Rabu, Agustus 15, 2012

Tentang Menganalisis

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menganalisis berarti: tindakan penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yg tepat dan pemahaman arti keseluruhan.

Kalau diambil ringkasan sederhana, menganalisis berarti mengurai fakta, mencermatinya dan lantas menarik kesimpulan atas fakta tersebut.

Analisis pastilah lahir dari kekhawatiran. Berawal dari pertanyaan, "Bener enggak ya...", "Kayaknya...","Oh, mungkin...", dan banyak lagi. Meski jauh dari angan-angan, tapi selayaknya manusia tak perlu khawatir. Karena menurut pernyataan cerdas dari seseorang di masa lampau, kekhawatiran manusia itu sebenarnya hampir 90 persen tidak terjadi. Tapi sepertinya banyak manusia-manusia yang belum lepas dari rasa khawatir, karena itu kita sibuk menganalisis, termasuk saya.

Tapi tahukah kalian, kegiatan menganalisis sering berakhir pada kesimpulan yang tak terlalu benar, alias sedikit salah? Itulah kenapa, sejak memulai sesuatu, seharusnya janganlah bertekad untuk menganalisis terlalu dalam. Harusnya lebih menikmati proses demi proses terbentuknya fakta, bukan malah menghabiskan lebih banyak waktu untuk memutar otak dan menganalisis fakta tersebut. Tapi namanya manusia biasa, semakin banyak diingatkan, semakin sering pula kesalahan dilakukan. Akhirnya sudah bisa ditebak, akan jatuh ke "perangkap" yang sama, bak keledai.

Untuk urusan asmara, efek terlalu banyak menganalisis akan menjadi lebih rumit dan menyusahkan. Sampai-sampai, menurut saya, seharusnya ada aturan tertulis yang berisi peringatan untuk tidak menganalisis di masa-masa awal perkenalan dengan lawan jenis. Nikmati saja setiap prosesnya. Persetan dengan analisis. Begitu idealnya. Itu menurut saya.

Tapi yang terjadi tentu saja kebalikannya. Apalagi karena melibatkan dua jenis kelamin, dua tipe, dan dua karakter. Tak bisa dielakkan. Yang satu sibuk menganalisis kata per kata yang terucap dan tertulis, yang satu lagi sibuk menganalisis gerak tubuh dan cara berbicara. Syukur-syukur kalau analisisnya benar, semua akan berjalan benar pula. Mulus. Manis. Indah. Tak bertepuk sebelah tangan. Tipikal kisah cinta putri raja dan pangeran dalam dongeng. Sempurna.

Sial, jika ternyata salah satu pihak salah menganalisis. Drama pun dimulai. Sontak, semua rekaman analisis pasti akan melintas secepat kilat di pikiran, hingga bermuara di banyak pertanyaan standar seperti, "Tapi kan,...", "Masa sih...?", "Enggak mungkin, lah, wong,....", dan banyak lagi. Adakah jawaban yang tersedia? Entahlah.

Jadi, haruskah menghabiskan banyak waktu untuk menganalisis? Atau justru tinggalkan saja semua, nikmati proses secara natural dan berbahagia? Hanya kalian yang bisa menjawab..

-Yetta "over-analyzed" Angelina-

Sabtu, Agustus 11, 2012

Berbeda

Baru menjejakkan kaki di rumah. Jam 01.00 tepat. Deadline ketiga dari empat "deadline rusuh" selama bulan puasa dan jelang Lebaran baru saja kuselesaikan. Biasanya, tak banyak ritual yang kulakukan sesampainya di rumah di malam deadline. Meletakkan tas, memastikan semua pintu terkunci dengan baik, rutinitas di kamar mandi, mematikan lampu, dan menghempaskan diri ke atas tempat tidur sambil berharap tidak akan terbangun sampai minimal 8 jam ke depan.

Tapi malam ini berbeda...

Sedikit ide terbersit di kepala. Bukan ide, tapi uneg-uneg mungkin tepatnya. Maka kuputuskan untuk membuka laptop dan mulai menulis. Tak tahu apa yang akan kutulis, tapi aku merasa perlu saja menuliskan sesuatu.

Karena malam ini berbeda...

