Minggu, Juni 23, 2013

Membungkus Duka dengan Tawa

Sepekan lalu, aku berpapasan dengan seorang rekan kerja. Kami bekerja di kantor dan ruangan yang sama. Jadi setiap harinya, pasti dia hapal betul tingkah lakuku, dan sebaliknya. Siang itu, kami berpapasan di kantin saat jam makan siang. Begitu melihatku, dia langsung berkata, "Ih, enak banget ya jadi Yetta ini. Selalu terlihat bahagia, ceria. Kayaknya enggak pernah susah. Pengen deh kayak Yetta."

Saat itu, reaksiku bisa saja. Dengan ringan kujawab, "Ya ngapain juga susah? Ya udah sih." Sesederhana itu jawabanku. Hanya saja, di hatiku terdalam pun tahu aku sedang melakukan salah satu kebohongan terbesar. Andai saja temanku itu tahu apa yang sedang menimpaku hari itu. Mungkin akan sekonyong-konyong dia akan menarik perkataannya dan bahkan mungkin berharap dia tidak menjadi seperti yang selalu terlihat "ceria" ini.

Entah kenapa, temanku ini harus memilih hari itu untuk menyampaikan pendapatnya tentangku. Hari dimana justru aku berpikir bahwa ada kemungkinan duniaku ini akan berakhir. Dia, temanku ini, harus menyampaikan kata-kata indah bernada pujian sarkastik itu tepat di hari itu, setelah aku menyelesaikan pemeriksaan kesehatanku.

Andai dia tahu, hari itu aku sudah ingin mati saja rasanya. Andai kau tahu, teman, hari itu kepala ini tak bisa berpikir jernih. Semua kecemasan dan kekhawatiran akan kemungkinan terburuk akan terjadi, menggelayuti pikiranku setiap menit, tepat di hari itu.

Tapi entah kenapa, sepertinya aku tak bisa menunjukkan raut wajah yang sesuai dengan isi hatiku. Hari itu, secara tampak luar, ya seperti hari-hari biasanya. Tapi andai ada superhero yang bisa melihat menembus ke dalam hati dan kepalaku, pasti dia akan tahu bahwa hari itu, aku nyaris hancur.

Aku jadi teringat beberapa pekan lalu aku sempat kesulitan mencari potret diriku yang terlihat tidak ceria. Nyaris tidak ada. Padahal aku memerlukan foto itu untuk kepentingan tulisan. Dan ternyata, setelah menghabiskan banyak waktu membongkar koleksi ribuan foto, aku tidak menemukan foto diriku yang tidak nyengir, tidak tertawa lebar, tidak senyum. Semua menampilkan ekspresi yang sama. Senyum lebar dan ceria, penuh kebahagiaan. Ha ha ha.

Memang, apapun masalah yang menimpa, seringkali aku menemukan cara untuk tetap tersenyum, atau setidaknya berpura-pura untuk tersenyum atau tertawa. Meski disaat yang bersamaan, dunia ini serasa runtuh dan ingin menghantam tubuhku, aku tetap berusaha tersenyum. Aku ingin pernyataan temanku tadi yang menjadi ingatan orang-orang tentangku. Yetta yang selalu ceria dan tersenyum, apapun masalahnya.

Kelak, aku ingin meninggalkan ingatan itu di hati dan pikiran setiap orang yang mengenalku.

Itu saja...