Rabu, Februari 02, 2011

Fight for The One You Love

Aku merasa perlu untuk segera menuliskan ini. Dari tadi pagi, sejak kudengar kabar ini, aku tidak tahu bagaimana harus mencernanya selain dengan menuliskannya. Jadi, pagi ini, kusediakan waktu khusus untuk menuliskan semuanya ini. Aku merasa perlu untuk melkakukan ini. Semua yang berkeliaran di kepala sejak pagi tadi. Semua yang tidak, sedang, bahkan yang sudah bisa kucerna sejak kabar itu datang. Begini lah kira-kira :

Aku akan memulai merangkum latarbelakang ceritaku ini dengan singkat. Dia, temanku, yang namanya tidak bisa kusebut, dengan alasan yangs angat pribadi, termasuk karena keselamatannya saat ini, jiwa dan raga. Karena itu, tak bisa kusebutkan namanya. Dia, sahabatku tepatnya, yang sudah kukenal sejak kurang lebih 14 tahun yang lalu, pagi ini membuat keputusan penting dalam hidupnya, memberitahukan sebuah informasi penting padaku, yang kemudian mengubah hariku.

Dia, sahabatku ini, sudah bertahun-tahun menjalin kasih dengan seorang pria. Aku tahu sejarah mereka. Aku tahu perjuangan mereka. Termasuk perjuangan untuk melembutkan hati ayahnya, ayah sahabatku ini, yang sangat tidak setuju jika mereka menjalin hubungan mereka, terlebih lagi membawa hubungan itu ke pernikahan. Bagi ayahnya, itu haram! Hal terakhir yang akan diizinkannya untuk dilakukan oleh anak perempuannya. Alasannya, perbedaan adat-istiadat. Konyol. Di era di mana semua telepon genggam pun seperti sudah punya pikiran sendiri, sang ayah masih memikirkan itu. Sekali lagi, konyol.

Seperti yang aku katakan tadi, aku tahu sejarah mereka. Dan aku tahu lika-liku perjuangan mereka untuk urusan memperjuangkan cinta. Aku tahu dan aku pernah berada di posisi mereka. Delapan tahun berusaha memperjuangkan cinta, tapi adat-istiadat memisahkan kami, pada akhirnya. Dan waktu itu, ketika aku tahu posisi mereka, aku dengan tulus bercermin ke kisah cintaku yang kandas, dan membuat dia berjanji, sahabatku ini, supaya ia tidak akan pernah berhenti memperjuangkan cintanya.
"Fight for the one you love,"
begitu kataku saat itu. Karena apapun yang kelak terjadi, paling tidak, dia sudah berjuang, menyelamatkan cinta dan hatinya. Apapun hasilnya, dia harus berjuang.

Tapi, apa yang pernah kuucapkan itu, akhirnya sedikit kusesali pagi ini. Saat ia mengirimkan pesan singkat ke Blackberry-ku. Singkat. Begini isinya, "Yet, aku udah enggak di Jakarta lagi. Aku kabur. Rumahku sekarang lagi kacau. Dan aku enggak kasitahu siapapun soal ini. Cuma kau. Aku mau kawin lari. Aku sama abangku ini sekarang."

Reaksi pertamaku, tentu tidak percaya. Akhirnya kami berbicara lewat BBM. Dia sudah pastikan tidak akan pernah mengangkat telepon lagi. Jadi, jalur komunikasi paling aman buatnya sekarang adalah BBM, dan kuikuti keinginannya. Dengan runtun, ia, sahabatku itu, bercerita. Sudah 3 hari dia kabur dari rumah. Lari dari semua kebencian keluarganya, lari dari restu yang dia yakin tak akan pernah didapatnya, lari dari cibiran kakak dan adiknya. Pada akhirnya, dia lari dari semua itu. Dia mengemas tasnya, beralasan akan pergi untuk alasan dinas. Orangtuanya tak tahu menahu, kalau saat itu, dia sudah memiliki rencana sempurna untuk melarikan diri. Melarikan diri.

