Move
On.
Istilah umum yang beberapa tahun belakangan ini
menjadi tren di pembicaraan dan diskusi di kalangan masyarakat. Tentu saja
asalnya dari Bahasa Inggris yang secara sederhana berarti “Berpindah dari satu
tempat ke tempat lain, meninggalkan sesuatu dan beralih ke yang lain.”
Saya pribadi lebih senang menyimpulkannya menjadi satu kata yang tepat.
Bergerak.
Bergerak meninggalkan yang lama dan mencoba berjalan
ke arah yang baru. Dan, iya, saya berbicara dalam konteks asmara. Meski terkesan
gombal dan murahan, tapi entah kenapa, saya mendalami benar makna dan arti move on jika disangkutkan ke topik
asmara. Bukan hanya asmara kacangan khas ABG, tapi juga asmara “tingkat tinggi”
yang melibatkan dua obyek dewasa dengan urusan yang lebih complicated.
Karena move on
adalah kunci mengakhiri yang lama dan memulai yang baru. Seperti halnya prinsip siklus
kehidupan. Ada yang harus berakhir dan ada yang dimulai pula.
Jangan salah artikan. Saya tidak sedang berusaha menyudutkan siapa pun atau memihak kubu mana pun. Tapi saya adalah bukti hidup
soal perkara move on ini. Dan topik
ini sangat menggugah saya untuk menuliskan tulisan ini.
Benar kata orang. “Move on enggak segampang yang loe pikir.” Setuju. Dari sekian kisah cinta saya yang berakhir
hancur berantakan, saya paham benar bahwa
move on tidak bisa dilakukan sekejap mata. Bahkan ada beberapa kisah cinta
yang rasanya akan selalu ada terselip di relung hati terdalam, bahkan
bertahun-tahun setelahnya. Untuk beberapa kasus itu, move on terasa impossible.
Benar tidak?.
Delapan tahun menjalin hubungan dengan seorang pria
yang lantas pergi berlalu dan menikahi wanita lain membuat saya mengerti konsep move on seutuhnya.
Tak mudah. Sulit sekali bahkan. Seseorang yang rasanya sudah saya amini menjadi pendamping hidup saya
sampai maut memisahkan, ternyata bisa terlepas begitu saja. Saya hancur
berantakan. Dan kini, enam tahun setelahnya, saya pun masih menyimpan kepingan
kehancuran itu di sudut hati saya terdalam. Sampai saat ini, sesekali saya masih
memimpikannya dalam tidur. Ini adalah kasus
move on saya yang impossible. Dan
saya tidak menyesalinya. Tapi saya sudah ikhlas. Karena akhirnya saya mengerti bahwa ikhlas adalah
kunci awal untuk move on.
Tidak, saya tidak menganjurkan siapapun untuk menghapus
kenangan saat Anda dan pasangan bersama-sama berjalan menyusuri pantai, atau bergandengan
tangan di mal, atau menikmati makanan favorit di restoran favorit. Jangan
lupakan itu. Semua itu adalah sejarah yang menjadi bagian hidup. Kalau kata
Slank, “Terlalu manis untuk dilupakan”.
Tapi semua sudah berakhir. Itu hal yang pertama
yang harus diterima untuk bisa menyingkirkan segala awan mendung dan kegelisahan di benak saya. Tanamkan
itu di pikiran dan logika. Memang, tidak semudah yang dibayangkan. Butuh waktu.
Butuh ratusan lagu cinta untuk melunturkan kenangan itu. Susah. Tapi bukan
berarti tidak mungkin.
Saya mengerti, tidak semua kisah cinta yang
berantakan memiliki alasan serupa. Kadar sakit dan luka hati pun pasti berbeda-beda tergantung penyebabnya. Ada perselingkuhan, latar
belakang prinsip dan budaya yang berbeda, status sosial dan ekonomi, semua bisa
jadi alasan berakhirnya sebuah hubungan. Bahkan satu kali seorang teman saya
penah bersaksi bahwa ia mengakhir hubungan dengan kekasihnya karena alasan
sederhana. “Kayaknya cinta gue udah habis sama dia.” As simple as that. Saya saja
terheran-heran mendengarnya.
Apapun alasannya, semua sudah berakhir. Tapi reaksi
untuk menjalani akhir kisah cinta ini yang membuat setiap orang berbeda. Saya
perempuan, jadi yang pertama kali dilakukan pasti menangis meraung-raung.
Menangisi semuanya, apa saja. Yang penting nangis dulu. Persoalan lain bisa menyusul. Saya melakukan itu
berhari-hari sampai lelah. Nyaris setiap malam selama beberapa hari saya
menangis dan sangking lelahnya sampai tertidur sendiri. Beberapa teman pria saya
mengaku juga menangis walau tak sedramatis kaum hawa. Lebih banyak dari mereka yang
menumpahkan emosi dengan berkumpul dengan teman, begadang, bekerja, main video games sampai pagi sampai lari marathon
keliling stadion berkali-kali.
Satu masalah lain, social media. Maraknya social media membuat semua proses move on semakin menyulitkan. Untung waktu saya putus, belum ada Path.
