Senin, Desember 16, 2013

I Have Tumors

Sebenarnya, sudah enam bulan belakangan saya menyimpan kegelisahan saya ini. Awalnya, saya tidak mau bercerita ke banyak orang. Alasannya sederhana. Pertama, saya tidak mau dilihat dengan pandangan pilu. Hidup saya berubah 180 derajat sejak kejadian ini, dan saya tidak mau orang melihat saya berbeda. Karena saya tidak berbeda. Saya Yetta yang sama, meski dengan beban hidup berbeda.

Kedua, saya sudah mulai lelah bercerita berulang-ulang mengenai kondisi saya ini. Dan saya tidak mau ada prasangka buruk mengenai kealpaan saya di banyak aspek seperti pekerjaan dan aktivitas sosial sebagai akibat dari kondisi saya ini. Karena itu, lewat tulisan ini saya mau bercerita. Semoga ada yang cukup tertarik untuk menyimak kisah ini hingga akhir. Soalnya, lumayan panjang nih! :)

Jadi, begini ceritanya...

---
                  I Have Tumors.

--12 Juni 2013--

Hari itu tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya. Pagi, saya sudah duduk rapi di ruang tunggu medical check up RS. Siloam, Kebon Jeruk. Hari itu, saya dijadwalkan bertemu dengan dokter umum yang akan membantu saya membaca hasil ultrasonografi (USG) di kedua payudara saya. Ya, tiga hari sebelumnya, saya menjalani pemeriksaan ultrasonografi di tempat yang sama.

Sebelum saya melanjutkan cerita, saya ingin menjawab pertanyaan yang banyak dilontarkan ke saya. "Memangnya kenapa kamu tiba-tiba periksa USG? Emang sakit? Atau bagaimana?". Tidak. Secara fisik saya tidak sakit. Tapi memang selama beberapa tahun belakangan, saya merasa ada yang salah. Kalian tahu kan, ada saat di mana kita merasa ada sesuatu yang salah sedang terjadi di tubuh kita? Sekarang saya menyimpulkan bahwa rasa itu menjalankan fungsinya sebagai "alarm" pengingat untuk saya. Mengingatkan untuk berhenti sejenak dan merasakan lebih dalam.

Alasan lainnya, boleh saja dianggap klise, tapi saya adalah salah satu perempuan yang terkena "Angelina Effect", begitu majalah TIME menyebutnya di edisi dengan tampilan siluet Angelina Jolie di sampulnya. Angelina Effect tertulis sebagai headline utamanya. Sesaat setelah saya membaca surat terbuka dari Angelina Jolie yang diterbitkan oleh New York Times, saya sadar, surat terbuka itu adalah "alarm" saya. Bagi yang belum begitu paham, di pertengahan tahun ini Angelina Jolie mengguncang dunia dengan publikasi surat terbuka yang menceritakan bahwa ia menjalani operasi double mastectomy, pengangkatan kedua payudara demi mengurangi resiko kanker payudara yang secara genetik sangat membahayakan dirinya. Angelina Jolie mengambil keputusan yang tepat dari hasil deteksi dini yang dilakukannya. Dan pesan yang disampaikannya cukup membuat saya untuk mantap memeriksakan diri lebih dini.

--11 Juni 2013, sehari sebelumnya--

Saya sendirian tergeletak di atas tempat tidur ruang medical check up RS. Siloam, Kebon Jeruk, pagi itu. Saya benci rumah sakit. Sungguh. Jadi kenyataan bahwa saya tergeletak di sana menunggu dokter dan dikelilingi peralatan medis, sungguh menciutkan nyali saya.

Untungnya, tak berapa lama, dokter datang dan langsung melakukan ritual USG. Saya tidak berani melihat layar monitor. Saya tidak punya cukup keberanian. Saya tahu, there's something wrong. My gut tells me so, and i never doubted my gut.
Semenit, dua menit, dokter masih sibuk menempelkan alat USG di dada saya. And boom! She stopped at one spot for a few seconds, and there, i just knew it. Something's wrong.

Momen itu adalah 10 menit terlama dalam hidup saya. I'm miserable. Sendiri dengan setengah bagian busana terkuak, dingin dan takut. "Ada benjolan. Dua buah. Saya tidak bisa memutuskan. Mbak harus ketemu dokter lagi untuk penjelasan detailnya," ujar si ibu dokter yang tampangnya sungguh tidak membuat saya lebih tenang.