Dia, sahabatku, yang tidak pernah berbuat salah seumur hidupnya, dia, yang kukenal sangat taat beribadah, tidak banyak maunya, tulus, berbakti pada orangtua, pintar, sarjana S2, berpenghasilan cukup, sudah membuat keputusan mecengangkan. Ia memutuskan akan memperjuangkan cintanya. Dan bagian berikutnya yang membuatku tercengang adalah ketika ia menuliskan pesan ini untukku.
"Aku, kan, ikut jejakmu, Yet."
Dan aku pun terdiam. Tak ada kata yang bisa kuketik untuk membalas pesan itu. Apa benar ini karena doktrinku padanya untuk terus memperjuangkan cintanya? Aku merasa serba salah.

Setelah kubujuk dan kuyakinkan bahwa informasi ini tidak main-main, aku mencoba berfikir jernih. Dia bercerita sekarang sedang ada di luar Jakarta, jauh dari Jakarta, tinggal sementara di hotel, dan sedang berusaha mencari pekerjaan untuk menyambung hidup mereka berdua.
"Aku cuma mau hidup berdua sama dia sekarang,"
katanya. Aku, yang ribuan kilometer jaraknya dari dia pagi tadi, langsung menitikkan airmata. Sahabatku, sedang memperjuangkan cintanya. Dia, yang selalu menikmati kemudahan sejak kecil, karena tumbuh di keluarga berada, untuk pertama kalinya memohon untuk siapa saja bisa menerimanya bekerja. Aku pun berjanji akan menghubungi beberapa teman yang mungkin bisa membantunya di sana.

Aku bertanya, kapan mereka akan menikah, dia menjawab "Secepatnya, yet. Kau datang ya?" Pertanyaannya itu pun kuiiyakan. Pasti aku akan datang. Bahkan sepintas aku tiba-tiba berniat menyusulnya dan memastikan dia tidak apa-apa di sana. Tapi, dia melarang. "Nanti saja, kalau aku married ya, yet." Aku tercengang. Sambil tetap merasa tidak percaya, bahwa ini semua sudah terjadi. Dia memperjuangkan cintanya.

Terlepas dari apa yang akan datang menghadapinya, terlepas dari kekhawatiran keluarganya, terlepas dari semuanya, dia bahagia sekarang. Aku tahu itu. Meskipun rasa itu harus ditebus dengan pekerjaan yang melayang, orangtua dan keluarga yang tertinggal, kondisi tabungan yang menipis, dia bahagia. Sesederhana itu.

Aku, yang di lubuk hati terdalamku, masih merasa bersalah, sebagai orang yang pernah dijadikan teman diskusi soal hubungan mereka, saat ini hanya bisa berdoa. Supaya Tuhan menjaga mereka berdua. Supaya mereka kuat menghadapi dunia ini berdua. Supaya panasnya hari, dan dinginnya malam, tak menggoyahkan mereka. Apapun keputusan yang sudah diambil, aku yakin, mereka tahu konsekuensinya. Sekuat tenaga akan kubantu, pasti. Karena aku tahu, di sisi lain, aku salut. Salut atas keberanian mereka, menentang segalanya, demi cinta.

Ketika kutanyakan, kenapa dia nekad melakukan ini semua, begini jawabnya,
"Aku enggak bisa hidup tanpa dia, Yet."
And it explains everything. Aku tak perlu bertanya lagi. Biar Tuhan memelihara mereka. Aku akan selalu ada di sini, dari jauh, menemani mereka, dan tulus berdoa.....

Terimakasih, pagi ini sudah mengajarkanku sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang dulu sudah kuucapkan padanya, sahabatku ini. Sesuatu yang tak kusadari sampai pagi ini, dia, sahabatku ini, menegaskannya kembali. Bagiku, sesuatu itu masih sekedar wacana, lisan. baginya, itu tindakan. Itu keputusan yang diambilnya 3 hari yang lalu. Yang sampai kini tidak pernah disesalinya. Kalimat powerfull yang katanya terus terngiang. Kalimat yang kuucapkan.

FIGHT FOR THE ONE YOU LOVE......
*untukmu, sahabatku, *******
semoga kau berbahagia....semoga......