Senin, November 05, 2012

Kau Menikah? Selamat!

Aku melakukan kesalahan fatal malam ini. Entah kenapa tergerak untuk membuka album foto lama di antara tumpukan file di komputer ini. Malam menjelang, lampu di kantor sudah redup. Hanya sinar-sinar kecil yang menemani dari beberapa lampu cadangan di ruangan ini.

Satu per satu foto terbuka, sampai menampilkan wajah sumringahmu. Sejenak terlintas di pikiran,
 "Apa yang salah..kenapa akhirnya bisa seperti ini..."

Di headphone mengalun lagu Fake Plastic Tree milik Radiohead berulang-ulang. "Fake plastic love", begitu salah satu kalimat di lirik lagu itu. Dan berulang-ulang pula ingin kuteriakkan dari mulut ini. "Fake plastic love..fake plastic love..fake plastic love..". Berharap tiga kata itu bisa berubah jadi mantra, untuk bisa menghilangkan semua momenku bersamamu..hilang selamanya...

Harus hilang, harus terhapus, harus. Karena bulan depan kau sudah akan menikah dengan orang lain. Sepuluh bulan. "Hanya" sepuluh bulan lamanya aku memutuskan untuk tidak lagi mengganggumu. Menghilang dari kehidupanmu. Dan dalam sepuluh bulan itu, kau menemukan yang baru. Selamat.

Jadi ketika malam ini wajahmu terpampang di monitor 15 inchi ini, tertawa lepas saat menghabiskan malam yang panjang di pulau seberang bersamaku, dingin langsung menusuk tulang ini.
Sakit. 

Sepuluh bulan ternyata cukup untukmu, menggantikan tahun-tahun yang sudah lama berlalu. Tahun-tahun saat aku menunggumu...

Sudahlah! Tak ada gunanya meleburkan diri dalam drama nestapa ini. Aku pun tak cukup "kudus" untuk melontarkan kata-kata mutiara ucapan selamat untukmu. Selamat melanjutkan hidupmu. Aku pun akan melanjutkan hidup. Hidup yang sempat "terhenti" bertahun-tahun saat aku menunggumu...

Selamat. 

Rabu, Agustus 15, 2012

Tentang Menganalisis

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menganalisis berarti: tindakan penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yg tepat dan pemahaman arti keseluruhan.

Kalau diambil ringkasan sederhana, menganalisis berarti mengurai fakta, mencermatinya dan lantas menarik kesimpulan atas fakta tersebut.

Analisis pastilah lahir dari kekhawatiran. Berawal dari pertanyaan, "Bener enggak ya...", "Kayaknya...","Oh, mungkin...", dan banyak lagi. Meski jauh dari angan-angan, tapi selayaknya manusia tak perlu khawatir. Karena menurut pernyataan cerdas dari seseorang di masa lampau, kekhawatiran manusia itu sebenarnya hampir 90 persen tidak terjadi. Tapi sepertinya banyak manusia-manusia yang belum lepas dari rasa khawatir, karena itu kita sibuk menganalisis, termasuk saya.

Tapi tahukah kalian, kegiatan menganalisis sering berakhir pada kesimpulan yang tak terlalu benar, alias sedikit salah? Itulah kenapa, sejak memulai sesuatu, seharusnya janganlah bertekad untuk menganalisis terlalu dalam. Harusnya lebih menikmati proses demi proses terbentuknya fakta, bukan malah menghabiskan lebih banyak waktu untuk memutar otak dan menganalisis fakta tersebut. Tapi namanya manusia biasa, semakin banyak diingatkan, semakin sering pula kesalahan dilakukan. Akhirnya sudah bisa ditebak, akan jatuh ke "perangkap" yang sama, bak keledai.

Untuk urusan asmara, efek terlalu banyak menganalisis akan menjadi lebih rumit dan menyusahkan. Sampai-sampai, menurut saya, seharusnya ada aturan tertulis yang berisi peringatan untuk tidak menganalisis di masa-masa awal perkenalan dengan lawan jenis. Nikmati saja setiap prosesnya. Persetan dengan analisis. Begitu idealnya. Itu menurut saya.

Tapi yang terjadi tentu saja kebalikannya. Apalagi karena melibatkan dua jenis kelamin, dua tipe, dan dua karakter. Tak bisa dielakkan. Yang satu sibuk menganalisis kata per kata yang terucap dan tertulis, yang satu lagi sibuk menganalisis gerak tubuh dan cara berbicara. Syukur-syukur kalau analisisnya benar, semua akan berjalan benar pula. Mulus. Manis. Indah. Tak bertepuk sebelah tangan. Tipikal kisah cinta putri raja dan pangeran dalam dongeng. Sempurna.

Sial, jika ternyata salah satu pihak salah menganalisis. Drama pun dimulai. Sontak, semua rekaman analisis pasti akan melintas secepat kilat di pikiran, hingga bermuara di banyak pertanyaan standar seperti, "Tapi kan,...", "Masa sih...?", "Enggak mungkin, lah, wong,....", dan banyak lagi. Adakah jawaban yang tersedia? Entahlah.

Jadi, haruskah menghabiskan banyak waktu untuk menganalisis? Atau justru tinggalkan saja semua, nikmati proses secara natural dan berbahagia? Hanya kalian yang bisa menjawab..

-Yetta "over-analyzed" Angelina-

Sabtu, Agustus 11, 2012

Berbeda

Baru menjejakkan kaki di rumah. Jam 01.00 tepat. Deadline ketiga dari empat "deadline rusuh" selama bulan puasa dan jelang Lebaran baru saja kuselesaikan. Biasanya, tak banyak ritual yang kulakukan sesampainya di rumah di malam deadline. Meletakkan tas, memastikan semua pintu terkunci dengan baik, rutinitas di kamar mandi, mematikan lampu, dan menghempaskan diri ke atas tempat tidur sambil berharap tidak akan terbangun sampai minimal 8 jam ke depan.

Tapi malam ini berbeda...

Sedikit ide terbersit di kepala. Bukan ide, tapi uneg-uneg mungkin tepatnya. Maka kuputuskan untuk membuka laptop dan mulai menulis. Tak tahu apa yang akan kutulis, tapi aku merasa perlu saja menuliskan sesuatu.

Karena malam ini berbeda...

Sejak pagi tadi, hari ini cukup complicated, begitu istilah anak gaul di social media zaman sekarang menyebutnya. Pagi tadi, aku mendapat pesan singkat yang "nyaris" membuatku bahagia bukan kepalang. Sayang, hanya "nyaris". Karena untuk kepastiannya, aku harus menunggu beberapa hari lagi. Perjalanan ke kantor pun cukup membuat kepala mendidih hari ini. Secara kiasan dan secara nyata, karena suhu udara cukup membuat kepala pusing, saking panasnya. Beranjak sore, aku tahu, aku harus memutuskan. Apakah akan berangkat ke sana, menepati janji, atau tidak. Kucoba menyembunyikan kegundahan sejak pagi. Sambil terus memproses di dalam kepala dan hati demi menemukan jawaban dari pertanyaan sederhana, "Haruskah aku datang?". Tapi akhirnya aku memutuskan untuk berangkat ke sana. Atas dasar profesionalisme dan rasa ingin tahu terhadap sosokmu dan karyamu, aku berangkat.

Hingga saat aku menuliskan ini pun, aku tak tahu, apakah kau menyadari kehadiranku di sana tadi? Bodoh memang, karena aku memutuskan untuk meninggalkan tempat itu lebih awal. Bagiku, meliatmu berbicara dari kejauhan di atas panggung itu sudah cukup. Aku sudah melihatmu, dan diam-diam menepati janjiku untuk datang ke sana tadi. Aku tak tahu, apakah kau menyadari kehadiranku di sana tadi. Hanya kau dan Tuhan yang tahu itu.

Sore ini berbeda...

Konyol, karena aku tak cukup mengumpulkan kekuatan untuk sekadar menyapamu dan memberi selamat. Entah apa yang kupikirkan tadi, sehingga aku memutuskan untuk hanya melempar senyum dan melangkah pergi, menjauh. Sesal. Itu yang tersisa. Meski jauh di lubuk hati terdalam, aku merasa telah mengambil langkah yang benar dengan berlalu. Oh, kau tak tahu betapa aku ingin mengenalmu lebih jauh. Tapi aku merasa tadi bukan waktu yang tepat. Karena tadi bukan tentangku dan apa yang kuinginkan, tapi semua tentang mu. Sore tadi adalah sore milikmu.

Karena itu, sore tadi berbeda...

