Selasa, Oktober 21, 2008

Trip To Belitung Part 3










Hari keempat, semua sudah selesai di Gantung. Pagi-pagi sekali kami sudah harus memulai perjalanan kembali ke Tanjung Pandan, karena harus mewawancarai seorang tokoh dan sudah berjanji untuk mengumpulkan personil LP yang tinggal di sana. (Dari 12 anak, 10 tinggal di Tanjung Pandan, 2 tinggal di Gantung). Tapi pagi itu, aku menyempatkan diri berkunjung ke Pice, bangunan bendungan air peninggalan Belanda. Bendungan itu menjadi tumpuan aliran Sungai Gantung. Konon, kalausampai bendungan itu jebol, maka hanyutlah seluruh desa itu.

Pemandangannya indah..Daaaaannn sebagai orang Indonesia yang norak, aku pun tidak melewatkan kesempatan untuk berfoto2 ria. Lumayan untuk Facebook..:)

Beranjak meneruskan perjalanan ke Tanjung Pandan, sempat melewati rumah-rumah desa. Dan tidak sengaja bertemu Gazali, yang degan ramah melambaikan tangannya. Dengan keterbatasannya, dia masih mengingat kami...

Sedih harus meninggalkan Gantung. Belum pernah aku merasa berat seperti itu...Terlepas dari banyak kontroversi, aku jatuh cinta dengan desa itu. Semoga suatu saat kelak bisa kembali lagi kesana. Tapi tidak dengan eprjalanan yang sama, harus menempuh perjalanan laut. Udah tobat....

Sebelum tiba di pusat kota Tanjung Pandan, kami berhenti di SMA Negeri 2 Tanjung Pandan, tempat seorang guru bernama Achmad Pajeri, yang kemudain juga mengalami sindrom ‘indentitas baru’ seperti Aman (Akiong). Dia, menurut pendapatnya pribadi dan ruukan beberapa orang, akhirnya meng-claim dirinya sebagai jelmaan dari tokoh rekaan Andrea Hirata, Mahar. Sungguh fasih beliau menutrkan pengalaman2nya bersama Andrea semasa kecil. Bagaimana Bu Mus, bagaimana teman2nya yang lain, dan bagaimana akhirnya dia merasa diabaikan oleh Adnrea di tengah popularitas karyanya. Tak mau bersikap suudzon melihatnya, tapi menurutku, kenapa harus pamrih sih..??

Satu lagi korban yang terjebak tipisnya perbedaan antara fiksi dan realita. Ingin rasanya berteriak : “Come on...kamu bukan Mahar!!! Kamu adalah kamu..!”. Tapi lagi-lagi, bukan hakku untuk menghakimi. Jadi, biarlah kusimpan sendiri di otakku yang sudah sempit ini....Bapak guru ekonomi ini merangkai cerita dengan konsep yang sudah dibentuk sebelumnya. Terlihat dari setiap pernyataan yang dikeluarkannya. Bahkan sedetail itu sampai ke soal radio yang menggantung di leher. Benar tidaknya..? Walahualam...Cuma dia dan Tuhan yang tahu....

Satu jam berlalu..perjalanan dilanjutkan. Jam sudah menunjukkan angka 12 siang, dan pesansingkat dari Moyo mengingatkan untuk bertemu dengannya dan anak-anak sekitar jam 3. Berarti kami punya waktu tiga jam untuk makan, membeli tiket peswat pulang, dan mencari hotel. Dan semuanya selesai dengan baik. Untungnya, hotel kami berada tepat di tepi pantai Tanjung Pendam..asiiikkk....

Jam 3, aku menepati janji dan beranjak ke rumah Moyo, tempat dia dan anak-anak LP menunggu. Setelah komplit, kami berjalan ke arah pantai dan berbincang di sebuah gazebo milik hotel tempat kami menginap. Hari itu, hanya 8 orang anak yang datang. Zulfanny (Ikal), Yogi (Kucai), Rama (Trappani), Suhendri (Akiong), Syukur (Syahdan), Febri (Borek), Marcella (Flo), dan Dewi (Sahara). Levina (Aling) sempat mampir sebentar, tapi harus buru-buru pergi karena harus menyelesaikan urusan sekolahnya. Jefry (Harun), bocah ajaib itu, tidak bisa hadir.

