Kamis, Desember 04, 2014

Persoalan (Belum, Akan, Segera) Move On


Move On.

Istilah umum yang beberapa tahun belakangan ini menjadi tren di pembicaraan dan diskusi di kalangan masyarakat. Tentu saja asalnya dari Bahasa Inggris yang secara sederhana berarti “Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, meninggalkan sesuatu dan beralih ke yang lain.”

Saya pribadi lebih senang menyimpulkannya menjadi satu kata yang tepat. Bergerak.

Bergerak meninggalkan yang lama dan mencoba berjalan ke arah yang baru. Dan, iya, saya berbicara dalam konteks asmara. Meski terkesan gombal dan murahan, tapi entah kenapa, saya mendalami benar makna dan arti move on jika disangkutkan ke topik asmara. Bukan hanya asmara kacangan khas ABG, tapi juga asmara “tingkat tinggi” yang melibatkan dua obyek dewasa dengan urusan yang lebih complicated

Karena move on adalah kunci mengakhiri yang lama dan memulai yang baru. Seperti halnya prinsip siklus kehidupan. Ada yang harus berakhir dan ada yang dimulai pula.

Jangan salah artikan. Saya tidak sedang berusaha menyudutkan siapa pun atau memihak kubu mana pun. Tapi saya adalah bukti hidup soal perkara move on ini. Dan topik ini sangat menggugah saya untuk menuliskan tulisan ini. 

Benar kata orang. “Move on enggak segampang yang loe pikir.” Setuju. Dari sekian kisah cinta saya yang berakhir hancur berantakan, saya paham benar bahwa move on tidak bisa dilakukan sekejap mata. Bahkan ada beberapa kisah cinta yang rasanya akan selalu ada terselip di relung hati terdalam, bahkan bertahun-tahun setelahnya. Untuk beberapa kasus itu, move on terasa impossible. Benar tidak?. 
 
Delapan tahun menjalin hubungan dengan seorang pria yang lantas pergi berlalu dan menikahi wanita lain membuat saya mengerti konsep move on seutuhnya. Tak mudah. Sulit sekali bahkan. Seseorang yang rasanya sudah  saya amini menjadi pendamping hidup saya sampai maut memisahkan, ternyata bisa terlepas begitu saja. Saya hancur berantakan. Dan kini, enam tahun setelahnya, saya pun masih menyimpan kepingan kehancuran itu di sudut hati saya terdalam. Sampai saat ini, sesekali saya masih memimpikannya dalam tidur. Ini adalah kasus move on saya yang impossible. Dan saya tidak menyesalinya. Tapi saya sudah ikhlas. Karena akhirnya saya mengerti bahwa ikhlas adalah kunci awal untuk move on.
 
Tidak, saya tidak menganjurkan siapapun untuk menghapus kenangan saat Anda dan pasangan bersama-sama berjalan menyusuri pantai, atau bergandengan tangan di mal, atau menikmati makanan favorit di restoran favorit. Jangan lupakan itu. Semua itu adalah sejarah yang menjadi bagian hidup. Kalau kata Slank, “Terlalu manis untuk dilupakan”. 

Tapi semua sudah berakhir. Itu hal yang pertama yang harus diterima untuk bisa menyingkirkan segala awan mendung dan kegelisahan di benak saya. Tanamkan itu di pikiran dan logika. Memang, tidak semudah yang dibayangkan. Butuh waktu. Butuh ratusan lagu cinta untuk melunturkan kenangan itu. Susah. Tapi bukan berarti tidak mungkin.

Tak mengapa. Tak ada yang salah dengan semua itu. Ambil waktu selama yang diinginkan. Sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun, terserah. Tidak ada masa kadaluarsa untuk move on. Sepanjang sisa usia pun bisa dihabiskan untuk terus mencoba move on. Tapi apakah semua layak menggerus waktu dan usia?. 


Saya mengerti, tidak semua kisah cinta yang berantakan memiliki alasan serupa. Kadar sakit dan luka hati pun pasti berbeda-beda tergantung penyebabnya. Ada perselingkuhan, latar belakang prinsip dan budaya yang berbeda, status sosial dan ekonomi, semua bisa jadi alasan berakhirnya sebuah hubungan. Bahkan satu kali seorang teman saya penah bersaksi bahwa ia mengakhir hubungan dengan kekasihnya karena alasan sederhana. “Kayaknya cinta gue udah habis sama dia.” As simple as that. Saya saja terheran-heran mendengarnya.

Apapun alasannya, semua sudah berakhir. Tapi reaksi untuk menjalani akhir kisah cinta ini yang membuat setiap orang berbeda. Saya perempuan, jadi yang pertama kali dilakukan pasti menangis meraung-raung. Menangisi semuanya, apa saja. Yang penting nangis dulu. Persoalan lain bisa menyusul. Saya melakukan itu berhari-hari sampai lelah. Nyaris setiap malam selama beberapa hari saya menangis dan sangking lelahnya sampai tertidur sendiri. Beberapa teman pria saya mengaku juga menangis walau tak sedramatis kaum hawa. Lebih banyak dari mereka yang menumpahkan emosi dengan berkumpul dengan teman, begadang, bekerja, main video games sampai pagi sampai lari marathon keliling stadion berkali-kali. 