Kalau tidak, pasti setiap lima menit saya listening
to lagu galau. Tidak gampang menangisi mantan saat Anda stalking akun media sosialnya setiap
hari. Tapi di satu titik, Anda pasti akan menyerah. Saya menyerah setelah
beberapa tahun setelahnya. Saya sadar, sudah waktunya mengemas hidup dan bergerak.
Tapi saya sempat penasaran, sebenarnya siapa yang
paling susah untuk move on? Lelaki
atau perempuan?. Saya belum menemukan jawabannya. Correct me if I’m wrong, tapi perempuan memang dramatis. Saya tahu
benar karena saya perempuan. Reaksi-reaksi pertama usai bubaran memang
dramatis. Sinetron. Telenovela. Berlebihan. You
name it. Tapi setelah masa-masa terberat berlalu, rasanya perempuan lebih
bisa kembali menata hidupnya dengan baik. Butuh waktu, tapi bisa.
Nah, setahu saya, reaksi di kaum pria berbeda. Lebih dalam, lebih kronis dan lebih lama. Kalau
pria, jujur, saya agak bingung. Beberapa kali saya bertemu dengan pria yang
rasanya susah sekali move on dari
kisah cinta lamanya. Sialnya, beberapa kali pula saya terjebak memulai
pendekatan dengan tipe pria seperti ini. Mau mati rasanya. Ribet. Karena apapun
yang saya lakukan, pasti dikomparasi dengan mantan kekasihnya. Saya rasa, mungkin karena pria
lebih bisa menyimpan emosinya dengan lebih rapi dan tersusun dan tersembunyi.
Tapi akibatnya, mereka tidak menemukan cara untuk meluapkannya. Akhirnya susah
untuk melihat sosok yang baru yang masuk ke kehidupannya yang sebenarnya menyuguhkan
banyak kebaikan lain.
Lagi-lagi, saya tahu..iya..saya paham…semua tidak
segampang yang dibilang orang. Memang tidak gampang. Luka itu tidak bisa sembuh
dengan mudahnya. Sesal tidak menghilang sekejap mata. Akibatnya, masih susah untuk membuka hati untuk yang lain,
susah untuk menyisihkan ruang baru dan menyingkirkan kisah yang lama. “Emang
ada yang bisa kayak dia? Dia itu udah
ngertiin gue luar dalam,” ujar seorang teman yang baru ditinggal kekasihnya. Kalau sudah begitu, saya
pasti diam. Ya, sama lah kayak kalau kita menanggapi orang yang sedang
kasmaran. Batu diolesi cokelat juga dibilang enak, kan?. Lebih baik menunggu
dan biar waktu yang meredakan emosi dan gundah hati.
Saya bukan orang yang terlalu religius. Tapi entah
mengapa, saya tahu, kalau berdoa adalah cara ampuh yang sederhana untuk meredakan
luka hati. Tapi sering kali banyak orang enggan melakukannya saat luka hati
terasa sangat menghujam. Saat amarah dan jutaan pertanyaan, “Kenapa?” meluap,
rasanya berdoa dan berserah adalah jalan terbaik. Saat semua tak bisa
dilontarkan dan diungkapkan dengan kata-kata, berdoa adalah jalan curhat yang
terbaik. Saya selalu merasakan damai yang merasuk sukma dengan caranya sendiri
setiap saya berkeluh kesah pada Tuhan. Tidak ada solusi instan memang, tapi
saya tenang. Dan itu membuat kadar keikhlasan saya bertambah sedikit demi sedikit.
Setelah itu, ikhlas yang sesungguhnya akan datang.
Yakinlah. Ikhlas akan membuka semuanya, mata dan pikiran. Ikhlas pula yang akan
membawa Anda menata tujuan dan prioritas baru. Ikhlas mengajarkan Anda berpikiran
jernih dan akhirnya membuka hati. Ikhlas mengawali proses move on. Yang saya lakukan adalah mengambil saat yang tepat, tempat
yang tepat untuk menghela nafas panjang dan berbisik dalam hati, “Aku
memaafkanmu. I love you but I’m letting
you go….”. Sejak saat itu, ikhlas dan senyum menghampiri saya. Live and let go.
Bukan berarti setelah itu semua masalah akan
selesai. Tidak ada jaminan bahwa setelah move
on akan langsung datang orang yang tepat, atau Anda bebas dari patah hati
and live happily ever after. Tidak.
Tapi itu mengajarkan nilai baru dalam hidup. Anda resmi naik kelas karena sudah
mencicipi move on yang sesungguhnya.
Tidak harus sekarang. Take your time to mourn. Ambil waktu untuk menikmati rasa sakit
itu. Serapi, sampai akhirnya dia menyatu dengan daging dan jiwamu. Setelah itu,
pintu pasti akan terbuka. Mungkin besok, bulan depan, atau bertahun-tahun, tak ada yang tahu pasti. Tapi setelah semuanya usai, setelah duka, luka dan sesak itu belalu, bukalah hatimu untuk yang lain.
Karena kau layak mendapatkan yang terbaik.
Dan yang terbaik ada di depan, bukan di belakang. Because the best is yet to come.
Kelak….
(Dariku,
untukmu…Ini aku, di hadapanmu…)