Hari itu, Senin (13/10), setelah rapat redaksi rutin, tiba-tiba aku ditugaskan untuk berangkat dinas luar kota (DLK) ke Belitung. Euforia kesuksesan film Laskar Pelangi nampaknya juga tidak mau dilewatkan oleh media tempat aku bekerja. Jadilah,semua direncanakan dengan mendadak. Sempat kacau karena satu-satunya penerbangan Jakarta-Tanjung Pandan (kota besar Pulau Belitung) sudah fully booked sampai tanggal 16 Oktober, yang tidak mungkin ditolerir mengingat deadline jatuh sehari setelahnya.
Setelah diskusi yang lumayan merepotkan, akhirnya aku dan seorang teman yang juga ditugaskan, memutuskan untuk terbang ke Pangkal Pinang, Pulau Bangka, dan darisana harus memutar otak untuk bisa tiba di tempat tujuan, Desa Gantung, Belitung Timur.
Selasa, (17/10) pesawat yang seharusnya berangkat pukul 18.00 WIB, seperti biasa di-delay hingga pukul 19.00 WIB. Satu jam menempuh perjalanan, aku tiba di Pangkal Pinang, Bangka. Tanpa petunjuk dan tanpa tujuan jelas..hiks...
Untung, di bandara yang luasnya cuma sebesar satu lantai kantorku itu, ada pool taxi yang bisa mengantarkan aku mencari tempat penginapan, karena setelah mencari informasi, satu-satunya jalan untuk tiba di Belitung adalah dengan menempuh jalur laut, menyeberang dengan ferry. Dan ferry baru berangkat pukul 14.00 WIB keesokan harinya.
Tiga puluh menit kemudian, aku dan temanku berhasil mendapatkan tiket untuk berangkat ke Belitung dengan satu-satunya ferry yang ada di Bangka. Tiba waktunya mencari hotel untuk istirahat, karena waktu itu jam tanganku sudah menunjuk angka jam 21.00 WIB. Parahnya, tak banyak hotel berbintang di kota kecil speerti Pangkal Pinang. Tak sampai 5 jumlahnya. Dan kelima-limanya PENUH!! Oh my God..waktu itu rasanya badan sudah lelah sekali, tapi harus terus berputar-putar kota mencari tempat penginapan.
Sampaaaaaaiii akhirnya, ada sebuah penginapan kecil yang lumayan lah, yang hanya menyisakan satu kamar. Mau tak mau, kami harus menginap di situ. Padahal kamarnya aduuuhhhh...mengingatnya pun aku malas....
Esoknya, kami berangkat ke pelabuhan, menaiki kapal Express Bahari jurusan Pangkal Pinang-Tanjung Pandan. Kulihat tiket, kami mendapatan kelas executive yaaaaaaaaaaaannnnggg kupikir sudah merupakan kelas tertinggi. Dan aku pun salaaahh..hiks..Jadi, definisi executive versi Express Bahari adalah dek paling bawah, dengan AC seadanya, kursi bekas pesawat, dan penumpang yang berjubel. Aku sempat was-was..Bagaimana tidak, sepertinya kapal itu sangat melebihi kapasitasnya. Seluruh lorong-lorong yang jadi jalur pemisah sudah penuh dengan barang dan manusia. Sepertinya kapal itu tidak menyisakan sedikit pun ruang untuk bergerak. Banyak sekali penumpang yang naik tanpa tiket dan menghalalkan semua ruang kosong untuk berdiri, duduk dan selonjor! No one to blame....seperti sudah menjadi adat pengusaa Indonesia untuk menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan lebih banyak...termasuk mempertaruhkan banyak nyawa hari itu di kapal sumpek itu....
Tadinya, perjalanan dijanjikan hanya akan menempuh waktu 4 jam, yang berarti kami akan tiba di Tanjung Pandan sekitar pukul 18.00 WIB, dan kami berasumsi bisa langsung melanjutkan perjalanan ke Gatung, dua jam dari Tanjung Pandan. Tapi lagi-lagiiiiiii, aku salaaahhh....karena hingga jam menunjukkan pukul 18.00 WIB, kami belum sampai juga. Tadinya ombak cukup bersahabat, padahal aku sudah menyiapkan amunisi untuk mengusir mual. Koyo hangat ditempel ke pusar, obat anti mabok dua butir pun sudah kutelan. Efeknya, aku tertidur selama 2 jam. Tapi alangkah sengsara nya, karena begitu hari menjelang sore, ombak semakin menggila. Tadinya, duduk di kursi kapal itu seperti naik kereta api, tidak terlalu banyak berguncang. Tapiiiiiii setelah jam ketiga, ombak mulai menunjukkan taringnya. Rasanya, aku seperti dihempaskan ke atas kemudian dilemparkan ke bawah lagi. Begitu terus.....Bisa dibayangkan rasanya...Puji Tuhan, aku tidak sempat muntah..Hampiiirrrr...tapi tidak.
Jam 19.30 WIB, akhirnya kapal sialan itu sampai juga di Tanjung Pandan. Segala bau dan aroma yang bercampur sebelumnya malah semakin menguat karena AC yang sudah padam di saat kapal belum berlabuh. Adooohh...! Nakhoda kapal itu ternyata membutuhkan extra waktu 30 menit hanya untuk menyandarkan kapal ke dermaga yang sudah di depan mata.
Di pelabuhan, Moyo, yang dulunya asisten sutradara III untuk film Laskar Pelangi, dan seorang rekannya sudah menanti dan menjemput kami. Padahal dia baru kukenal sejam sebelumnya, lewat telepon. Karena dialah satu-satunya contact person dari pihak Miles Production yang tinggal di tanjung Pandan. Kelak, si Moyo ini enggan disebutkan sebagai bagian dari Miles, karena kontrak yang sudah tidak mengikat..hehhee..
Untungnya, dia berbaik hati untuk mengantarkan kami ke sebuah restoran untuk makan malam dan berdiskusi soal rencana peliputan kami di sana. Hampir sejam berbincang dan bertukar pikiran, kami kembali dibantu diperkenalkan dengan Pak Herman, yag menyediakan mobil sewaan dan sekaligus menjadi supir untuk kami selama berada di Belitung. Tak banyak yang bisa dilihat dari kota Tanjung Pandan malam itu karena hari beranjak gelap, dan tidak banyak penerangan umum yang dimiliki oleh kota tersebut.
Daripada capeknya jadi double, akhirnya kami memutuskan untuk langsung menuju Gantung malam itu juga. Jadilah perjalanan kami tempuh hanya dalamwaktu 1,5 jam, thanx to driver yang paling oke, Pak Herman itu. Syukurnya, di Gantung, ada htel, satu-satunya hotel di satu kecamatan itu...Daaannn hotelnya bagus..gak kalah ama hotel2 lain di kota besar..
Daaaaannn......Setelah kepala ini bertemu kasur dan bantal dan AC....hari itu pun sempurna sudah perjalanan dua hari...
0 komentar:
Posting Komentar