Dari rumah sakit, saya harus kembali ke kantor. Saya harus bekerja, padahal otak dan badan saya sudah tidak sinkron bekerjasama. Saya bingung. Bingung sekali. Dan kebingungan itu berlangsung sampai sehari setelahnya, sebelum akhirnya saya duduk berhadapan dengan dokter umum lagi di ruang medical check up RS. Siloam, Kebon Jeruk. Hari itu, hari yang tak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya.

--12 Juni 2013--

"Mbak Yetta, ya? Kok mukanya tegang gitu? Tenang aja Mbak, kita coba pelajari sama-sama, ya. Semua penyakit ada obatnya." Begitu dokter cantik yang aku tidak ingat namanya itu mencoba membuka pembicaraan. Aku hanya tersenyum. Itu senyuman terakhir yang kutampilkan sepanjang hari itu karena apa yang dikatakan dokter cantik itu selanjutnya has completely CHANGED me.

"Ada dua benjolan, benar memang. Saya tidak bisa mendiagnosis sekarang, karena ada dokter spesialis yang lebih tahu soal ini. Dokter spesialis onkologi. Kami punya dr. Bernard, dr. ... bla..bla..bla.." Saya sudah tidak ingat dengan sisa kalimat dokter itu karena ingatan saya berhenti di kata "onkologi". Saya tidak terlalu paham istilah medis. Tapi saya penggemar berat serial Grey's Anatomy. Jadi saya tahu, onkologi means tumors and cancers. And at that point, i was falling apart.

Dokter memberi kalimat wejangan penuh pesan positif siang itu. Sayangnya, satu pun tidak ada yang hinggap dan menetap di kepala saya. "Saya bisa pastikan ini tumor. Dua buah. Dan ukurannya masing-masing sudah lumayan besar. Dua-duanya ada di payudara kanan," begitu dokter cantik itu menjelaskan. Saya cuma bisa diam. "Mbak Yetta tenang saja..," lanjut dokter itu lagi. I'm sorry, doc. But even your pretty face didn't seemed to calm me down. How in the world can i be calm?

Saya hanya berbincang sebentar setelah itu. Saya mendapatkan nama dokter spesialis onkologi sebagai referensi. Saya harus kembali lagi beberapa hari setelahnya untuk bisa berkonsultasi dengan dokter itu. "Everything's gonna be alright, Mbak," kata dokter itu. Kujabat tangannya dan setelahnya, yang ingin sekali kulakukan adalah lari sekencang mungkin. Tapi tidak mungkin.

Di taksi dalam perjalanan dari RS kembali ke kantor, saya sudah tidak bisa mendeskripsikan perasaan saya. Berulang kali saya berbisik dalam hati, "Jangan nangis, Yetta..You can do this, you'll survive. Jangan nangis.." Dan setiap kali saya berbisik seperti itu, mungkin hati saya berontak. Jadilah saya menangis tersedu-sedu di taksi. Tanpa suara, meski saya yakin supir taksi bisa dengan jelas melihat wajah saya yang sudah penuh air mata.

Sungguh, saya tidak ingin menangis hari itu. Saya tahu, jarak dari RS ke kantor hanya maksimal 15 menit. I don't have enough time to weep. But i can't help it. Sekuat tenaga saya coba menahan, tapi mata saya sudah seperti Bendungan Katulampa di kala siaga banjir. Tidak bisa menahan luapan air yang akan keluar.

Sampai di kantor, untungnya masih sepi. Saya mencoba menjadi normal. Tapi sekali lagi, entah kenapa, saya tidak bisa. "Benteng pertahanan" saya runtuh hari itu. Diam-diam, saya nangis sejadi-jadinya di meja saya. Untung, tidak ada yang menyadari hal itu. Tapi menangis sejadi-jadinya dalam posisi menahan suara itu sungguh tidak enak. Semua terasa sesak. Air mata saya tidak berhenti.

