Jumat, Januari 10, 2014

Only By The Grace of God.

Saya suka sekali menonton serial Grey's Anatomy. Sudah 10 musim penayangannya saat ini, saya tidak pernah melewatkan satu episode pun. Entah kenapa, kehidupan di ruang-ruang rumah sakit dan intrik kisah seorang dokter di karier dan kehidupan pribadinya menarik saya untuk mengikuti episode demi episodenya. Hampir setiap episode di Grey's Anatomy memperlihatkan kesibukan di ruang gawat darurat, ICU hingga ruang operasi sebuah rumah sakit. Saya selalu melihat itu semua sebagai paket tayangan televisi yang menarik.

Adegan di mana seorang pasien terbaring di tempat tidur sambil didorong menuju kamar operasi sambil melewati lorong-lorong rumah sakit, dengan sudut pandang pasien, menengadah ke langit-langit rumah sakit, selalu menjadi adegan favorit saya. Sering kali, saya menonton adegan itu sambil bertanya-tanya, apa yang sedang dirasakan pasien itu saat perjalanan menuju ruang operasi, ya?

Dan benar kata orang, "Be careful of what you wished for". Belum genap sebulan lalu, saya menjadi "aktor" di adegan Grey's Anatomy versi saya. Saya yang terbujur di tempat tidur itu, dikelilingi suster yang mendorong tempat tidur saya melewati lorong-lorong rumah sakit. Mata saya yang menatap langit-langit rumah sakit menuju ruang operasi. Sampai detik ini pun saya tidak bisa percaya saya melewati semua itu.

Saya ingin merekam ingatan saya akan semua proses itu, supaya kelak saya tahu mengingat masa-masa terburuk saya. Karena itu saya menuliskan cerita saya ini.

--19 Desember 2013, 04.10 PM

"Miss Yetta! Miss Yetta! Wake up! Your surgery is over. You're in an intensive care unit right now. Wake up, Miss!".

Sayup-sayup, itu yang saya dengar di telinga ini. Terus terang, saya teler total. Saya tidak ingat apa yang terjadi sebelum itu. Saat mata saya mulai membuka perlahan, saya dikelilingi kurang lebih enam suster. Semua memegang bagian tubuh saya. Salah satu dari mereka lah yang mengucapkan kalimat itu di dekat telinga saya sambil menepuk pipi saya.

Reaksi pertama saya langsung sedikit berontak. Saya ingin duduk, tapi entah kenapa, banyak kabel yang menahan saya. Kepala saya juga terasa 10 kali lebih berat. Terakhir saya ingat, saya masuk ruang operasi dengan satu infus di tangan kiri saya. Tapi saat itu, dua infus menempel di kedua tangan, ditambah banyak peralatan lain menempel. Belum lagi alat pernafasan yang menutup setengah wajah saya. Panik, itu yang saya rasakan.

"We have to do this, Miss. This is the regular procedure after you went on a surgery. we have to gradually check your condition before you can go to regular room."

Begitu saya mendengar lagi suster berbisik di telinga saya. Saya melirik jam di dinding di depan saya, hampir 16.10. Terakhir saya melihat jam, angka menunjukkan 13.40. Itu artinya, saya "tewas" selama 2 jam lebih. Kepala berputar keras, saya tidak sanggup berpikir. Karena itu saya biarkan tubuh dan kepala beristirahat. Sekeras apapun saya mencoba, toh saya tidak mengingat apapun yang terjadi selama 2 jam belakangan.

Satu yang saya rasakan, rasa hangat dan sedikit nyeri menjalar di sebelah kanan dadaku. Saat itu saya tahu, operasi itu benar-benar sudah selesai.

--10 AM, earlier that morning.

"It says here that you've been fasting since 08.30 AM, right? I've checked on everything and you're fit for surgery. You'll be my first case today. Now you can move to the ward and get prepared. I'll see you in the surgery room around 01.00 PM, okay?"

Begitu dokter menyapa saya pagi itu setelah dia melakukan kontrol terakhir sebelum operasi. Ya, hari itu sudah kami sepakati sebagai hari di mana sang dokter nan ramah dan lembut itu mengangkat dua tumor dari payudara kanan saya. Hari yang sudah saya tunggu-tunggu selama enam bulan terakhir, sejak saya pertama kali didagnosa memiliki dua "tamu" kecil yang bersarang di payudara saya. Semua sudah saya ceritakan sebelumnya di sini.

"Everything will be allright. You're young, nothing to be worry about."

