Hujan selalu mengingatkanku
padanya. Selalu. Seperti sore ini, saat hujan turun mendera tanpa ampun
membasahi tanah ibukota ini, aku mengingatnya. Mengingat suatu sore
serupa di sebelah utara Jogjakarta. Sore itu, aku bersamanya. Tak
kuingat persis berapa tahun sudah berlalu sejak sore itu. Mungkin
sepuluh tahun lalu. Tapi sore itu istimewa, karena aku bersamanya,
lelakiku.
Konyol memang, apa yang dilakukannya padaku sore itu.
Tapi entah kenapa, setiap hujan turun, kejadian konyol itu yang selalu
kuingat. Sore itu, dia, lelaki yang menghiasi hari dan hatiku
bertahun-tahun lalu itu, terjebak hujan lebat. Dan dia pun terjebak
denganku dan dengan hujan. Tapi diam-diam, aku berterimakasih pada
hujan, sudah menjebakku dan menambahkan atmosfer sempurna sore itu.
Bahkan rasanya, settingan sinetron pun kalah indah dengan yang kami
alami sore itu.
Hujan deras, tapi kami harus pulang. Belum ada
sepeda motor, belum ada mobil. Uang di saku hanya cukup membawa kami
pulang dengan becak. Apa boleh buat, daripada terjebak dengan air hujan
yang tak kunjung berhenti, ditambah dingin yang semakin menusuk tulang,
kami memutuskan untuk menaiki becak. Baru saja berpikir tentang becak,
sebuah becak lewat. Dengan baik hati bapak pengemudi becak yang sudah
tua renta itu berhenti dan bersedia membawa kami berdua. Aku dan dia.
Tapi
kondisi jalan yang basah, jarak pandang yang terbatas, membuat
pengendara becak yang sudah renta itu terlihat kesulitan meminggirkan
becaknya. Ketika akhirnya dia berhasil menepikan becaknya, kami berdua
berusaha menaiki becak dengan susah payah. Saat itulah kejadian konyol
itu terjadi. Saat kami berdua serentak menaiki becak, entah bagaimana
dan apa yang terjadi, becak itu seketika terbalik!
Sungguh aku
tak berbohong. Becak itu terbalik dan menimpa kami berdua! Untung,
karena tak seluruh beban becak menimpa tubuh kami. Dan saat itu hujan
masih turun dengan lebatnya. Terduduk di sana, di pinggir jalan raya di
sudut utara kota Jogja, dengan becak menimpa kami. Kulihat wajahnya yang
berada di sampingku yang terlihat panik melihat becak menimpa tubuh
kami. Tak hentinya dia berteriak padaku berulang-ulang menanyakan apakah
aku baik-baik saja.
Reaksi pertamaku tentu saja malu dan mau
marah, tapi kulihat wajahnya, wajah lelakiku itu, tak bisa kupikirkan
hal lain yang harus kulakukan selain tertawa. Menertawakan kami,
menertawakan becak yang menimpa tubuhku, menertawakan hujan yang tak
kunjung reda, menertawakan pengguna jalan lain yang juga terheran-heran
melihat kami. Tapi yang terutama, aku ingin menertawakan momen itu,
dengannya. Kembali aku memandangnya dengan senyum. Aku tahu saat itu dia
bisa membaca pikiranku yang berkata, "Aku enggak apa-apa. Kita lucu
sekali". Aku benar, karena dia pun langsung tertawa usai melihat
wajahku. Kami puas tertawa sore itu meninggalkan bapak pengendara becak
yang kebingungan.
Akhirnya becak itu diangkat dari tubuh kami.
Lelakiku memapahku berdiri. Saat benar-benar kakiku menjejak tanah, aku
mendongak dan melihat wajahnya sekali lagi yang ada persis di hadapanku.
Kuberikan senyum terbaikku padanya. Hatiku berkata saat itu, "Aku
mencintai lelaki ini". Walau tak kuucapkan. Dia, lelakiku ini, tahu
persis cara kerja tubuh dan pikiranku. Jadi aku tahu, sore itu, dia tahu
apa yang kupikirkan. Dia merentangkan tangannya dan langsung memelukku.