Satu masalah lain, social media. Maraknya social media membuat semua proses move on semakin menyulitkan. Untung waktu saya putus, belum ada Path. Kalau tidak, pasti setiap lima menit saya listening to lagu galau. Tidak gampang menangisi mantan saat Anda stalking akun media sosialnya setiap hari. Tapi di satu titik, Anda pasti akan menyerah. Saya menyerah setelah beberapa tahun setelahnya. Saya sadar, sudah waktunya mengemas hidup dan bergerak.

Tapi saya sempat penasaran, sebenarnya siapa yang paling susah untuk move on? Lelaki atau perempuan?. Saya belum menemukan jawabannya. Correct me if I’m wrong, tapi perempuan memang dramatis. Saya tahu benar karena saya perempuan. Reaksi-reaksi pertama usai bubaran memang dramatis. Sinetron. Telenovela. Berlebihan. You name it. Tapi setelah masa-masa terberat berlalu, rasanya perempuan lebih bisa kembali menata hidupnya dengan baik. Butuh waktu, tapi bisa.
Nah, setahu saya, reaksi di kaum pria berbeda. Lebih dalam, lebih kronis dan lebih lama. Kalau pria, jujur, saya agak bingung. Beberapa kali saya bertemu dengan pria yang rasanya susah sekali move on dari kisah cinta lamanya. Sialnya, beberapa kali pula saya terjebak memulai pendekatan dengan tipe pria seperti ini. Mau mati rasanya. Ribet. Karena apapun yang saya lakukan, pasti dikomparasi dengan mantan kekasihnya. Saya rasa, mungkin karena pria lebih bisa menyimpan emosinya dengan lebih rapi dan tersusun dan tersembunyi. Tapi akibatnya, mereka tidak menemukan cara untuk meluapkannya. Akhirnya susah untuk melihat sosok yang baru yang masuk ke kehidupannya yang sebenarnya menyuguhkan banyak kebaikan lain. 

Lagi-lagi, saya tahu..iya..saya paham…semua tidak segampang yang dibilang orang. Memang tidak gampang. Luka itu tidak bisa sembuh dengan mudahnya. Sesal tidak menghilang sekejap mata. Akibatnya, masih susah untuk membuka hati untuk yang lain, susah untuk menyisihkan ruang baru dan menyingkirkan kisah yang lama. “Emang ada yang bisa kayak dia? Dia itu udah ngertiin gue luar dalam,” ujar seorang teman yang baru ditinggal kekasihnya. Kalau sudah begitu, saya pasti diam. Ya, sama lah kayak kalau kita menanggapi orang yang sedang kasmaran. Batu diolesi cokelat juga dibilang enak, kan?. Lebih baik menunggu dan biar waktu yang meredakan emosi dan gundah hati.

Saya bukan orang yang terlalu religius. Tapi entah mengapa, saya tahu, kalau berdoa adalah cara ampuh yang sederhana untuk meredakan luka hati. Tapi sering kali banyak orang enggan melakukannya saat luka hati terasa sangat menghujam. Saat amarah dan jutaan pertanyaan, “Kenapa?” meluap, rasanya berdoa dan berserah adalah jalan terbaik. Saat semua tak bisa dilontarkan dan diungkapkan dengan kata-kata, berdoa adalah jalan curhat yang terbaik. Saya selalu merasakan damai yang merasuk sukma dengan caranya sendiri setiap saya berkeluh kesah pada Tuhan. Tidak ada solusi instan memang, tapi saya tenang. Dan itu membuat kadar keikhlasan saya bertambah sedikit demi sedikit. 

Setelah itu, ikhlas yang sesungguhnya akan datang. Yakinlah. Ikhlas akan membuka semuanya, mata dan pikiran. Ikhlas pula yang akan membawa Anda menata tujuan dan prioritas baru. Ikhlas mengajarkan Anda berpikiran jernih dan akhirnya membuka hati. Ikhlas mengawali proses move on. Yang saya lakukan adalah mengambil saat yang tepat, tempat yang tepat untuk menghela nafas panjang dan berbisik dalam hati, “Aku memaafkanmu. I love you but I’m letting you go….”. Sejak saat itu, ikhlas dan senyum menghampiri saya. Live and let go.

Bukan berarti setelah itu semua masalah akan selesai. Tidak ada jaminan bahwa setelah move on akan langsung datang orang yang tepat, atau Anda bebas dari patah hati and live happily ever after. Tidak. Tapi itu mengajarkan nilai baru dalam hidup. Anda resmi naik kelas karena sudah mencicipi move on yang sesungguhnya.

Tidak harus sekarang. Take your time to mourn. Ambil waktu untuk menikmati rasa sakit itu. Serapi, sampai akhirnya dia menyatu dengan daging dan jiwamu. Setelah itu, pintu pasti akan terbuka. Mungkin besok, bulan depan, atau bertahun-tahun, tak ada yang tahu pasti. Tapi setelah semuanya usai, setelah duka, luka dan sesak itu belalu, bukalah hatimu untuk yang lain. Karena kau layak mendapatkan yang terbaik. 


Dan yang terbaik ada di depan, bukan di belakang. Because the best is yet to come.


Kelak….

(Dariku, untukmu…Ini aku, di hadapanmu…)

1 komentar:

Ron mengatakan...

Mengubah masa lalu menjadi masa bodoh memang butuh waktu.