Saya tahu, dokter bisa merasakan kegelisahan saya. Tapi saat itu saya tahu, ini keputusan yang tepat yang sudah melewati enam bulan masa pemikiran dan observasi. Saya dan dokter itu tidak mungkin salah lagi. I have to do this. WE have to do this.

Hari itu saya sudah menyiapkan semua pakaian di koper kecil saya. Jadi lah saya ditemani Mama dan Tante saya melangkah masuk ke ruang perawatan. Saya melirik jam, 11.00. Masih ada beberapa jam lagi untuk sekedar menatap ke langit-langit kamar perawatan ini dan menebak-nebak, apa yang akan terjadi.

"You can change your clothes to this, okay? After that, you can rest untill before the surgery," begitu seorang suster berkata pada saya sambil menyodorkan gaun pasien yang khas itu. Untuk pertama kalinya, saya ternyata bisa juga pakai baju backless dan masih terlihat oke. Ha ha ha.

--12.00 AM

Saya tahu, perintah suster adalah untuk tidur dan beristirahat. Tapi mata dan kepala saya tidak sinkron. Tidak kompak. Jadilah saya mencoba mengalihkan perhatian dengan menonton. Tapi sayang, film box office pun tak bisa menyingkirkan kegelisahan saya hari itu. Ditambah lagi melihat Mama saya yang mencoba sok tegar, semakin menambah kegundahan saya.

"Okay, now you have to take a bath to sterilize all parts of your body. Use this," kata suster itu lagi sambil memberikan botol putih berisi cairan berwarna pink. Jujur, waktu itu saya merasa seperti sapi qurban yang siap dipotong. tapi sebelum dipotong, harus didandani dulu. Ha ha ha. Sungguh, saya berpikir seperti itu. Selesai mandi, saya pun "terpaksa" menjalani sesi "waxing" dadakan. Benar kata saya, sapi kurban.

--12.30 AM

Waktunya pun tiba. Suster datang membawa kursi roda. Saya tambah panik. "This shit is really happening," begitu saya berpikir waktu itu. Dengan belagunya, saya pun berkata pada suster, "I can walk. No need to use the wheelchair." Ternyata berkata seperti itu kepada seorang suster yang mempersiapkan saya untuk operasi adalah kesalahan total. "No you can't walk, Miss. Please obey me," jawab si suster ketus. Dan saya pun mengalah.

Saya tidak sempat pamit pada Mama dan Tante. Mereka langsung menggiring saya ke pintu yang berbeda dengan penunggu pasien. Melihat Mama sekilas pun saya tidak sempat lagi. Saya cuma mendengar suster menyuruh Mama melewati pintu yang lain. Jantung saya berdegup kencang. Saya duduk di kursi roda. Saya dibawa menuju ruang persiapan operasi. Perjalanannya hanya sekitar 5 menit. Tapi rasanya itu 5 menit terlama dalam hidup saya. Sepanjang lorong rumah sakit, rasanya semua mata tertuju pada saya. Masuk ke dalam lift pun, semua memandangi saya. Saya tidak suka.

Sampai di ruang persiapan operasi, saya diperintahkan untuk berbaring di atas tempat tidur. saya menerawang ke sekitar saya, suster sibuk mondar-mandir dengan papan chart pasien di tangan mereka. Dekorasi Natal terlihat hampir di seluruh bagian ruangan. Sedikit menenangkan hati, begitu saya berpikir saat itu. Ditambah lagi, lagu-lagu Natal mengalun di pengeras suara. Di sebelah saya, ada seorang wanita yang juga sedang dipersiapkan untuk memasuki ruang operasi. Tapi sepertinya wanita itu mengidap sakit yang lebih serius dari saya karena banyak sekali kabel bergantungan di dekatnya. Hiiiii...

"Hi there Miss Yetta. We're gonna prep you up before the surgery. In just a minute, anesthesiologist will come and check you up, okay," kata seorang suster. Setelah itu, dia menanyakan sedikit riwayat kesehatan saya sambil memakaikan penutup rambut ke kepala saya. Suster itu sangat ramah, berbeda dengan suster di kamar perawatan. She smiles a lot. I liked her.

"Hi there, Yetta. My name is Doctor Tan. I'm your anesthesiologist. I'll be putting a quite giant needle to your left hand now. It won't hurt at all."

And he wasn't lying. Entah karena perhatian saya teralihkan karena dokter itu super duper ganteng, atau karena dia sibuk mengajak saya berbicara dan bercanda selama dia berusaha mencari-cari pembuluh darah yang tepat di tangan saya, entahlah. Yang jelas, saya memang tidak meraskan sakit sama sekali. Tiba-tiba ada sebuah pipa yang menancap di tangan kiri saya. MagicallyWell, benar kata orang, pretty face surely able to distract you from any kinds of pain. Ha ha.