Sinaran matahari senja menemani perjalananku kembali ke kantor sore tadi. Senja merah yang meneduhkan hati untuk sejenak. Ditambah hembusan angin, memberiku waktu untuk menjernihkan kepala sejenak. Menarik nafas panjang, menambah timbunan polusi udara di paru-paru, dan kuhela nafas sama panjang sambil berbisik, "Aku lelah......"

Aku tak tahu, apakah kau menyadari kehadiranku di sana sore tadi. Aku bahkan tak tahu apakah kau mengenaliku di sana sore tadi. Tapi aku ada sore tadi. Di sana. Melihatmu menelurkan karya perdanamu, seseorang yang bahkan belum "kukenal".

Malam ini berbeda...

Karena hingga detik ini, yang terlintas di benakku cuma penggalan-penggalankisah sore tadi. Tak kutemukan benang merah di antara penggalan ingatanku tentang sore tadi. Tapi aku merasa ada sesuatu yang hilang dari penggalan itu. Kesempatan untuk mengenalmu.

Karena aku bukanlah aku sore tadi. Aku berbeda...

Kamis, Agustus 02, 2012

Suatu Hari Nanti


Suatu hari nanti, pasti namaku akan tertera di sampul sebuah buku.  Mimpi yang terus dipupuk sejak lama. Ya, selain bepergian keliling dunia, menulis buku sudah menjadi cita-cita terdalam. Sampai itu terjadi, aku hanya bisa menunggu, mereka-reka seperti apa rasanya “menelurkan” karya sendiri.  

Suatu hari nanti, kata demi kata pasti akan mengalir dari pikiran ke tulisan. Sekarang pun, kalau ditanya, semua ide dan gagasan sudah bergelimpangan. Bak potongan puzzle yang berserakan, hanya perlu dua tangan untuk mengumpulkan potongan demi potongan dan merangkainya menjadi satu gambar utuh. Proses itu yang sulit. Sulit, tapi bisa dikerjakan.

Suatu hari nanti, sepulang bepergian, pasti akan meluangkan waktu khusus untuk memulai menulis. Pasti. 

Sabtu, Juni 02, 2012

12 Tahun Lalu

Kemarin, 1 Juni 2012, tepat 12 tahun aku "meninggalkan" rumah dan kampung halaman. Dua belas tahun setelahnya, aku ada di sini, di ibukota, menikmati asap kendaraan, asap rokok, kemacetan dan hiruk-pikuk keegoisan. Aku menuliskan goresan tulisan ini sambil menahan rindu pada rumah dan kampung halamanku, Medan.

Dua belas tahun lalu, berbekal koper bekas yang dibeli Bapak di Monza, pasar loak terkenal di Medan, aku berangkat menuju Yogyakarta. Ditemani Mama, kami berlayar menuju perhentian pertama, Jakarta. Mama sudah siap dengan bekal rantang, yang akan menjadi ransum kami selama 3 hari dua malam di kapal laut. Aku tidak akan pernah melupakan saat itu, ketika aku dan Mama berdiri di dek samping kapal, melambaikan tangan pada Bapak yang tinggal di Medan, tidak ikut bersama kami, karena aku masih punya 2 adik lelaki yang harus diurusnya. Aku tidak menangis saat itu, tapi hatiku hancur, melihat Bapak dari kejauhan, kecil sekali. Dan berpikir, kapan aku bisa bertemu lagi dengan dia, Bapakku itu...Saat itu juga, kulambaikan tangan, mengucap salam perpisahan pada tanah kelahiranku. Tujuh belas tahun aku tinggal menetap di sana sebelum lambaian tanganku hari itu.

Tiga hari di kapal, rasanya campur aduk. Dulu kondisi keuangan Mama-Bapak tidak memadai untuk mengongkosi kami di kelas 1. Hanya tempat tidur massal bak bangsal di kelas 3 Wisata yang menjadi "rumah" kami selama 3 hari perjalanan Medan-Jakarta. Selama 3 hari itu, rasanya tidak karuna. Bekal dalam rantang yang dibawa Mama dari Medan jadi satu-satunya penyelamat. Ikan teri sambal sampai rendang. Selebihnya, tidak ada hal menarik yang bisa kuingat dari perjalanan itu. Yang tersisa hanya aroma pengap bercampur uap dari mie instant dalam kemasan cup.