Hujan boleh saja terus mendera tubuhku, dingin tak berhenti menusuk
kulitku, tapi dalam pelukannya, tak ada yang lain selain kehangatan.
Meski sedetik kemudian dia melepaskan pelukannya karena menyadari bapak
pengendara becak kami sudah memperbaiki becaknya untuk dapat kami naiki.
Akhirnya
kami duduk di becak itu. Berdua, kami berhimpitan di dalam becak. Dia
merangkulkan lengannya melingkar di punggungku, seperti menjagaku untuk
tetap nyaman dan hangat. Kami berdua basah kuyup, tapi dingin tak
kurasakan lagi. Semua berganti hangat. Kusandarkan kepala ini ke dadanya
sambil menunggu bapak pengendara becak menutup terpal plastik di
hadapan kami agar terhindar dari terpaan hujan dari bagian depan.
Aku
tahu, pastilah rupaku tak karuan sore itu. Basah kuyup, plus bibir yang
nyaris membiru karena kedinginan. Tapi aku tak berhenti tersenyum
sembunyi-sembunyi sambil terus menempelkan kepala dan wajah ini di
dadanya seakan mencari perlindungan. Tak sekalipun aku berkata-kata sore
itu. Aku aman di pelukannya, di antara lengan dan bahunya yang kokoh.
Aku aman.
"Kau enggak apa-apa?," tanyanya lagi sambil memandang
wajahku. Aku mendongak dan menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. Saat
itulah dia menatapku tajam dan tiba-tiba mendaratkan kecupan di
keningku. Lelakiku, lelaki paling tidak romantis di dunia ini, sore itu
meluluhkan hatiku. Setelah itu dia tak berkata apa-apa lagi sampai kami
tiba di tujuan. Tak sekalipun dia melonggarkan pelukannya, dan tak
sekalipun pula aku melepaskan kepalaku dari dadanya. Rasanya, aku ingin
selamanya ada di dalam becak itu.
Di tengah hujan, di bilik becak
yang sempit itu, aku menemukan kebahagiaan seluas samudera. Saat itu
aku tahu, lelaki ini pun mengasihiku. Tak perlu kata-kata puitis dan
romantis atau seikat bunga mawar. Hanya pelukan erat tanpa henti dan
satu kecupan, dia sudah melakukan segalanya.
Karena itulah aku
selalu mengingatnya, mengingat lelakiku setiap hujan turun. Di belahan
bumi manapun aku berpijak, setiap hujan turun, pikiran ini langsung
bertolak ke sore itu, di pinggir Ring Road Utara Jogjakarta yang diterpa
hujan deras. Meskipun sekarang sudah lima tahun berlalu sejak kami
sepakat mengakhiri kisah sewindu yang kami lewati, meski kini aku tak
lagi berbicara dengannya, tak lagi tahu bagaimana keadaannya, meskipun
dia sudah berbahagia dengan istri dan anaknya. Meskipun aku tetap di
sini, sendiri. Tapi setiap hujan turun, aku akan selalu mengingat sore
itu.
Sore terbaikku dengan lelakiku kala itu...
Karena itulah, aku selalu suka hujan...
skip to main |
skip to sidebar
.....my greatest escape.....
Kamis, Oktober 24, 2013
Labels
- Cerita Liputan (1)
- Doa (1)
- Inspirasi Lagu (1)
- Intro (1)
- Liburan (1)
- Protes dan Kritik (1)
- Resolusi (1)
- sahabat (1)
- Selingan (1)
- Ulang Tahun (2)
- Urusan Hati (4)
- Urusan Jiwa (5)
Tautan Ku...
Tentang Ku...
- Yetta Angelina
- I'm simple. Nothing special to described about me. I'm a cheerfull person, and i'm not really good in hiding something from other people. I'm not a stabilized person. This minute i can laugh, but in the next minute, i could cry loud...:)
0 komentar:
Posting Komentar