"Okay, we're gonna wait untill your doctor is here, than i'll push you to the surgery room. Relax," begitu dokter nan tampan itu membesarkan hati saya. Ditambah hiasan dan lagu Natal yang terus mengalun, sejenak saya tenang dan bisa mengatur nafas saya. Diam-diam saya berdoa dalam hati. Saya ingat saat itu saya seperti mengaku dosa dalam hati. Saya tahu, saya tidak banyak berdoa belakangan ini. Tapi saat itu, saya memohon agar Tuhan mendengar doa saya. Operasi itu harus berhasil, saya harus sehat, bebas dari tumor bodoh itu. Untuk pertama kali setelah sekian lama, saya menyerah pada kuasa Tuhan. Saya pasrah.

--01.30 PM

"Okay, your doctor is here, let's do this. Let's go." 

Sambil tersenyum Dokter Tan mulai menggiring saya menuju ruang operasi. Dalam perjalanan menuju ruang operasi itulah, dengan pandangan menatap langit-langit melewati lampu-lampu di plafon, hidup saya seperti terjadi dalam rangkaian slide show yang super cepat. Satu demi satu slide rekaman adegan demi adegan di sepanjang hidup saya sampai detik itu lewat di pikiran saya. Saya ingat sekali, momen waktu adik saya ulang tahun sewaktu kami masih kecil, tiba-tiba muncul di pikiran saya. saya ingat betul adegan kami sedang membuka kado bersama-sama. Isinya ternyata telepon mainan berwarna kuning. Aneh memang. Tapi itu yang terjadi saat itu. Kenangan-kenangan berserakan di kepala saya.

Perjalanan dari ruang persiapan ke ruang operasi tak sampai dua menit rasanya. Tapi terasa jauh lebih lama karena semua ingatan akan momen-momen terbaik saya dalam kehidupan muncul secara tiba-tiba. saya ingat, dalam hati saya berkata, "This is it. I can do this. I have to."

Akhirnya kami tiba di ruang operasi. Sayup-sayup masih terdengar lagu Jingle Bells di telinga saya. Dokter memindahkan saya ke meja operasi, merentangkan dua tangan saya ke dua panel panjang di sisi kiri dan kanan. Saya membuka mata, lampu operasi menyala terang di atas wajah. Silau sekali. Wajah saya terasa hangat, berbeda kontras dengan sekujur tubuh yang sangat dingin karena memang suhu di ruang operasi itu terasa dingin sekali.

"Okay, take a deep breath, Yetta. Relax. You'll be just fine," kata Dokter Tan yang ganteng itu sambil menaruh alat seperti mangkuk alat pernafasan menutupi mulut dan hidung saya. "Hmmm..wangi sekali uap bius ini," pikirku saat itu. Masih sadar. Saya melirik jam dinding, 01.40 PM.

"Why is it so cold in here,doc?." Itulah kalimat terakhir yang kuingat sebelum aku tertidur pulas tanpa mimpi selama dua jam.

--04.30 PM

Nafas dan detak jantung saya mulai stabil. Saya mulai sadar. Kepala saya masih berat, tapi sudah bisa berpikir dengan jernih. "Your surgery went well, Miss. everything is fine. In a moment you'll be transfered to reguler ward," kata suster ramah sambil berucap di dekat telingaku. Saya mengangguk lemah saat itu. Masih pusing tapi saya sudah sadar. "Can you make sure my Mom knows where i am, nurse?." Itu adalah kalimat pertama yang saya ucapkan setelah dua jam lebih berlalu sejak saya kehilangan kesadaran karena efek bius. "I think your Mom is outside, Miss. I'll make sure i'll tell her that you're already wake up."

Setengah jam berlalu, suster beranggapan saya sudah pulih dan siap dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Dan lagi-lagi dalam kondisi terbaring lemah, tempat tidur saya didorong menuju ruang perawatan. "Mama di mana?," cuma itu yang ada di pikiran saya saat itu. Saya belum melihat Mama sejak sebelum diboyong ke ruang persiapan sebelum operasi. Saat akhirnya tiba di ruang perawatan pun, Mama belum ada. I feel so helpless. Mereka memindahkan saya ke tempat tidur perawatan. Pipa yang disambungkan dengan infus saya lihat masih menempel di tangan. Suster lantas menyuntikkan beberapa cairan ke dalam pipa itu. Saya tidak merasakan apa-apa lagi, kecuali nyeri di bagian kanan dada.

"Ta..di sini kau rupanya. Udah selesai, ya...sehatnya kau." Ah, itu Mama. Dia datang sambil terus mengusap-usap dahi saya. "Sakit sedikitnya enggak apa-apa, ya," kata Mama sambil terus mengusap dahi saya, beralih mengusap pergelangan kaki sampai telapak kaki saya. Mungkin dia mengecek semua, apakah bagan tubuh saya masih lengkap.

Saya masih lemas sekali saat itu. Tante mengucapkan sesuatu di dekat telinga saya. "Bersyukur ya, Ta..semua udah lewat. Bersyukur," begitu kata Tante saya saat itu. Perasaan saya tak bisa saya kendalikan. Saya berusaha untuk tegar sepanjang hari itu. Saya berusaha mencerna semuanya dengan akal pikiran saya hari itu. Sejak pagi saya melakukan itu. Memilah-milah pikiran dan segala kemungkinan. Tapi menit itu, saya tahu, yang harus dilakukan memang hanya bersyukur.

Saya tidak memiliki cukup tenaga untuk berkata-kata. Tiba-tiba saya merasa sesuatu yang hangat muncul di pelupuk mata. Dan selama beberapa menit setelahnya, air mata tidak berhenti keluar dari mata saya. Menghapus airmata saja saya belum sanggup sangking lemasnya. Mama dan Tante menjadi saksi bahwa saat itulah saat terendah di hidup saya, betapa saya berserah pada kekuatan Tuhan, tak lagi mengandalkan kekuatan sendiri.  

That was my ultimate wake up call.

Momen itu mengubah hidup saya. Momen di mana airmata hangat mengalir deras tak henti dari mata saya. Momen di mana saya tahu, saya ada di sana hanya karena kuasa Tuhan, bukan karena kekuatan saya. Only by the grace of God.

I was healed.

--10 Januari 2014

Dua puluh dua hari sudah berlalu sejak hari itu. Perban masih menempel di payudara kanan saya sekarang. Ini adalah perban terakhir sebelum besok saya melepaskannya secara permanen. Saya sudah melihat bekas luka operasi saya. Dan saya senang, operasi itu meninggalkan bekas. Untuk mengingatkan betapa saya sudah melewati satu rintangan besar dalam hidup.

Kemarin, saya menerima email dari dokter yang mengoperasi saya. Email berisi hasil pemeriksaan laboratorium terhadap dua tumor yang diangkat oleh dokter. "I will send you the detail file. But i've read the result. It's non cancerous. You don't have to worry anymore. But in six months you have to check back." Dan untuk pertama kali dalam enam bulan terakhir, saya menarik nafas panjang dan berbisik, "Terima kasih, Tuhan."

Beban besar sudah terangkat dari tubuh dan jiwa saya. Dalam hati saya berjanji kepada diri saya sendiri, bahwa saya dan tubuh ini akan mencoba lebih kompak. Saya akan "mendengarkan" keluhannya, dan berhenti melakukan banyak hal yang bisa merubuhkannya lagi. Untuk kali pertama, saya benar-benar tahu bahwa saya harus berbenah dan berubah.

This past six months has been a tremendeously awfull experience for me. Full of pain, anxieties and constant worries. Tapi ada hikmah di balik semua hal, termasuk musibah ini. Saya tahu, ini adalah "alarm" terbaik yang diberikan Tuhan untuk saya. Untuk bisa berbenah, menata hidup yang terlalu berharga untuk disia-siakan ini. Saya masih punya segudang rencana, dan saya perlu untuk selalu menjadi sehat untuk bisa menjalani mimpi-mimpi saya.

Because the best is yet to come. 

But for now, what i have is enough.

:)

Yetta.






5 komentar:

Angela mengatakan...

Dear mbak Yetta,

Boleh saya meminta nama dokter dan nama RS di Penang?

Terima kasih

Angela (angela1705@live.com)

Vina mengatakan...

Dear mba Yetta,

Mama saya punya benjolan di ketiak dan sekarang mau coba cari second opinion
Boleh minta contact details dokter indo yg praktek di 6 RS dan dokter yang di Penang mba?

Makasih banyak,
Vina (vdanica0@gmail.com)

Unknown mengatakan...

Dear Mba Yetta,

Boleh tolong di share nama dokter dan RS di Penang?

email saya: jesica.wijaya10@gmail.com

Terima kasih sebelumnya.

strarrynitez mengatakan...

Bisa minta nama dokter dan rs penang? Dan perkiraan biaya unt operasi fam nya? Strarrynitez@gmail.com

Unknown mengatakan...

Dear Mba Yetta,
Bisa minta nama dokter dan rs. Penang?
Terima kasih banyak atas bantuannya.
ceni19@yahoo.com