Tiba di Jakarta, aku tak terlalu mengingat banyak hal. Yang kuingat hanya kami kembali menaiki kereta api, melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Lagi-lagi, tidak ada cukup dana untuk menikmati fasilitas eksekutif. Aku dan Mama cukup puas bermukim di kelas Bisnis, bercampur dengan puluhan pedagang yang menyerbu masuk dengan dagangannya di setiap stasiun.

Akhirnya, tanah penuh harapan itu pun terlihat dari kejauhan. Yogyakarta. Kota pilihanku. Tidak ada yang memaksaku untuk melanjutkan kuliah di Kota Gudeg itu. Tapi sejak pertama kali mengunjunginya di tahun 1994, aku sudah berbisik di dalam hati, "Satu hari aku akan kembali dan menetap di sini". Mungkin saat itul yang disebut cinta pada pandangan pertama, antara aku dan Yogyakarta. Tujuh tahun setelahnya, kupenuhi janjiku, dan mengunjunginya lagi untuk menetap sementara.

Mama tidak lama menemaniku di Yogyakarta. Dia bahkan tidak sempat melihatku berangkat kuliah untuk pertama kali. Dia hanya menitipkanku pada adik lelakinya yang bermukim di Yogyakarta. Tulang, begitu aku menyapanya, resmi menjadi waliku di Yogyakarta. Waktu Mama akan pulang kembali ke Medan, rasanya tidak terdefinisikan. Seribu tanya melesat di pikiran. "Apa yang akan terjadi? Kalau enggak ada Mama, Bapak? Kalau aku sakit bagaimana? Kalau uangku kurang, bagaimana?". Tapi sebagai perempuan tomboy yang tidak pernah ingin terlihat cengeng di hadapan siapapun, aku menyimpan segala pertanyaan dan kecemasan itu. Cuma aku yang tahu apa yang berkecamuk di dada saat harus melambaikan tangan pada Mama yang menaiki gerbong kereta, kembali ke Jakarta, dan melanjutkan perjalanan pulang ke Medan.

Malam itu, setelah Mama pulang, aku menempati kamar cadangan di rumah Tulang. Tengah malam, aku menangis tak bersuara. Menyadari bahwa aku sudah benar-benar sendiri, dan harus bertanggung jawab dengan kehidupanku sendiri. Alasan lain, aku rindu rumah, Mama, Bapak, semuanya di Medan. Malam pertama, sudah rindu. Selama dua minggu setelah itupun, aku masih rutin menangis di malam hari, menahan rindu. Dua belas tahun yang lalu...

Tapi kehidupan sungguh berbaik hati padaku. Tahun demi tahun, aku menjalani kehidupan jauh dari Mama, Bapak, tanpa kekurangan. Teman-teman "seperjuangan" banyak menguatkan di rantau. Lima tahun aku menetap di Yogyakarta, sampai studiku selesai. Lima tahun yang membentuk kehidupan, watak dan karakterku. Lima tahun terpenting dalam hidupku. Tak pernah sedetik pun berlalu tanpa aku berpikir bahwa pilihanku untuk merantau adalah pilihan yang paling tepat.

Aku yang sekarang, yang setiap hari berusaha menaklukkan ibukota, terbentuk dari keputusan orangtuaku yang membiarkan anak perempuan satu-satunya merantau jauh ke kampung orang. Kadang aku berpikir, apa yang akan terjadi padaku jika seandainya Bapak dan Mama berpikiran seperti kebanyakan orangtua saat itu, tidak mengizinkan anaknya untuk merantau? Aku tidak akan menjadi seperti sekarang. Aku yang sekarang, terbentuk dari keputusan-keputusan penting itu.

Merantau adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah aku ambil. Keputusan besar pertama yang akhirnya mengubah hidupku. Dua belas tahun setelahnya, hari ini, aku akan selalu mencari jalan pulang ke sana, ke Medan, ke kehangatan yang tidak bisa terbayar oleh kemewahan dan keindahan kota-kota di Eropa sekalipun. Karena ke manapun kaki ini sudah, sedang dan akan melangkah, ke sanalah, ke Medan, hati dan pikiranku akan tertuju. Sesederhana itu. Aku anak Medan! :)  

Rabu, Mei 16, 2012

Eropa, Setahun Kemarin...