Sejak pagi tadi, hari ini cukup complicated, begitu istilah anak gaul di social media zaman sekarang menyebutnya. Pagi tadi, aku mendapat pesan singkat yang "nyaris" membuatku bahagia bukan kepalang. Sayang, hanya "nyaris". Karena untuk kepastiannya, aku harus menunggu beberapa hari lagi. Perjalanan ke kantor pun cukup membuat kepala mendidih hari ini. Secara kiasan dan secara nyata, karena suhu udara cukup membuat kepala pusing, saking panasnya. Beranjak sore, aku tahu, aku harus memutuskan. Apakah akan berangkat ke sana, menepati janji, atau tidak. Kucoba menyembunyikan kegundahan sejak pagi. Sambil terus memproses di dalam kepala dan hati demi menemukan jawaban dari pertanyaan sederhana, "Haruskah aku datang?". Tapi akhirnya aku memutuskan untuk berangkat ke sana. Atas dasar profesionalisme dan rasa ingin tahu terhadap sosokmu dan karyamu, aku berangkat.

Hingga saat aku menuliskan ini pun, aku tak tahu, apakah kau menyadari kehadiranku di sana tadi? Bodoh memang, karena aku memutuskan untuk meninggalkan tempat itu lebih awal. Bagiku, meliatmu berbicara dari kejauhan di atas panggung itu sudah cukup. Aku sudah melihatmu, dan diam-diam menepati janjiku untuk datang ke sana tadi. Aku tak tahu, apakah kau menyadari kehadiranku di sana tadi. Hanya kau dan Tuhan yang tahu itu.

Sore ini berbeda...

Konyol, karena aku tak cukup mengumpulkan kekuatan untuk sekadar menyapamu dan memberi selamat. Entah apa yang kupikirkan tadi, sehingga aku memutuskan untuk hanya melempar senyum dan melangkah pergi, menjauh. Sesal. Itu yang tersisa. Meski jauh di lubuk hati terdalam, aku merasa telah mengambil langkah yang benar dengan berlalu. Oh, kau tak tahu betapa aku ingin mengenalmu lebih jauh. Tapi aku merasa tadi bukan waktu yang tepat. Karena tadi bukan tentangku dan apa yang kuinginkan, tapi semua tentang mu. Sore tadi adalah sore milikmu.

Karena itu, sore tadi berbeda...

Sinaran matahari senja menemani perjalananku kembali ke kantor sore tadi. Senja merah yang meneduhkan hati untuk sejenak. Ditambah hembusan angin, memberiku waktu untuk menjernihkan kepala sejenak. Menarik nafas panjang, menambah timbunan polusi udara di paru-paru, dan kuhela nafas sama panjang sambil berbisik, "Aku lelah......"

Aku tak tahu, apakah kau menyadari kehadiranku di sana sore tadi. Aku bahkan tak tahu apakah kau mengenaliku di sana sore tadi. Tapi aku ada sore tadi. Di sana. Melihatmu menelurkan karya perdanamu, seseorang yang bahkan belum "kukenal".

Malam ini berbeda...

Karena hingga detik ini, yang terlintas di benakku cuma penggalan-penggalankisah sore tadi. Tak kutemukan benang merah di antara penggalan ingatanku tentang sore tadi. Tapi aku merasa ada sesuatu yang hilang dari penggalan itu. Kesempatan untuk mengenalmu.

Karena aku bukanlah aku sore tadi. Aku berbeda...

Kamis, Agustus 02, 2012

Suatu Hari Nanti


Suatu hari nanti, pasti namaku akan tertera di sampul sebuah buku.  Mimpi yang terus dipupuk sejak lama. Ya, selain bepergian keliling dunia, menulis buku sudah menjadi cita-cita terdalam. Sampai itu terjadi, aku hanya bisa menunggu, mereka-reka seperti apa rasanya “menelurkan” karya sendiri.  

Suatu hari nanti, kata demi kata pasti akan mengalir dari pikiran ke tulisan. Sekarang pun, kalau ditanya, semua ide dan gagasan sudah bergelimpangan. Bak potongan puzzle yang berserakan, hanya perlu dua tangan untuk mengumpulkan potongan demi potongan dan merangkainya menjadi satu gambar utuh. Proses itu yang sulit. Sulit, tapi bisa dikerjakan.

Suatu hari nanti, sepulang bepergian, pasti akan meluangkan waktu khusus untuk memulai menulis. Pasti.