Rabu, Maret 27, 2013

Siapa yang Salah?

Tadi siang saya menerima broadcast message di telepon genggam saya. Isinya berita bahagia. Seorang teman seperjuangan saat berkuliah di Yogyakarta dulu, baru saja dikaruniai anak kedua. Setelah anak pertamanya berjenis kelamin perempuan, yang kedua ini, mereka dianugerahi bayi lelaki. Saya turut berbahagia tentunya, sebagai teman mereka. Dan sesuai prosedur kebahagiaan dan pertemanan, saya membalas pesan itu. Isinya, tentu saja, ucapan selamat diiringi doa agar kelak si jabang bayi tumbuh sehat.

Pembicaraan kemudian berkembang. Semakin "berkembang" ketika setelah beberapa pertanyaan dan pernyataan basa-basi, teman saya itu mulai "menyerang" dengan pertanyaan inti yang (saya yakin) pasti sudah ingin ditanyakannya sejak awal pembicaraan. "Kau kapan nyusul, Yet? Anakmu udah berapa?". Saya, yang sudah terlatih menghadapi dan menjawab pertanyaan model begini, tentu menjawab bijaksana. "Oh, belum. Doain aja. Anak-anak banyak, kok, banyak keponakan," kataku sambil membubuhkan tanda senyum yang (menurutku) melengkapi sikap santunku.

Tapi, tentu saja, skenario "penyerangan" tak berhenti di situ. Sudah pasti pertanyaan lanjutan akan mengikuti. Aku pun sudah menyiapkan amunisi jawaban yang cukup. Aku sudah terlatih menghadapi situasi seperti ini sejak beberapa tahun belakangan. Dulu aku selalu menjawab berapi-api, mencoba menangkis "serangan" pertanyaan-pertanyaan itu dengan keras. Tapi sekarang aku menemukan metode baru. Diam saja, amini, iyakan, lantas lontarkan senyum. Terbukti ampuh untuk perisai. Kalau kurang dan tidak mempan juga, keluarkan manuver kalimat-kalimat cerdas yang memutarbalikkan keadaan. Seperti siang tadi.

Pernyataan yang kemudian terlontar oleh temanku itu, kira-kira begini bunyinya. "Wah, ini kebanyakan nyari uang ini. Cari uanganya jangan terlalu serius, Yet". Sampai di situ, aku masih menanggapi dengan senyum ringan. Tidak ada yang kumasukkan ke dalam hati. Bagiku, pernyataan seperti itu ibarat selingan camilan sore hari. Berlalu begitu saja. Sangking sudah seringnya. Terlalu rutin.

Kemudian, "serangan utama" dimulai. Begini isinya. "Makanya, kalau masih muda, jabatan jangan tinggi-tinggi dulu. Orang pada takut, Yet". 

(hening sejenak)

Setelah membaca kalimat itu, sudah pasti aliran darah langsung naik ke kepala. Tapi karena saya sudah menguasai "Ilmu Pengendalian Diri Terhadap Pertanyaan Maut", saya mencoba diam, menarik nafas panjang dan mencoba menerbitkan senyum, seperti berusaha memarodikan pernyataan itu. Sejujurnya, saya tahu jawaban yang pasti bisa memutarbalikkan keadaaan dan membuat teman saya itu menutup mulutnya dan berhenti "menyerang" saya. Dan apa yang saya tuliskan kemudian memang ternyata mampu membungkamnya. Di akhir tulisan ini nanti akan saya tuliskan jawaban saya.

Saya tidak melawan. Tapi sungguh, saya tidak mengerti dengan pernyataan seperti yang dilontarkan teman saya itu. Saya menuliskan ini dengan keadaan sadar dan sungguh-sungguh ingin bertanya, maksudnya apa ya? Bagi yang pernah membaca tulisan saya di blog ini, saya juga pernah menuliskan tulisan bertema serupa. Tapi sekarang saya benar-benar butuh untuk menelaah pernyataan itu. Maksudnya apa ya?

Apakah saya salah karena memiliki pekerjaan mapan? Apakah saya yang salah, karena bisa bepergian ke luar negeri, mewujudkan mimpi dan hasrat saya dengan uang hasil keringat saya sendiri? Apakah saya, sebagai perempuan, tidak bisa memangku jabatan? Apakah kondisi profesi saya dan pendapatan yang saya hasilkan itu membuat saya terlalu arogan untuk menikah dan memilih calon pendamping? Maksudnya, saya harus bagaimana? Sepertinya, kok, saya merasa orang-orang menyalahkan karier dan pendapatan saya sebagai penyebab saya tidak "laku" sampai sekarang, ya? Salah saya di mana, ya?

Se-arogan itukah para lelaki bujangan di luar sana? Atau semua akan ketakutan kalau berhadapan dengan perempuan dengan karier yang jelas? Wah, saya tambah bingung. Toh, karier saya biasa-biasa saja sepertinya. Enggak cemerlang-cemerlang banget juga, kok. entah dari mana semua orang-orang ini menyimpulkan seragam.

Bukannya seharusnya para lelaki ini merasa tertantang dan senang hati untuk bisa bersanding dengan perempuan-perempuan yang terbukti mampu mengatur kehidupannya sendiri ya? Atau maksudnya, para lelaki bujangan ini maunya bersanding dengan perempuan-perempuan yang bisa selalu berada di "bawah" nya ya? apakah itu yang membuat saya selalu gagal menjalin hubungan dengan lelaki? Entahlah...

Saya (ini saya, lho) tidak pernah takut bertemu dan berkenalan dengan pria yang saya tahu jelas memiliki posisi sosial, pendapatan dan pendidikan yang jauh lebih mumpuni dari saya. Bagi saya, itu berkat, karena saya bisa belajar banyak dari semua orang yang kehidupannya lebih baik dari saya. Saya tidak pernah merasa rendah diri, karena saya tahu, kita semua sedang menjalankan peran masing-masing. Saya selalu yakin, rezeki setiap orang sudah ditentukan. Tinggal usaha yang membedakan hasil akhirnya. Itu saya yakini sekali.

Saya belum menemukan formula jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saya tadi. Sungguh saya ingin bertanya, khususnya ke kaum lelaki. Karena saya tahu, saya masih harus menghadapi pertanyaan dan pernyataan penuh nada "serangan" seperti tadi sampai beberapa waktu ke depan. Sampai saya menemukan lelaki yang cukup berani menghadapi saya. Sampai itu terjadi, mungkin saya hanya perlu mengatur tekanan darah dan kadar emosi jika ada yang melontarkan pernyataan atau pertanyaan serupa.

Oh iya, seperti yang saya jelaskan di atas tadi, ini jwaban saya yang mampu membungkam pernyataan teman saya tadi.

"Karier itu rezeki. Kalau ada yang takut dengan rezekiku, berarti dia laki-laki yang enggak percaya diri. Pertanyaan justru dibalik. Masih muda, banyak kesempatan, kok belum punya jabatan?'. 

Sekali lagi, kutambahkan tanda senyuman, demi sopan santun dan ramah tamah. Sukses, karena dia cuma menjawab, "Oc lah..."

:)