Semua baru bisa terkendali ketika saya menarik nafas panjang, pergi ke toilet dan membasuh muka. "I need to get myself back together," begitu kata saya dalam hati. Untungnya, beberapa orang sahabat yang memang saya beritahu soal rangkaian pemeriksaan saya hari itu cukup menguatkan saya. Bercerita pada mereka adalah hal terbaik yang pernah saya lakukan karena beban saya terangkat separuhnya. Semua jadi terasa lebih ringan.

--14 Juni 2013--

Sudah satu jam saya menunggu dokter spesialis onkologi, tapi yang bersangkutan belum juga tiba. Padahal saya meninggalkan deadline di kantor demi datang ke sana. Ditambahblagi, saya tidak suka berlama-lama di ruang tunggu praktek dokter itu. Karena ke manapun saya mendengar, pembicaraan semua pasien di sana hanyalah seputar kanker. Saya sendiri hari itu dan saya takut.

Sampai akhirnya tiba giliran saya dipanggil. "Maaf ya Mbak, saya habis operasi jadi bikin lama menunggu. Saya sudah baca hasil USG Mbak Yetta. Benar, itu tumor. Dan saya tidak bisa memberi rekomendasi apapun selain operasi. Tumor itu harus diangkat dengan operasi SEKARANG karena kemungkinan dia mengecil tidak ada. Semakin lama menunggu, semakin besar. Persoalan yang menentukan adalah, apakah Mbak sudah siap?."

Jawaban hati saya saat itu tentu saja tidak siap. Semua terjadi terlalu cepat. Semua proses sejak saya check up sampai hari itu belum genap seminggu. Semua terlalu cepat. I can't think. Saya bingung. Tapi saya salut dengan dokter itu, karena as a normal human being, saya yang mungkin terlalu control freak ini sudah meng-google sendiri penyakit saya. Dan setumpuk kertas saya diskusikan dengan dokter itu dan dia sabar menjawab semua pertanyaan sok tahu saya. Tapi tetap, jawabannya hanya satu, "Harus dioperasi, Mbak. Setelah diangkat nanti kita bisa bawa ke patologi, bisa diobservasi, apalah ada kemungkinan kanker atau tidak." WHAT??!!!?.

Beberapa hari setelahnya pun, saya anxious, cemas, tidak bisa berpikir dengan baik, bingung. What should i do? Dan sampai detik itu pun, saya belum bercerita pada keluarga saya. Tidak satupun. Saya tidak tahu bagaimana menyampaikan berita ini tanpa menangis rasanya. Dan sampai saya bisa mengontrol emosi saya, saya memutuskan untuk menyimpan kondisi saya ini hanya kepada empat orang teman dekat saya.

Sejak dulu saya terbiasa melakukan banyak hal sendiri, termasuk menyimpan dan menyelesaikan masalah. Saya sudah terpisah dari orang tua saya sejak saya merantau di usia 17 tahun. Itu berarti, sudah 13 tahun saya hidup mandiri, terbiasa melakukan banyak hal sendiri. Malah terkadang terlalu mandiri. Saya punya kesulitan untuk curhat sana-sini dengan mudahnya. Jadi, sedikit-sedikit, semua masalah saya hadapi sendiri.

Kembali ke soal dokter, saya tidak puas dengan jawaban dokter itu. Hari berlalu, saya habiskan dengan riset dokter terbaik di Jakarta yang menangani kasus seputar tumor, kanker dan bedah payudara. Dan satu nama dokter akhirnya saya temukan. Untuk mencari waktu pertemuan dengan dokter yang bersangkutan (yang sengaja tidak saya publish namanya), rasanya hampir sama dengan mengatur janji wawancara dengan presiden. Dia praktek di nyaris 6 RS ternama di Jakarta dan semua sudah fully booked. Bahkan ada satu RS yang baru bisa melayani request saya untuk konsultasi dengan beliau minimal 2 bulan ke depan. Tapi dengan segala cara dan upaya memelas, akhirnya saya mendapatkan jadwal di sebuah RS di bilangan Gatot Subroto, Jakarta, dua minggu kemudian.

Lagi-lagi, saya sendiri saat menunggu giliran menemui dokter. Di sebelah saya, ada seorang ibu ditemani anak lelakinya yang sudah remaja. Dia lebih dulu dipanggil. Saat keluar ruangan dokter, ibu itu sudah menangis dan kemudian duduk di samping saya lagi. Anak lelakinya memeluk sambil bertanya, "Gimana, Ma?". Dan si ibu menjawab. "Iya. Harus diangkat." Dan si ibu terus menangis pelan di pelukan anaknya. Makin deg-degan lah saya. Harapan saya cuma satu, bahwa akan ada opini berbeda. Bahwa magically, atau dengan kekuatan bulan ala Sailormoon, tumor ini akan hilang dan semua diagnosis dokter sebelumnya, salah.