Minggu ini, setahun kemarin, menjadi minggu yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidup. Minggu di mana sebuah mimpi lama terwujud dengan mudahnya. Aku, si empunya mimpi pun tidak pernah bermimpi bahwa mimpiku akan terwujud secepat itu. Kata seorang teman, "Mungkin Tuhan sudah bosan mendengar doamu. Jadi Dia memutuskan untuk segera mengabulkannya,, jauh lebih cepat dari yang Dia rencanakan. Karena kuping-Nya panas mendegar doamu hampir setiap hari." Ha ha ha.

(Dan mimpi itu bernama Eropa).

Minggu ini, setahun kemarin, aku duduk di salah satu bangku penonton di Emirates Stadium, markas besar kesebelasan Arsenal, berlokasi di London. Seminggu sebelumnya, untuk pertama kali, kaki ini menjejak tanah Benua Biru. Di usia 28 tahun, Tuhan mengabulkan doaku. Jauh lebih cepat dari rencana yang sudah kurancang jauh-jauh hari. Dan semua mimpi itu terwujud tanpa dana sepeser pun. Itu yang membuat mimpi ini terasa terwujud dua kali lebih baik.

(Dan mimpi itu bernama Eropa).

Minggu ini, setahun kemarin, sendiri, aku menyusur jalan-jalan di bawah tanah kota London. Memutuskan berpisah dari rombongan, bermodalkan selembar peta, aku bertualang menjelajahi London. Pagi itu, suhu tak bersahabat, dingin menusuk tulang. Tapi kebahagiaan yang membuncah ternyata mampu menghangatkan kulit. Memandang dan menikmati kemegahan St.Paul's Cathedral di Minggu pagi menjadi penyemangat yang luar biasa pagi itu. Sendiri, aku bahagia.

(Dan mimpi itu bernama Eropa).

Minggu ini, setahun kemarin, aku tetap tidak percaya bahwa mimpi itu sudah terwujud. Berulang kali aku terdiam, tersenyum sendiri, menatap sudut-sudut bangunan di Oxford Street, mencermati dedaunan rindang di Hyde Park, menelan ludah ketika melihat Westminster Abbey Church di depan mata, berkaca-kaca di depan Parliament House, berlari di Stamford Bridge, terduduk diam menunggu Tube di Marble Arch. Bahagia. Sesederhana itulah definisi bahagia untukku. Bepergian, meilhat dunia.

(Dan mimpi itu bernama Eropa).

Westminster Abbey, London
Minggu ini, tahun ini, saat ini, aku baru menyelesaikan persiapan perjalananku yang sesungguhnya. Rencana yang masih berupa ide setahun lalu, sudah mulai tercapai tahun ini. Saat menuliskan ini pun, di halaman lain sedang terpampang rute perjalananku. Empat bulan lagi, mimpiku akan berlanjut. Mengunjungi kiblat mimpiku, Paris. Menjejak tanah Benua Biru, mengobati rindu yang menggebu. Empat bulan lagi, dengan usaha, keringat, tabungan terkuras, kuraih mimpiku segera. SEGERA...

Karena mimpiku itu bernama EROPA....

Minggu, Januari 08, 2012

Kali Ini, Aku Tidak Menangis...

Kali ini, aku tidak menangis...
Saat kau mengirimkan pesan itu padaku, aku hanya tersenyum.
Tak kuselesaikan membaca pesanmu yang berbaris-baris itu.
Hanya 2 baris terakhir, dan sudah kututup, tak ingin kubaca lagi.

Aku tidak menangis...
Ketika satu jam setelahnya, kuputuskan untuk membaca pesan itu sampai selesai.
Aku sudah tahu maksudmu.
Dan aku tidak menangis.

Aku tidak menangis...
Meski hari itu hujan turun terus-menerus.
Seperti ingin bersimpati pada gelapnya hatiku.
Tapi aku hanya tersenyum.

Aku tidak menangis...
Karena aku mengadu pada-Nya hari itu.
Karena aku tahu, apa yang terjadi hari itu adalah jawaban doaku.
Tidak seperti yang kuinginkan, tapi itu jawaban Tuhan.

Aku tidak menangis...
Karena untuk yang pertamakalinya, aku merasa lega.
Karena aku sudah mengikuti kata hatiku.
Tak ada sesal.

Aku tidak menangis...
Kuputuskan membuka hati untuk yang lain.
Pasti tersedia.
Di waktu yang tepat, nanti.

Kali ini aku tidak menangis. Karena hari itu aku belajar sesuatu, bahwa hati ini memang sedang kupersiapkan untuk yang terbaik. NANTI.

Jadi, untuk apa menangis?