Senin, Oktober 06, 2014

Bagiku, Butuh Sewindu untuk Mengaku...

Delapan tahun sudah berlalu sejak pertama kali kaki ini menjejak di ibukota sebagai pendatang tetap. Delapan tahun lalu, aku datang dengan harapan bisa menaklukkan ibukota. Sekarang, delapan tahun kemudian, keinginan untuk berjuang itu semakin memudar. Mungkin seiring pertambahan usia. Lagipula, delapan tahun terakhir kuhabiskan dengan perjuangan, setiap hari, sejak membuka mata ini di pagi hari.

Delapan tahun kemudian, ibukota memberikan banyak hal padaku. Sekaligus merenggut banyak hal pula. Pekerjaan yang baik dibalas dengan waktu bersama keluarga yang minim. Rezeki yang lumayan harus ditebus dengan teman-teman yang menghilang karena kesibukan. Kuterima semuanya sebagai resiko perjuangan menaklukkan ibukota.

Tapi semakin hari, raga ini semakin lelah. Usia semakin menggerus, dan ibukota tak lagi terasa menantang. Tak lagi terlalu menarik untuk ditaklukkan. Semakin hari, keinginan untuk pulang semakin tinggi. Tak ingin menua di ibukota, itu yang selalu tertanam di kepala. Ingin pulang sekali rasanya. Ke Jogja atau ke Medan.

Tapi malam ini sebuah tulisan seorang teman menginspirasiku. Sekaligus mengingatkan, bahwa jarang sekali aku bersyukur dengan banyak hal yang sudah Jakarta berikan untukku. Apapun kesalahan kota ini, sudah banyak sukacita, kegembiraan dan kebahagiaan yang diberikannya padaku. Banyak pelajaran hidup yang tak bisa tergantikan yang kudapat. Sekarang, di saat keinginan untuk pulang semakin menguat, rasa cinta terhadap Jakarta mulai muncul.

Benar kata seorang penulis, hanya mereka yang bermukim di Jakarta yang bisa memahami jiwa sesama penghuni kota ini. Berjibaku menaklukkan jalanan, diserang rasa cemas tak tentu jika hujan turun lebih dari 30 menit, was-was duduk di angkutan umum di malam hari, tak ada yang bisa memahami kondisi itu selain mereka para penghuni Jakarta.

Delapan tahun berlalu, malam ini setitik cinta untuk ibukota muncul di benakku. Meski fakta itu tak mengubah keinginan untuk pulang dan meninggalkan ini semua. Hanya saja, aku bersyukur. Meski bagiku butuh sewindu untuk menyadari bahwa kota ini sungguh bermakna, aku tak malu. Meski butuh sewindu, aku tahu, kota ini mengajarkanku untuk bisa bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Bisa tersenyum di tengah udara yang menyesakkan, bisa tersenyum di tengah kepenatan dan akhirnya bersyukur di tengah kekurangan.

Delapan tahun yang berat, tapi diselingi tawa dan banyak kebahagiaan membuatku sadar satu hal. Jakarta akan selalu ada di hati ini. Bukan tujuan akhir dan bukan akhir mimpi. Tapi rasanya, setelah delapan tahun di sini, ke manapun kaki ini akan melangkah nanti setelah ini, rasanya tidak akan ada yang lebih berat dari ini.

Bahkan jika harus memulai dari nol di tempat lain, rasanya aku akan baik-baik saja. And i have Jakarta to thank for that courage built within me. You make me strong, Jakarta.

And for that, i thank you. From the very bottom of my heart.

0 komentar: