mereka para penghuni Jakarta.

Delapan tahun berlalu, malam ini setitik cinta untuk ibukota muncul di benakku. Meski fakta itu tak mengubah keinginan untuk pulang dan meninggalkan ini semua. Hanya saja, aku bersyukur. Meski bagiku butuh sewindu untuk menyadari bahwa kota ini sungguh bermakna, aku tak malu. Meski butuh sewindu, aku tahu, kota ini mengajarkanku untuk bisa bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Bisa tersenyum di tengah udara yang menyesakkan, bisa tersenyum di tengah kepenatan dan akhirnya bersyukur di tengah kekurangan.

Delapan tahun yang berat, tapi diselingi tawa dan banyak kebahagiaan membuatku sadar satu hal. Jakarta akan selalu ada di hati ini. Bukan tujuan akhir dan bukan akhir mimpi. Tapi rasanya, setelah delapan tahun di sini, ke manapun kaki ini akan melangkah nanti setelah ini, rasanya tidak akan ada yang lebih berat dari ini.

Bahkan jika harus memulai dari nol di tempat lain, rasanya aku akan baik-baik saja. And i have Jakarta to thank for that courage built within me. You make me strong, Jakarta.

And for that, i thank you. From the very bottom of my heart.