Ternyata, saya yang salah. "Benar. Ada dua tumor di payudara kanan Anda. Dengan track record kanker di keluarga Anda, kita harus lebih waspada. Saya tahu semua berjalan terlalu cepat untuk Anda. Tapi memang harus dioperasi. Harus diangkat. Tapi saya mengerti kecemasan Anda. Tapi ingat, Anda masih muda. Jadi saran saya, enam bulan lagi datanglah ke sini dan kita observasi lagi. Sambil Anda mempersiapkan mental," kata dokter tersebut.

Entah kenapa, hari itu saya lebih tenang. Mungkin karena saya sudah siap. Jadi tidak seterkejut waktu pertama kali. Saya bisa berpikir. Dan keputusan saya cuma satu waktu itu. I need to stop for a second and speak to my family about this.

--6 Juli 2013--

Semua anggota keluarga saya yang di Jakarta sudah berkumpul di rumah. Adik lelakiku, si anak nomor dua dan istrinya, ditambah adik lelaki si bungsu, anak nomor tiga. Empat orang kami duduk di ruang tamu dan aku mencoba menjelaskan secara detail dan berurutan mengenai penyakit menyebalkan ini. Dan reaksi pertama mereka adalah diam. Ya, sama saja dengan reaksiku. Lagi pula, what's left to say?

Saat itu, saya pun mengungkapkan rencana saya untuk pulang ke Medan, menjelaskan semua secara langsung ke Mama dan Bapak. Saya sadar, saya tidak bisa menjelaskan kabar seperti ini hanya lewat telepon. Saya harus pulang. Kalau Anda mengenal orang tua saya, Anda akan mengerti. Mendengar salah satu anaknya demam saja, Mama saya bisa histeris. Apalagi ini.

Selain itu, saya juga mengungkapkan rencana untuk melakukan pemeriksaan (lagi) di negeri jiran. Saya mengambil keputusan itu dengan sadar. Secara mental dan emosional, saya lebih siap untuk ditangani dokter di sana. Ditambah lagi, biayanya jauh lebih murah. Jadi rencana saya waktu itu, saya pulang ke Medan, memberitahu orang tua dan keluarga, lantas terbang lagi ke Penang, Malaysia. Dan adik-adik saya sepakat dengan keputusan saya itu.

--Seminggu setelahnya--

Saya pulang. Tapi semua terasa berat. Saya ingat mengupdate status di path saya yang bertuliskan, "Pulang tidak pernah terasa seberat ini..." Dan memang itu yang saya rasakan. Satu jam perjalanan menuju airport, satu jam menunggu di waiting room, dua jam di perjalanan dalam pesawat, satu jam lagi perjalanan dari airport Kualanamu ke rumah, saya sibuk mereka-reka, merangkai kata. What to say? How to say it without making everyone panic?

"Kenapa kau pulang? Cuti? Atau tugas?," begitu pertanyaan yang dilontarkan Mama dan Bapak saat saya tiba di rumah. Saya cuma menjawab, "Ya, pengen pulang saja." Mama masak makan siang hari itu dan saya memutuskan untuk menikmatinya terlebih dahulu. Saya mengirim pesan singkat ke tante yang tinggal hanya 3 rumah dari rumah, untuk datang. Setelah makan siang, saya ajak mereka: Bapak, Mama dan Tante ke ruang tamu. Dan saya pun mulai bercerita sambil membentangkan foto-foto hasil USG.

Sekuat hati saya menahan air mata sambil terus menjelaskan. Tapi suara saya tidak bisa berkompromi. Terputus-putus dan tidak lantang. Pertanda saya menahan emosi dan air mata. Sepanjang penjelasan itu, saya tidak berani menatap mata Mama, karena one single glimpse pasti akan membuat air mata saya banjir.

"Jadi begitulah kondisinya. Secara fisik aku enggak sakit. Enggak terasa sakit sama sekali. Tapi, yah, begitu keadaan di dalam badanku," begitu aku mengakhiri penjelasanku siang itu. Setelah itu kuberanikan diri menatap Mama dan Bapak. Bapak was as though as a solid rock. Dia tidak bereaksi sama sekali. Tapi saya kenal Bapak saya. Karena saya fotokopi Bapak saya. Yang selalu mencoba terlihat tegar, tapi hancur di dalam. Saya melihat itu dengan jelas saat itu. Tidak butuh mata Superman yang bisa melihat menembus tubuh, saya melihatnya di mata Bapak hari itu. Beda dengan Mama. As i predicted, dia langsung menangis. "Dulu kau bilang memang mau periksa, tapi udah pernah kutanya, gimana hasilnya, kau bilang baik-baik saja. Kenapa sekarang begini??," kata Mama sambil terus terisak.

Saya membiarkan Mama tenggelam di tangisnya. Sampai dia tenang, saya akan menjelaskannya. It took a while and then she was able to manage her emotions. Saya menjawab semua pertanyaannya dengan lugas. Apa keputusan dan pilihan yang saya ambil, semua saya bagi pada mereka. Saya juga mendelegasikan tante saya untuk mengabarkan ke empat tante saya yang lain dan satu om.

Tumbuh besar, saya dikelilingi 6 tante (saudara perempuan Mama) dan satu om (saudara lelaki Mama). Kami sangat dekat. Berbeda dengan sisi keluarga Bapak saya. Sepanjang hidup, saya selalu menganggap selain Mama, saya punya 6 "Mama" yang lain. Satu tante saya meninggal dunia pertengahan tahun lalu karena kanker rahim, satu lagi pindah ke Bandung. Jadi saat itu, hanya 4 orang tante yang masih tinggal di Medan. Om saya tinggal di Jogjakarta.

Saat itu saya baru menyadari, apapun dan bagaimanapun keadaannya, bahkan saat kau berada di titik terendah kehidupanmu, keluarga lah yang akan selalu berada di sampingmu. Keluarga. Dan hanya berselang satu jam setelah tanteku mengabarkan berita itu ke tante yang lain, semua sudah berkumpul di ruang tamu rumah. They leave everything behind and went straight to see me. Meski rasanya seperti "terdakwa" dikelilingi pertanyaan tak henti dari mereka, hari itu saya bertekad menjelaskan semua ke semua orang. Jadi semua pertanyaan saya jawab. At least saat itu saya benar-benar tahu rasanya artis kalau lagi konferensi pers. Ha ha ha.

Saya tahu mereka khawatir. Tapi saya tidak tahu caranya meredakan kekhawatiran itu. Saya punya jawaban atas segala pertanyaan mereka berkaitan dengan kondisi medis, tapi jika soal rasa dan emosi, saya sendiri bahkan tidak tahu harus bagaimana. Dibilang tegar, kenyataannya saya bertambah cengeng setelah tahu soal penyakit ini. Tapi saya mencoba selalu tersenyum. Tapi itu hanya bertahan sementara, karena di dalam, saya memang sudah hancur.

Berhadapan dengan orang tua dan keluarga, pikiran saya cuma satu waktu itu. Kenapa saya tidak berhenti membuat mereka khawatir? Seharusnya saya sekarang sudah bisa membahagiakan mereka dan memberikan banyak kabar baik. Instead of, saya membawa kabar buruk! Tapi, saya harus bagaimana lagi? Tidak mungkin, kan, kalau saya menyimpan ini semua lebih lama? Maka hari itu saya mencoba mencerna semua lebih dalam. Saya mencoba sebisa mungkin memilih kata-kata terbaik yang bisa mendamaikan hati saya dan hati mereka semua. Dan saya rasa hari itu berawal buruk dan mengejutkan, tapi berakhir tenang.

Dua hari setelahnya, saya dan Mama terbang ke Penang, Malaysia. Saya ingat sekali pesan Mama waktu menunggu pesawat. "Enggak mungkin kami enggak mikirin. Setiap hari kami mikirin kalian. Bapak itu kelihatannya aja seperti itu. Tapi dalam hatinya juga dia yang paling khawatir." Dan saya hanya diam.