Berbincang-bincang selama hampir sejam sambil menikmati makanan, aku sempat merasa kurang nyaman dengan rekan ku sesama wartawan yang bertugas denganku. Sepertinya dia tidak tahu bagaimana bisa masuk ke pembicaraan dengan anak-anak. Bahasanya terlalu formal, terlalu resmi. Bahkan tidak segan ia mengeluarkan nada seperti memebritahu dan memberi peringatan bagi mereka hanya karena mereka tidak memeprhatikannya ketika ia berbicara. Come on...bukan begitu caranya.

Jadilah aku malas mengajukan petanyaan dan hanya bercanda dengananak-anak itu. Bahkan dengan Kucai aku malah bermain-main dengan kameraku. Mood ku sudah hilang karena kelakuan rekan itu. Biarlah dia merasa tetap sempurna dengan sikapnya, karena kau tidak nyaman. Dan anak-anak itu pun menunjukkan mood yang berbeda. Payah!!!!

Akhirnya aku memtuskan untuk mengajak anak-anak itu bernajak ke pantai untuk berfoto, karena menurutku wawancara sudah tidak tepat. Sudah kehilanagn moment nya. Sempat berbincang dengan Moyo sebelum jalan ke pantai..Hmmm...boleh juga..huahhahahahha....Nggaklah...Tapi boleh juga...waaaaaaaaaaaaaaaaahhhhh....Totally professional...hehhehe..

Foto-foto..ketawa-ketawa...foto sama anak-anak..selesai lah sudah pekerjaan....Andai saja malam itu aku tidak dikejar deadline, sudah kuterima tawaran untuk menghabiskan malam dengan seseorang..huhahahhahahaaa....Nggaklah...

Well...berpisah dengan anak-anak itupun kurasakan berat. Anak-anak kampung itu sungguh menggemaskan..Sungguh..sayang, hanya sedikit waktu yang kupunya...Mereka pulang ke rumah Moyo, aku pun harus kembali ke hotel untuk melanjutkan perjuanganku mengetik semua liputan untuk deadline malam itu.

Seperti yang kuprediksi, maam itu kepala mau pecah. Laptop gak punya software ACDSee, yang harusnya digunakan untuk me-resize foto-foto yang harus kukirim. Dan bukan hanya fotoku saja, tapi juga foto dari temanku itu, akrena dia tidak bisa menggunakan teknologi. Huhuhuhuhuhu.....Dibawakan modem oleh kantor, tapi tidak bisa menerima sinyal sama sekali!! DAMN!. Jadilah aku memutuskan untuk menyelesaikan tulisan dulu, kemudian mencari warnet untuk mengedit foto dan mengirim semua file ke Jakarta. Waktu itu jam sudah menujuk angka 20.00 WIB, sementara malam itu deadline. Anak-anak kantro di Jakarta mulai resah dan bolak balik bertanya. Akhirnya 5 tulisanku sudah selesai jam 10 malam, dan aku harus ngebut ke warnet karena harus mengedit foto.

Sialnya, di Tanjung Pandan hanya ada dua warnet!!! Warnet pertama, luar biasa berisik, karena dicampur dengan rental game online. Warnet kedua, tutup. Jadilah aku harus mengikhlaskan diri bekerja di warnet pertama yang super duper berisik! Kebayang nggak ada hampir 20 PC yang diisi anak-anak abg bermain Counter Strike online. Sialnya, semua PC dilengkapi dengan speaker aktif. Jadi, warnet itu bukan kaya warnet, tapi udah kayak medan pertempuran dengan suara senapan stereo dimana-mana. Dan aku ada ditengah-tengahnya!!!

Aku ikhlas, mengerjakan hampir 60 buah foto, mengeditnya satu persatu dan mengirimkan file-file nya ke Jakarta. Pukul 12 lebih, akhirnya aku menyelesaikan semuanya...Ugh..mata udah mau lepas rasanya, tapi lega...Sempat terfikir untuk menelepon seseorang dan menagih janji, tapi nggaklah..Mata dan otak sudah tidak bisa dikompromi...

Baru saja mata ini mau tertutup, pesan singkat masuk dari ‘dia’..yang jauh di sana...Maaf, tapi aku terpaksa mengabaikanmu..Bahkan George Clooney pun tidak bisa membuatku melek malam itu..Aku ngantukk............

0 komentar: