(Dan mimpi itu bernama Eropa).
Minggu ini, setahun kemarin, aku duduk di salah satu bangku penonton di Emirates Stadium, markas besar kesebelasan Arsenal, berlokasi di London. Seminggu sebelumnya, untuk pertama kali, kaki ini menjejak tanah Benua Biru. Di usia 28 tahun, Tuhan mengabulkan doaku. Jauh lebih cepat dari rencana yang sudah kurancang jauh-jauh hari. Dan semua mimpi itu terwujud tanpa dana sepeser pun. Itu yang membuat mimpi ini terasa terwujud dua kali lebih baik.
(Dan mimpi itu bernama Eropa).
Minggu ini, setahun kemarin, sendiri, aku menyusur jalan-jalan di bawah tanah kota London. Memutuskan berpisah dari rombongan, bermodalkan selembar peta, aku bertualang menjelajahi London. Pagi itu, suhu tak bersahabat, dingin menusuk tulang. Tapi kebahagiaan yang membuncah ternyata mampu menghangatkan kulit. Memandang dan menikmati kemegahan St.Paul's Cathedral di Minggu pagi menjadi penyemangat yang luar biasa pagi itu. Sendiri, aku bahagia.
(Dan mimpi itu bernama Eropa).
Minggu ini, setahun kemarin, aku tetap tidak percaya bahwa mimpi itu sudah terwujud. Berulang kali aku terdiam, tersenyum sendiri, menatap sudut-sudut bangunan di Oxford Street, mencermati dedaunan rindang di Hyde Park, menelan ludah ketika melihat Westminster Abbey Church di depan mata, berkaca-kaca di depan Parliament House, berlari di Stamford Bridge, terduduk diam menunggu Tube di Marble Arch. Bahagia. Sesederhana itulah definisi bahagia untukku. Bepergian, meilhat dunia.
(Dan mimpi itu bernama Eropa).
Westminster Abbey, London |
Karena mimpiku itu bernama EROPA....
0 komentar:
Posting Komentar