Konyolnya, dalam kondisi "genting" seperti itu pun, pikiran saya tidak bisa lepas dari kantor dan pekerjaan. Saat itu, saya memang memutuskan untuk meninggalkan kantor dalam waktu yang tak bisa ditentukan. Saya butuh berhenti sejenak dari deadline, dari tugas liputan, dari lay out, dari foto, dari semua. Saya harus "bernafas" tenang dan memutuskan hal terbaik. Di satu titik, jujur, saya sempat berpikir bahwa pekerjaan yang gila-gilaan selama enam tahun belakangan lah yang menyebabkan ini semua. Saya mengabaikan kondisi tubuh saya. Saya menghiraukan berbagai "tanda peringatan" dari tubuh saya. Saya membiarkan fisik dan mental saya "dilahap" oleh pekerjaan saya.

Karena itu, saya harus "berhenti" sejenak dan mengutamakan kesehatan saya. Sulit untuk menjelaskan kondisi saya ke banyak teman di kantor yang sudah saya anggap keluarga. Tapi seperti yang saya ungkap di awal tulisan ini, saya tidak mau orang berubah melihat saya. Saya bukannya mau rahasia-rahasiaan, tapi memang saya hanya bercerita pada beberapa sahabat di kantor. Dan kepada mereka pun saya wanti-wanti untuk tidak bercerita lebih banyak. Saya belum siap. Saya belum siap dilihat dengan tatapan nanar penuh iba. Saya tidak mau semua berubah. Saya tetap Yetta yang sama.

Beberapa orang sudah mengetahui kondisi saya ini. Dan beberapa masih mencoba menebak-nebak. Dan itulah tujuan saya menuliskan kisah saya ini. Agar semua bisa jelas dipahami oleh semua orang. Kenapa saya menghilang, kenapa saya mencoba menutupi semua, kenapa saya mencoba tetap menjadi saya. Seorang sahabat kemudian mengingatkan saya untuk berpikir positif. Bahwa ketika orang banyak bertanya, semua tak semata-mata karena keingintahuan mereka, tapi juga karena kepedulian dan rasa sayang mereka terhadap saya. Dan saya melihatnya seperti itu sekarang. Karena alasan itu pula saya menuliskan cerita ini.

--Penang, Pertengahan Juli 2013--

Melihat dari kartu namanya, dokter ini jurusan Irlandia dengan spesialisasi breast and endocrin. Dan itu cukup membuat perasaan saya tenang pagi itu. At least he knows what he's doing. Kalau di Indonesia, cabang spesialisasi dokter yang menangani urusan seperti saya, disertakan di spesialis onkologi. Artinya, semua tumor dan kanker jenis apa saja. Dan dokter ini, benar-benar hanya berkutat di breast and endocrin.

"You have what we called fibro adenoma. It's not severe, but u have two lumps. It's not gonna get smaller. We have to do a surgery to get rid of the tumors. From my observation, i can assure you that it's not cancer. But still, they are tumors," begitu dokter menjelaskan ke saya. Secara spesifik, saya meminta dokter berbicara dan menjelaskan ke saya dalam Bahasa Inggris. Bukan karena apa-apa, tapi saya tidak mau Mama saya yang menemani di ruang periksa menjadi heboh dan panik. Jadi lebih aman kalau dia mengetahui detailnya dari saya saja. Jadi waktu dokter menawarkan, "I can explain this to you and your Mom in Bahasa Melayu," saya langsung menjawab, "No, please doc, in English."

Setengah jam lebih saya ada di ruang dokter itu. Membahas segala kemungkinan baik dan buruk. He can smell my anxieties. "It's not because of the food. Although, when you get older, you need to carefully watch your food. But that's not it. It's all in the mind. You need to rest. This all caused by stress, tensions and pressures. Your body can't handle it. So the tumors grews faster. You need to relax, don't think too much. You need a rest. What's your job anyway?," si dokter bertanya. "I'm an editor and i'm a journalist," begitu aku menjawabnya. Karena memang saat itu aku masih menjadi editor. "Okay, now i know. Deadlines after deadlines, right? You need to stop," kata dokter sedikit bercanda.

But in that moment, i knew, he wasn't kidding. I do need to stop. Saya harus menanggapi "alarm" tubuh saya ini dengan serius, dan saya harus berhenti sejenak. Pekerjaan sudah melumat kondisi tubuh saya. And because of that, a week after that day, i told my boss that i wanted to resign from editor position. Saya meminta mundur dari jabatan itu, jauh sebelum banyak drama kantor terjadi tak lama setelah itu. Tapi sudahlah, itu cerita lain di kisah yang lain nanti..

Dokter lantas mengajukan beberapa opsi. Saya tidak akan bercerita detail tentang kelanjutan diagnosa dan observasi hari itu. Tapi saya tenang. Dengan dokter yang kooperatif, saya bisa berpikir jernih. Jadi hari itu, saya dan dokter memutuskan untuk menunggu. Enam bulan. Dengan catatan, setiap bulannya saya wajib lapor by email mengenai update kondisi saya per bulan supaya tetap bisa diobservasi oleh dokter. Dia memberikan alamat email pribadi dan nomor telepon genggam pribadinya. Di bulan kelima, dia akan memberikan rekomendasi terbarunya.

"I know this all came too fast for you. But you have to thank God because you knew it and you have them checked earlier. That is something that many women didnt have the nerves and courages to. You need to stop and observes. You need to set boundaries for your body. I'll see you on December," begitu kata dokter. And, man, you don't know how relieved i am that day. Tumor masih ada, masih di sana, menggerogoti, tapi semangat saya pun masih belum mengendur. Saya tahu, saya pasti bisa melewati semua ketakutan ini.

--Pertengahan November 2013--

"Okay. You come here on December 17th, and i'll have you rechecked and we're doing the USG again. After that, you'll stay at the hospital and I will scheduled the surgery on December 19th."

Begitu isi pembicaraan terakhir dokter dengan saya di email terakhir yang saya terima di pertengahan November. Memang keadaan tidak lebih baik. Setiap hari selama enam bulan terakhir, saya terbangun di pagi hari berharap tumor ini akan lenyap begitu saja. Tapi setiap pagi saya merabanya, mereka masih di sana. Dan setiap pagi pula saya terbiasa menghela nafas panjang sebelum turun dari tempat tidur.

Keadaan memang tidak menjadi lebih baik. Semakin hari, saya bisa semakin merasakan keberadaan tumor ini semakin mengganggu saya. Saya tidak bisa tidur nyenyak jika bertumpu ke sisi sebelah kanan. Setiap beberapa jam, terutama jika dalam kondisi lelah, saya merasakan denyutan dan nyeri konstan. Artinya, secara fisik, saya mulai terganggu. Dan dari beberapa kali konsultasi via email dengan dokter di Penang, saya tahu, bahwa pada akhirnya, operasi adalah jalan terbaik.

--16 Desember 2013, 3 hari sebelum operasi--

Saya tahu, setiap tindakan operasi, apalagi rencana operasi ini termasuk tidak ringan, pasti memiliki resiko. Saya, yang selalu over think ini pun sudah mempersiapkan berbagai skenario, dari yang baik sampai yang terburuk sekalipun. Sampai detik ini pun saya masih cemas dan diliputi kekhawatiran. Saya tahu saya harus berpikir positif, and i'm trying to, believe me. Tapi banyak pikiran dan kemungkinan terburuk masih menggantung di kepala saya. Dan saya janji, saya akan berusaha keras mengeyahkan semua.

Saya menuliskan ini bukan untuk pamer atau mencari perhatian. Meski banyak yang menganggap saya aneh, tapi menulis adalah terapi terbaik untik saya. Sejak lama saya sudah menyadarinya. Banyak orang memilih untuk belanja, makan, memotret, berolahraga, semua demi terapi jiwa masing-masing. Tapi saya selalu menganggap bahwa menulis menyembuhkan saya. Writing is my ultimate theraphy. Selain traveling, tentu saja. But writing is instant. I can do it anywhere, anytime. And that's what i'm doing right now.

Banyak yang berubah dari diri saya selama 6 bulan terakhir. Saya belajar untuk lebih menikmati hidup. Tertawa lebih keras bahkan untuk gurauan yang tak terlalu lucu. Tertawa sampai mengeluarkan air mata. Menghabiskan lebih banyak waktu bertemu keluarga dan menjalin komunikasi lebih intens dengan Mama dan Bapak dan keluarga lain yang terpisah jarak. Belajar menikmati pekerjaan dan memulai ritme baru yang lebih menyenangkan. Mencoret satu per satu daftar mimpi dalam bucket list (yang terbaru adalah camping dan menjelajah hutan. thanks guys!). Mencoba berhenti beberapa menit dalam satu hari untuk menarik nafas panjang dan bersyukur. Mencoba mengamati semua fenomena keseharian dengan teman-teman, dengan lingkungan sekitar lebih baik dan lebih detail lagi. Saya mengamini satu istilah: YOLO: you only live once. So, enjoy it!

Semua hal itu yang memampukan saya menjalani 6 bulan terakhir. Ketakutan akan selalu ada. Tapi saya yakin, there's a rainbow everytime the storm passes. Tiga hari lagi, saya akan dijadwalkan untuk operasi pengangkatan dua tumor saya. Saya pasrah. Karena saya tahu, apapun yang terjadi, I HAVE LIVE MY LIFE TO THE FULLEST.

And i'm not planning to stop!  :)

So, i guess i'll see you guys around after the morphine runs out..haha!

I love each and everyone one of you..terimakasih sudah menambah cerita baru dalam setiap hari saya. If it wasn't for you guys, i wouldnt have made it untill now.

-Yetta-









8 komentar:

Unknown mengatakan...

Mba bagaimana operasinya?
Awalnya selain diraba ada benjolan, yg dirasa ke badan apa mba? apa demam pusing dll?
pertumbuhan benjolannya cepat gak mba jd semakin besarnya dlm brp lama?
USG di dokter onkologi jakarta biayanya brp mba?
Di Malaysia lebih murah biaya pemeriksaan dan operasinya mba? brp ya?
Mohon infonya mba. Trmksh :)))

Ekky A. Basuki mengatakan...

Mbak boleh tau dokter di penang? Thanks

upilmaripil mengatakan...

Halo Kak,
Aku juga ada 2 tumor nih di payudara kiri dan kata dokter di Indonesia harus dioperasi. Aku memilih untuk operasi di luar juga, mungkin di Penang. Krn biaya lebih murah. Boleh di share ga ya Kak untuk nama rumah sakit dan nama dokternya siapa? Dan total biaya nya kurang lebih berapa. Terimakasih banyak sebelumnya Kak. Ditunggu balesannya yaaa..

Unknown mengatakan...

Mba saya juga mau tau mba dokter and rumahsakit di penang.

Mohon infonya.

Makasih

Unknown mengatakan...

Dear Yetta, saya Selvia. Boleh share info detail dokternya di Penang? I want to recommend it to a friend of mine, thought you may help her as well. Terima kasih sebelumnya. God bless..

Irene mengatakan...

Mbak yetta, sy jg ada tumor, boleh tau nama dokter dan nama rumah sakitnya di penang, sama biayanya brp ya..? Tolong dbalas ya mbak.. Makasih banyak.. Krn sy jg lg galau...

Hermanto mengatakan...

2 tahun lalu putri saya setelah melahirkan dioperasi payudara nya dibuang separuh yang sebelah payudara nya oleh dokter2 biadab, dikatakan ada nanah dalam air susu putri saya, ternyata hasil PA dari laboratorium dinyatakan bersih ga ada nanah, bukan nya nanah yang dikeluarkan tapi jaringan payudara yang dikeluarkan banyak bgt tanpa ijin terlebih dahulu dari pasien... beberapa x putri saya mau bunuh diri karena frustasi & stress disebabkan sudah cacat payudara nya jadi wanita ga normal, oleh perbuatan biadab Dr. Dhian Hangesti Sp B (K) Onkologi & Dr. Kristina Maria Siswiandari Sp B (K) Onkologi Breast Center, kedua dokter itu praktek di RS swasta & RS ABRI. Hati2 dengan kedua dokter ini, bukan nya menolong malah mencelakakan dan membuat cacat pasien dengan tindakan yang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan sebelum operasi. Sangat tidak beretika dan tidak berperikemanusiaan.
Semoga ada pejabat yg berwenang berani ambil tindakan tegas, rakyat hanya bisa berdoa ada MALAIKAT pembasmi MAL PRAKTEK dokter2 biadab tsb. Amin.....🙏🙏🙏

Jia Wei mengatakan...

Mbak yetta bagaimana caranya saya bisa berbicara dengan mbak? Terima kasih